Pengorbanan Seorang Dokter (dr. Boediwarsono)

Pandemi Covid-19 sudah berlangsung sekitar 1,5 tahun. Di dunia maya, penulis masih membaca pro kontra tentang Covid-19. Banyak yang percaya, ada pula yang tidak percaya adanya Covid-19 yang sudah mengakibatkan banyak korban meninggal. 

Coba dengarkan wawancara Pak Dahlan Iskan dengan putra Pak Boediwarsono, yang sudah berjuang keras mengobati pasien-pasien Covid-19, hingga akhirnya beliau meninggal karena Covid-19 (Minggu, 6 September 2020). 

Pak Boediwarsono (Prof. DR. Dr. Boediwarsono, Sp PD, K-HOM, PGD, Pall Med (ECU), FINASIM adalah guru besar Unair), memiliki 3 anak dan ketiganya dokter. Anak pertama beliau (yang diwawancarai Pak Dahlan Iskan juga menuturkan pengalaman beliau saat terkena Covid-19. Selain kehilangan ayah tercinta, ia juga kehilangan ibu tercinta dalam waktu berdekatan.

Terserah Anda, mau percaya kepada dokter atau yang lain.

Semua orang bebas berpendapat. Anda boleh percaya ada Covid-19, boleh juga tidak. Itu hak Anda. Tapi harus diingat, meski Anda tidak percaya, Anda tetap mungkin terkena Covid-19 (mungkin badan Anda fit, sehingga saat terkena Covid-19 Anda tak menunjukkan gejala alias OTG = Orang Tanpa Gejala). Dan jangan lupa, jika Anda tak mematuhi protokol kesehatan dan berdekatan dengan orang lain, Anda berpeluang menjadi "pembunuh" (menyebarkan virus Corona kepada orang lain).

Orang lain itu bukan hanya orang di sekitar Anda (yang tidak Anda kenal), tapi itu bisa jadi suami/istri, anak, ayah, ibu, kakek, nenek (seluruh kerabat Anda). Sering kali terlupakan, Anda punya hak, orang lain juga punya hak. Jangan lupa, sebelum dapat hak, kita harus melaksanakan kewajiban dulu.

Anda berhak nonton film di bioskop, misalnya. Anda wajib beli tiket dulu.

Anda berhak mengisap rokok (perokok sering ngomel kalau diingatkan saat merokok di tempat umum, karena merasa rokok itu ia beli dari uangnya sendiri, ia punya hak untuk merokok). Tapi sering lupa, orang lain pun punya hak mendapatkan udara bersih tanpa asap rokok. Kalau Anda merokok di tempat terbuka dan jauh dari orang lain atau misalnya Anda sendirian merokok dalam ruang tertutup atau Anda merokok tapi tidak mengeluarkan asap, tidak ada orang yang akan komplain.  

In Memoriam Prof Boediwarsono, Dokter Pejuang Covid-19 | Energi DI's Way Podcast w/ Dahlan Iskan #21

 

Ironi di Tengah Tragedi

Nakes kelelahan, sumber foto: Google

 

 


Wahai Manusia ...

Ketika dokter dan nakes meninggalkan keluarga,
berjuang sekuat tenaga untuk selamatkan nyawa,
banyak yang sampai kehilangan nyawa,
demi menyelamatkan sesama.

Tapi ada juga manusia,
yang diminta diam saja di rumah,
untuk cegah Covid merajalela,
itu pun tetap tak bisa.

Ada yang lebih parah,
lihat sesama sedang menderita,
tau sesama sedang meregang nyawa,
baginya ini adalah peluang usaha.

Mungkin agak jauh bicara soal surga atau neraka,
mungkin ia kira itu tak ada,
setelah kehidupan di dunia,
sehingga membuatnya seolah manusia tanpa rasa?

Bandung, 21072021, HFJ

 

Integritas sebagai manusia sedang diuji di masa pandemi Covid-19 ini. Seharusnya kita merasa lebih peduli dan lebih berempati kepada sesama. Yang menderita karena Covid-19 bukan hanya kita saja di Indonesia, tapi seluruh warga dunia. 

Di masa awal pandemi (hingga saat ini), kita bisa melihat banyak berita tentang empati manusia di berbagai belahan dunia (termasuk di Indonesia), saling membantu. Empati itu bisa Anda baca di: Virus Corona Membuat Warga Dunia Semakin Peduli.

Tapi di balik "manusia-manusia berhati malaikat" itu, ada juga "manusia-manusia" (entah Anda setuju atau tidak penulis menyebut mereka manusia) yang tak peduli kesulitan orang lain, malah merasa inilah saatnya untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadinya. Yang konon kabarnya (menurut judul berita di koran), pelakunya bisa terancam hukuman mati. Kita lihat saja nanti. 

Ada juga yang melakukan berbagai aksi tak terpuji di masa pandemi ini yang dapat mengancam nyawa orang lain dan mengakibatkan penyebaran Covid-19 semakin meluas. Sementara para dokter dan nakes serta petugas pemakaman sudah kewalahan menangani korban Covid-19.

Silakan baca judul-judul berita di bawah ini (eh ... iya, sebelum klik untuk baca, silakan tonton video di bawah ini). 

Kisah di awal pandemi Covid-19. Ada seorang pria di China yang datang ke kantor polisi menyerahkan sumbangan satu dus masker, lalu pergi begitu saja. Polisi memintanya berhenti, ia tetap pergi begitu saja (tanpa pamrih, tak mau perbuatan baiknya diketahui banyak orang), dan kedua polisi itu hanya bisa memberi hormat kepada donatur tanpa nama itu. "Untungnya" ada CCTV yang menyaksikan sehingga kisah kebaikan ini bisa dibagikan.

 

China coronavirus: Chinese man ‘flees’ after leaving face masks for police officers

 

Mari lihat sepak terjang manusia-manusia berikut ini, yang melahirkan kisah ironi di tengah tragedi:

  1. Sempat Diburu KPK, Mensos Juliari Patok Fee Rp 10.000 per Paket Bansos Covid-19, Totalnya Rp 17 M! (Tribun News)
  2. Jaksa: Juliari Batubara Potong Rp 10.000 Tiap Paket Bansos Covid-19 (Kompas)
  3. Terungkap! Juliari Perintah Dua Anak Buah Potong Bansos Corona Rp 10.000 (Suara) 
  4. Kasus Dugaan Korupsi Mensos, Dua Tersangka Patok Fee Rp 10.000 Per Paket Bansos (Kompas)
  5. Video: Alasan Mensos Juliari Terancam Hukuman Mati (Kata Data)
  6. Tersangka Korupsi Bansos Covid-19, Mensos Juliari Bisa Diancam Hukuman Mati (Berita Satu) 
  7. Korupsi Bansos Covid-19, Mensos Juliari Batubara Terancam Hukuman Mati (Ayo Surabaya)
  8. Mengapa Mensos Juliari Batubara Bisa Terancam Hukuman Mati? Begini Penjelasannya (Tribun News) 
  9. Modus Pegawai Kimia Farma Bandara Kualanamu, Stik Antigen Bekas Dicuci Alkohol, Hasil Swab Diketik Non-reaktif (Kompas) 
  10. Media Inggris Sorot Kasus Tes Rapid Bekas di Kualanamu (Republika)
  11. Tersangka Kasus Antigen Bekas Warga Lubuklinggau yang Sedang Bangun Rumah Mewah (Inews Sumsel)
  12. Kasus Rapid Antigen Bekas di Kualanamu, Branch Manajer Lab Kimia Farma Tersangka (Tempo)  
  13. Penimbun Masker di Jateng Jualan Onliine, Raup Ratusan Juta (CNN) 
  14. Kisah Tersangka Penimbun Ribuan Masker Berujung Positif Corona (Detik) 
  15. Setahun Pandemi Covid-19: Saat Penimbun Masker Dibekuk, Tujuan Cari Untung Jadi Dihukum (Kompas) 
  16. Penimbun Masker Virus Corona Ditangkap di Apartemen Mediterania (Suara)   
  17. 2 Penimbun Hand Sanitizer di Bekasi Ternyata Juga Memproduksi Tanpa Izin (OkeZone) 
  18. 2 Penimbun Hand Sanitizer di Bekasi Ditangkap Polisi, 200 Jeriken Disita (Detik)  
  19. Manfaatkan Situasi Pandemi Corona, Polres Metro Bekasi Bekuk Penimbun Hand Sanitizer (Merdeka)   
  20. Pabrik Hand Sanitizer di Cikarang Digerebek, He dan Yu Ditangkap (JPNN)  
  21. Surat Palsu Rapid Antigen Dijual Rp1 Juta di Bandara Soetta (CNN) 
  22. Kasus Surat Hasil "Rapid Test" Antigen Palsu di Cianjur, Ini Peran Dua Tersangka (Kompas) 
  23. Palsukan Surat Tes COVID demi Mudik, 2 Warga Tangerang Ditangkap (Detik)  
  24. Pemalsu Surat Rapid-Swab Antigen Palsu Cuma Pakai Handphone dan KTP Pemesan (Detik)    
  25. Modus Nakal Penimbun Obat Ivermectin, Harga Rp70.000 Jadi Rp400.000 (Channel Viva di YouTube)
  26. Terbongkar Penimbunan 'Obat Covid' Dijual Lebih Mahal di Jakbar (Detik)
  27. Bongkar Gudang Penimbunan Obat Covid-19, Polisi Sita Ratusan Boks Azithromycin (Sindo News)    
  28. 'Obat Corona' yang Ditimbun di Jakbar Dijual 2 Kali Lipat dari HET (Detik)
  29. Viral Curhat Penjual Tabung Oksigen Dibeli Penimbun: Sorry Nggak Tak Jual! (Suara)
  30. Polda Jatim Amankan Dua Penimbun Tabung Oksigen (Republika)  
  31. Polri Tangani 4 Kasus Penimbunan dan Permainan Harga Tabung Oksigen (Kabar24) 
  32. Polda Jatim Bongkar Penimbun Tabung Oksigen di Sidoarjo (Ayo Surabaya)  
  33. Hotman Paris Ngamuk Biaya Kremasi Jenazah Covid-19 Tembus Rp 80 Juta: Kenapa Begitu Tega? (Suara Surakarta)
  34. Kabareskrim Kejar Krematorium Nakal yang Patok Harga Rp 80 Juta Pengurusan Jenazah Covid-19 (Tribun News)    
  35. Warga Jakarta Barat Keluhkan Mahalnya Biaya Kremasi Jenazah Covid-19, Capai Rp 45 Juta (Liputan 6). Baca info lengkapnya di sini.
  36. Hotman Paris Laporkan Ada Penjahat Kremasi Jenazah Covid-19, Bareskrim Polri Bertindak (Pikiran Rakyat)
  37. Pengakuan Korban Pungli Rp4 Juta Pemakaman Covid di Bandung (CNN) "TPU Cikadut yang menjadi area pemakaman khusus jenazah dengan protokol Covid-19 tidak mengenakan biaya alias gratis. Pemakaman pasien covid tidak dipungut biaya karena semua petugas sudah dibayar bulanan oleh pemkot/kabupaten sebagai instansi pengelola. Terkait berita pungli pemakaman yang terjadi Cikadut ini, oknum-oknum tersebut sudah langsung dipecat dan sekarang diperiksa oleh kepolisian. Oknum-oknum tersebut ternyata melakukan modus ini tidak hanya kepada non muslim namun kepada keluarga jenazah covid yang muslim juga," tutur Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat.
  38. Keluarga Jenazah Pasien Covid-19 di Bandung Diminta Rp 4 Juta, Alasannya Beda Agama (Kompas).  "Pemerintah Kota Bandung telah mengeluarkan pernyataan bahwa tidak ada pungutan biaya apa pun untuk pemakaman jenazah pasien Covid-19. Permintaan uang itu adalah pungutan liar," kata Ema Sumarna, Sekretaris Daerah Kota Bandung sekaligus Ketua Harian Satgasus Penanganan Covid-19 Kota Bandung.
  39. Pemakaman Jenazah Covid-19 Butuh Biaya Jutaan Rupiah (Kontan) "Tiap jenazah Covid-19 membutuhkan biaya Rp 3,36 juta. Seluruh biaya tersebut ditanggung pemerintah. Pemerintah sudah mengalokasikan anggaran Rp 72 triliun sebagai dana kesehatan penanganan virus corona," Surat Menteri Keuangan Nomor S-275/MK.02/2020 tertanggal 6 April 2020.
  40. Viral, Petugas RSUD Kota Mojokerto Minta Biaya Pemakaman Pasien Covid-19 Rp3 Juta (INews Jatim) "Terjadi salah paham antara petugas dengan keluarga pasien. Masalah ini sudah selesai dan biaya tiga juta sudah dikembalikan kepada keluarga korban,” kata Sugeng Mulyadi, Direktur RSUD dr Sudiro Husodo Kota Mojokerto.
  41. Modus Tersangka Ubah Tabung APAR Jadi Tabung Oksigen: Dicuci-Diwarnai (Detik) beli tabung pemadam kebakaran warna merah Rp 700.000, dibersihkan ala kadarnya, dicat putih, isi oksigen, jual Rp 5.000.000. Ada bahaya sisa serbuk pemadam kebakaran dan tabung APAR (Alat Pemadam Api Ringan) yang tipis dan rawan meledak karena tekanan oksigen.
  42. Jual Tabung Oksigen Hasil Modifikasi Tabung Pemadam Kebakaran, 6 Orang Ditetapkan Tersangka (Tribun News)  
  43. Demi Iklan di Website, Pria Ini Tawarkan Bansos PPKM Darurat Palsu (Detik)  
  44. Pemalsu Website Bansos PPKM Darurat Raup Untung Rp1,5 Miliar (Media Indonesia)
  45. Pembuat Situs Palsu Pendaftaran Bansos PPKM Darurat Ditangkap (Viva)  
  46. Jual Kartu Vaksin Palsu, Pasutri di Bogor Raup Ratusan Juta (CNN)   
  47. Polisi Tangkap Pasutri yang Jual Sertifikat Vaksin Covid-19 Palsu (Kompas)  
  48. Pemilik Fotokopi di Bekasi Jual Kartu Vaksin Palsu Rp15 Ribu  (CNN)  
  49. Polisi Tangkap PNS Jual Surat PCR Palsu di Sulut (CNN)  
  50. Jual Hasil Tes PCR Palsu Rp400 Ribu, 2 Tersangka Diamankan (CNN)  
  51. Jual Surat PCR Palsu ke Penumpang Pesawat, Bos Klinik di Kaltim Diciduk (Detik) 
  52. Potong Dana hingga Ubah Isi Dus, Begini Modus Korupsi Bansos Covid-19 di Jabar (Liputan 6)
  53. Korupsi Bansos Terjadi Lagi, Pelaku Potong Dana Rp 100 Ribu Per Keluarga hingga Mencapai Rp 800 Juta (Kompas TV)
  54. Praktek Potongan Bansos Tunai di Berbagai Daerah, Rata-rata Disunat Rp 50 Ribu (Tempo)
  55.  
  56.  

Berita di atas:

  1. nomor 1 sampai 8 berita tentang "Korupsi Bansos Covid-19", 
  2. nomor 9 sampai 12 berita tentang "Tes Rapin Antigen Bekas, 
  3. nomor 13 sampai 16 berita tentang "Penimbun Masker"
  4. nomor 17 sampai 20 berita tentang "Penimbun Hand Sanitizer"
  5. nomor 21 sampai 24 berita tentang "Surat Rapid-Swab Antigen Palsu" di berbagai daerah,
  6. nomor 25 sampai 28 berita tentang "Penimbun Obat Covid-19" 
  7. nomor 29 sampai 32 berita tentang "Penimbun Tabung Oksigen"  
  8. nomor 33 sampai 36 berita tentang "Biaya Kremasi Jenazah Covid-19 Rp 80 Juta"  
  9. nomor 37 sampai 40 berita tentang "Biaya Pemakaman Jenazah Covid Mahal"   
  10. nomor 41 sampai 42 berita tentang "Tabung Bekas APAR diubah Jadi Tabung Oksigen"
  11. nomor 43 sampai 45 berita tentang "Pembuatan Website Bansos PPKM Palsu" 
  12. nomor 46 sampai 48 berita tentang "Penjual Kartu Vaksin Palsu"
  13. nomor 49 sampai 51 berita tentang "Penjual Surat PCR Palsu"
  14. nomor 52 sampai 54 berita tentang "Korupsi Dana Bansos Covid-19" 
  15.  

Mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya (mencuri) adalah pencurian. Tapi kita terkadang bisa memakluminya seperti kasus: Mencuri Pepaya Karena Kelaparan, Seorang Nenek Di Tuntut 2 Tahun Penjara (Nasib Rakyat). Bagaimana dengan ini: Harta Kekayaan Mensos Juliari P Batubara, Tersangka Korupsi Bansos Covid-19: Punya Harta Rp 47 M (Tribun News)???

Sebagai penutup, mari baca: Kisah Inspiratif: Mari Kita Becermin 

Kisah Inspiratif: Mari Kita Becermin

Sumber foto: Goikuzo
 

Jepang adalah negara sekuler. Sex shop, bar bar tempat minum sake berhamburan di sana. Teman saya yang lama tinggal di sana cerita di kawasan Ginza, sering ditemukan pria tergeletak di jalan di pagi pagi buta. Mereka adalah orang orang yang mabuk dan tertidur di jalan sambil menunggu pagi. Hebatnya tas mereka, laptop, arloji mahalnya tidak ada yang mempreteli. Aman sampai dia bangun kembali di esok harinya untuk bergegas ke kantor.

Ingat Jepang waktu dilanda musibah tsunami? Opa lihat mereka mengantre pembagian makanan karena banyak toko toko makanan hancur oleh gempa dan tsunami. Yang membuat opa terharu adalah ketika seseorang mendapatkan roti, dia membelah rotinya menjadi dua dan berbagi sebagian rotinya ke orang yang mengantre di belakangnya. Begitu terus seperti rantai. Di saat kesusahan, mereka sadar itu bukan momen untuk kenyang, tetapi untuk bisa bertahan hidup. Seorang wanita Indonesia di Jepang yang waktu gempa terjadi sedang bayar belanjaan di kasir supermarket harus segera meninggalkan tempat ke titik evakuasi. Dia saking paniknya meninggalkan credit card-nya di meja kasir. Wanita ini sungguh terkejut ketika semua sudah terkumpul di titik evakuasi, ada suara di pengeras suara yang memberitakan ada seorang wanita yang meninggalkan CC dan pihak kasir menunggu di titik evakuasi untuk mengembalikan credit card-nya. Ketika bercerita di TV, wanita Indonesia ini tampak terharu.

Bagaimana di kita yang konon penduduknya relijius? Yang sering debat agama dan ulasan ajaran agama tidak kurang kurang? Di masa pandemi, integritas manusia akan teruji. Dimulai dari tabung oxygen yang langka dan tak lama kemudian harganya melonjak gila-gilaan, obat obatan yang selalu kosong, dan tampaknya ada beberapa pihak yang sengaja menimbun. Begitu juga terakhir saya dengar tempat kremasi pun harganya fantastis puluhan juta rupiah karena sudah dikuasai kartel yang menjual mahal tiap slot kremasi. Belum lagi ada pihak pihak yang menggunakan kepanikan masyarakat untuk menjual produk-produk yang belum terbukti atau teruji untuk Covid atau menteri yang menyikat dana bansos yang notabene dana untuk mereka yang paling terdampak pandemi. Sungguh miris sih. Berbeda dengan moto orang Jepang di saat saat sulit yaitu, "Ini bukan momen untuk kenyang tetapi untuk survive bersama," tampaknya kita punya moto, "Ini momennya untuk mengenyangkan diri sendiri, walau harganya nyawa orang lain,"

Di balik bar dan gemerlapnya dunia malam ada cinta kasih dan welas asih yang tumbuh subur, dan di balik tempat tempat ibadah yang marak, tidak menjamin putihnya hati manusia. Opa jadi ingat nasihat seorang sahabat yang berujar, "Tuhan tidak ada di tempat ibadah. Dia berada di mana pun ketika welas asih, kebaikan, dan cinta kasih diwujudkan secara kongkret." Dia benar.


Sumber: FB Tony Santoso

Catatan: Admin telah melakukan edit dari sisi tata bahasa, tanpa mengubah arti.

Baca juga: Budaya Jujur di Jepang Sudah Diasah Sejak Dini 


Kisah Helmi Indra: Ayah Saya Meninggal karena Percaya Hoaks COVID-19

Sumber: Line

 

Jakarta, IDN Times - Selain virus Sars-CoV-2, ada lagi hal lain yang tak kalah membahayakan di masa pandemik COVID-19 yakni hoaks yang bertebaran di media sosial. Bagi sebagian orang yang tak paham hoaks mengenai COVID-19 justru juga bisa membahayakan nyawa karena menghalangi upaya penyelamatan.

Itulah yang dialami oleh warga Depok, Helmi Indra (34 tahun). Ayah Helmi tutup usia karena COVID-19 pada 14 Juli 2021 lalu. Namun, situasinya semakin memburuk lantaran ayah Helmi terpengaruh berita hoaks yang tersebar di grup WhatsApp keluarga.

Dua video yang sempat didistribusikan oleh anggota keluarga lainnya yaitu vaksin COVID-19 buatan Tiongkok bisa membunuh manusia dan pernyataan dokter Louis Owien yang menyebut COVID-19 tidak mematikan. Pasien COVID-19 justru meninggal karena efek dari interaksi obat yang dikonsumsi.

"Papa itu sudah ada gejala (COVID-19) sejak Selasa, 6 Juli 2021. Almarhum sempat mengeluhkan kepalanya pusing dan lemas. Kami mengira itu karena gulanya sedang tinggi. Keesokan harinya Papa mengeluh kondisi badannya semakin lemas," ungkap Helmi ketika dihubungiIDN Times melalui telepon pada Minggu, (18/7/2021).

Ia mengatakan ayahnya tinggal di daerah Tegal, Jawa Tengah, sehingga Helmi hanya bisa memantau dari jauh. Ia mengaku sebenarnya sudah curiga karena adiknya sudah lebih dulu terpapar COVID-19.

Adik dan ayah Helmi tinggal terpisah. Namun, ayah Helmi sering kali berkunjung ke rumah adiknya karena ingin menengok sang cucu.

"Bisa jadi papa tertular di sana atau kena dari luar. Sesekali papa memang masih sering keluar rumah juga. Tapi, tertular pastinya di mana, kami juga tidak tahu," tutur dia lagi.

Saat tahu anak perempuannya tertular COVID-19, ayah Helmi sempat melakukan swab antigen dan hasilnya nonreaktif. "Tapi ya wajar kalau masih nonreaktif karena kan bisa saja virusnya itu belum berinkubasi," katanya.

Lantaran beberapa hari setelah swab antigen itu muncul gejala, ayah Helmi akhirnya dipaksa menjalani tes yang sama dengan alat yang mereka miliki. "Akhirnya, kakak yang memaksa agar ayah melakukan antigen dengan alat yang kami punya. Sudah bisa diduga hasilnya reaktif," ungkapnya.

Helmi mengatakan sebelum melakukan tes swab antigen mandiri, ia dan keluarga di Tegal sudah memberikan sejumlah obat untuk meredakan gejala COVID-19. Tapi, tak disentuh karena ia khawatir nafasnya bisa hilang lantaran ada reaksi dari obatan-obatan tersebut.

"Yang dikonsumsi hanya obat pereda nyeri saja. Sisanya, tak mau ia minum karena percaya video soal interaksi obat-obatan yang diminum," kata dia.

Apa hikmah yang bisa dipetik oleh publik dari kisah pilu Helmi dan keluarganya tersebut?

1. Ayah Helmi belum divaksinasi karena percaya vaksin tak halal
Kondisi ayah Helmi semakin memburuk, karena ia menunda untuk divaksinasi. Menurut Helmi, ayahnya percaya pada informasi bahwa vaksin buatan Tiongkok bisa membunuh bahkan tidak halal.

"Ayah juga sempat mengatakan kalau vaksin malah memperburuk bukan memperbaiki keadaan. Sepertinya itu berita dipotong lalu disebarluaskan makanya ia semakin takut," tutur dia lagi.

Ayah Helmi juga mempercayai narasi seharusnya yang ditakuti adalah Tuhan bukan virus corona. Tak menyerah, Helmi sempat memberi penjelasan kepada ayahnya.

"Saya mengutip pernyataan Ustaz Quraish Shihab bahwa hal tersebut gak perlu dipertentangkan. Ini menjadi kesatuan. Kalau kita takut dengan virus berarti kan harus ada ikhtiar untuk mencegah (agar tidak tertular). Tawakalnya seperti apa," kata Helmi.

Sayangnya, penjelasan itu tetap tak diterima oleh almarhum ayahnya. Maka, ia sempat menyesal tidak berusaha lebih keras untuk meyakinkan ayahnya.

"Seharusnya saya memberi tahu papah terus menerus (hingga berubah pikiran) bukan sekedarnya saja," ujarnya.

2. Helmi kehilangan ayahnya kurang dari 24 jam usai dibawa ke rumah sakit
Saat proses isolasi mandiri bersama istri, kondisi ayah Helmi mengalami perburukan. Saturasi oksigennya sudah mencapai di angka 40.  Berkat informasi yang diperoleh kakak Helmi, ayahnya bisa dilarikan ke satu rumah sakit di Tegal pada Rabu, 14 Juli 2021 sekitar pukul 03:00 dini hari.

"Tapi, memang berdasarkan hasil rontgen foto thorax, paru-parunya sudah berkabut dan ternyata ditemukan adanya pembengkakan jantung," ujar Helmi.

Namun, perburukan kondisi ayahnya begitu cepat. Ia sempat dimasukan ke ruang IGD dan dipindahkan ke kamar isolasi pukul 11:00 WIB. Pukul 12:30 WIB, kakak Helmi masih bisa menghubungi ayahnya untuk memberi semangat.

Tak lama setelah itu kondisinya memburuk. Pukul 13:15 perawatan mengabarkan kepada kakak Helmi ayahnya mengalami pemburukan kondisi kesehatan lalu ia meninggal.

"Itu semua terjadi di hari yang sama di tanggal 14 Juli 2021," kata dia.

3. Jenazah ayah Helmi sempat antre untuk dimakamkan
Tetapi, untuk bisa memakamkan jenazah ayahnya juga melalui proses yang tidak mudah. Sebab, pada 14 Juli 2021, ada 10 pasien lainnya yang meninggal akibat COVID-19. Alhasil, proses pemandian hingga ke pemakaman pun antre.

"Baru bisa dapat jatah pemandian jenazah itu sekitar pukul 09:30 WIB (pada 15 Juli 2021). Mobil ambulans baru tiba sekitar pukul 10:15 karena hari itu ada 10 pasien yang meninggal dan harus dimakamkan dengan menggunakan protokol COVID-19," kata Helmi.

Peti jenazah ayahnya baru bisa diproses untuk dimakamkan satu jam usai dimandikan. Sebelum dimakamkan, mobil ambulans sempat berhenti di depan rumah agar bisa ikut disalatkan oleh ibu Helmi.

"Karena mama juga sedang isolasi mandiri maka dia cuma bisa salat dari depan pagar rumah aja sambil ngeliat mobil ambulans. Lalu, mobil ambulans menuju ke kuburan untuk memakamkan dengan protokol COVID-19," katanya.

4. Helmi bertekad akan jadi oase informasi mengenai COVID-19 di keluarga
Saat ini, tersisa ibu dan keluarga adiknya yang masih menjalani isolasi mandiri. Di dalam keluarga adiknya, juga terdapat balita usia tiga tahun. Helmi menduga keponakannya itu pun sudah terpapar COVID-19 karena ibunya sedang dalam masa isoman. Adik Helmi pun kini juga tengah mengandung.

"Jadi, tujuannya agar ada yang jagain mama juga. Selain itu kan harapannya mama bisa ceria karena ada cucunya di rumah adik," ujarnya.

Helmi merasa beruntung karena tetangga di lingkungan tempat adiknya tinggal ikut membantu selama mereka menjalani isoman. Sehingga, ada yang ikut membantu menyediakan makanan.

Ke depan, ia bertekad akan menjadi penjernih di grup WhatsApp keluarga. Oleh sebab itu, ia berusaha memperkaya literasi mengenai pandemik COVID-19.

"Saya sadar saat menerima informasi harus cek informasi yang benar seperti apa. Jadi, saya cek ke sumber dari MUI, WHO hingga ke ustaz yang memahami keadaan dan bukan memperburuk," katanya.

Ia menggunakan strategi bila informasi yang disebar di media sosial tidak ilmiah maka ia akan counter dengan merujuk ke sumber-sumber terpercaya dan dokumen medis. Helmi juga tak segan counter dengan narasi agama karena banyak yang justru menyebarkan informasi tak benar dengan dalih agama.

"Aku gak peduli sih kalau kemudian (anggota keluarga yang lain) jadi kesel ke aku. Saya sampai mengontak secara pribadi sesepuh di keluarga yang sering berbagi informasi yang belum terkonfirmasi kebenarannya itu," tutur dia.

"Saya bilang tolong banget kalau masih sayang dengan saya dan keluarga, jangan lagi share informasi seperti ini. Saya berharap mudah-mudahan mereka bisa mengerti," ungkapnya.



Sumber: Line

 

abcs