Jakarta, IDN Times - Selain virus Sars-CoV-2, ada
lagi hal lain yang tak kalah membahayakan di masa pandemik COVID-19 yakni hoaks
yang bertebaran di media sosial. Bagi sebagian orang yang tak paham hoaks
mengenai COVID-19 justru juga bisa membahayakan nyawa karena menghalangi upaya
penyelamatan.
Itulah yang dialami oleh warga Depok, Helmi Indra (34 tahun). Ayah Helmi tutup
usia karena COVID-19 pada 14 Juli 2021 lalu. Namun, situasinya semakin memburuk
lantaran ayah Helmi terpengaruh berita hoaks yang tersebar di grup WhatsApp
keluarga.
Dua video yang sempat didistribusikan oleh anggota keluarga lainnya yaitu
vaksin COVID-19 buatan Tiongkok bisa membunuh manusia dan pernyataan dokter
Louis Owien yang menyebut COVID-19 tidak mematikan. Pasien COVID-19 justru
meninggal karena efek dari interaksi obat yang dikonsumsi.
"Papa itu sudah ada gejala (COVID-19) sejak Selasa, 6 Juli 2021. Almarhum
sempat mengeluhkan kepalanya pusing dan lemas. Kami mengira itu karena gulanya
sedang tinggi. Keesokan harinya Papa mengeluh kondisi badannya semakin
lemas," ungkap Helmi ketika dihubungiIDN Times melalui telepon pada
Minggu, (18/7/2021).
Ia mengatakan ayahnya tinggal di daerah Tegal, Jawa Tengah, sehingga Helmi
hanya bisa memantau dari jauh. Ia mengaku sebenarnya sudah curiga karena
adiknya sudah lebih dulu terpapar COVID-19.
Adik dan ayah Helmi tinggal terpisah. Namun, ayah Helmi sering kali berkunjung
ke rumah adiknya karena ingin menengok sang cucu.
"Bisa jadi papa tertular di sana atau kena dari luar. Sesekali papa memang
masih sering keluar rumah juga. Tapi, tertular pastinya di mana, kami juga
tidak tahu," tutur dia lagi.
Saat tahu anak perempuannya tertular COVID-19, ayah Helmi sempat melakukan swab
antigen dan hasilnya nonreaktif. "Tapi ya wajar kalau masih nonreaktif
karena kan bisa saja virusnya itu belum berinkubasi," katanya.
Lantaran beberapa hari setelah swab antigen itu muncul gejala, ayah Helmi
akhirnya dipaksa menjalani tes yang sama dengan alat yang mereka miliki.
"Akhirnya, kakak yang memaksa agar ayah melakukan antigen dengan alat yang
kami punya. Sudah bisa diduga hasilnya reaktif," ungkapnya.
Helmi mengatakan sebelum melakukan tes swab antigen mandiri, ia dan keluarga di
Tegal sudah memberikan sejumlah obat untuk meredakan gejala COVID-19. Tapi, tak
disentuh karena ia khawatir nafasnya bisa hilang lantaran ada reaksi dari
obatan-obatan tersebut.
"Yang dikonsumsi hanya obat pereda nyeri saja. Sisanya, tak mau ia minum
karena percaya video soal interaksi obat-obatan yang diminum," kata dia.
Apa hikmah yang bisa dipetik oleh publik dari kisah pilu Helmi dan keluarganya
tersebut?
1. Ayah Helmi belum divaksinasi karena percaya vaksin tak halal
Kondisi ayah Helmi semakin memburuk, karena ia menunda untuk divaksinasi.
Menurut Helmi, ayahnya percaya pada informasi bahwa vaksin buatan Tiongkok bisa
membunuh bahkan tidak halal.
"Ayah juga sempat mengatakan kalau vaksin malah memperburuk bukan
memperbaiki keadaan. Sepertinya itu berita dipotong lalu disebarluaskan makanya
ia semakin takut," tutur dia lagi.
Ayah Helmi juga mempercayai narasi seharusnya yang ditakuti adalah Tuhan bukan
virus corona. Tak menyerah, Helmi sempat memberi penjelasan kepada ayahnya.
"Saya mengutip pernyataan Ustaz Quraish Shihab bahwa hal tersebut gak
perlu dipertentangkan. Ini menjadi kesatuan. Kalau kita takut dengan virus
berarti kan harus ada ikhtiar untuk mencegah (agar tidak tertular). Tawakalnya
seperti apa," kata Helmi.
Sayangnya, penjelasan itu tetap tak diterima oleh almarhum ayahnya. Maka, ia
sempat menyesal tidak berusaha lebih keras untuk meyakinkan ayahnya.
"Seharusnya saya memberi tahu papah terus menerus (hingga berubah pikiran)
bukan sekedarnya saja," ujarnya.
2. Helmi kehilangan ayahnya kurang dari 24 jam usai dibawa ke rumah sakit
Saat proses isolasi mandiri bersama istri, kondisi ayah Helmi mengalami
perburukan. Saturasi oksigennya sudah mencapai di angka 40. Berkat
informasi yang diperoleh kakak Helmi, ayahnya bisa dilarikan ke satu rumah
sakit di Tegal pada Rabu, 14 Juli 2021 sekitar pukul 03:00 dini hari.
"Tapi, memang berdasarkan hasil rontgen foto thorax, paru-parunya sudah
berkabut dan ternyata ditemukan adanya pembengkakan jantung," ujar Helmi.
Namun, perburukan kondisi ayahnya begitu cepat. Ia sempat dimasukan ke ruang
IGD dan dipindahkan ke kamar isolasi pukul 11:00 WIB. Pukul 12:30 WIB, kakak
Helmi masih bisa menghubungi ayahnya untuk memberi semangat.
Tak lama setelah itu kondisinya memburuk. Pukul 13:15 perawatan mengabarkan
kepada kakak Helmi ayahnya mengalami pemburukan kondisi kesehatan lalu ia
meninggal.
"Itu semua terjadi di hari yang sama di tanggal 14 Juli 2021," kata
dia.
3. Jenazah ayah Helmi sempat antre untuk dimakamkan
Tetapi, untuk bisa memakamkan jenazah ayahnya juga melalui proses yang tidak
mudah. Sebab, pada 14 Juli 2021, ada 10 pasien lainnya yang meninggal akibat
COVID-19. Alhasil, proses pemandian hingga ke pemakaman pun antre.
"Baru bisa dapat jatah pemandian jenazah itu sekitar pukul 09:30 WIB (pada
15 Juli 2021). Mobil ambulans baru tiba sekitar pukul 10:15 karena hari itu ada
10 pasien yang meninggal dan harus dimakamkan dengan menggunakan protokol
COVID-19," kata Helmi.
Peti jenazah ayahnya baru bisa diproses untuk dimakamkan satu jam usai
dimandikan. Sebelum dimakamkan, mobil ambulans sempat berhenti di depan rumah
agar bisa ikut disalatkan oleh ibu Helmi.
"Karena mama juga sedang isolasi mandiri maka dia cuma bisa salat dari
depan pagar rumah aja sambil ngeliat mobil ambulans. Lalu, mobil ambulans
menuju ke kuburan untuk memakamkan dengan protokol COVID-19," katanya.
4. Helmi bertekad akan jadi oase informasi mengenai COVID-19 di keluarga
Saat ini, tersisa ibu dan keluarga adiknya yang masih menjalani isolasi
mandiri. Di dalam keluarga adiknya, juga terdapat balita usia tiga tahun. Helmi
menduga keponakannya itu pun sudah terpapar COVID-19 karena ibunya sedang dalam
masa isoman. Adik Helmi pun kini juga tengah mengandung.
"Jadi, tujuannya agar ada yang jagain mama juga. Selain itu kan harapannya
mama bisa ceria karena ada cucunya di rumah adik," ujarnya.
Helmi merasa beruntung karena tetangga di lingkungan tempat adiknya tinggal
ikut membantu selama mereka menjalani isoman. Sehingga, ada yang ikut membantu
menyediakan makanan.
Ke depan, ia bertekad akan menjadi penjernih di grup WhatsApp keluarga. Oleh
sebab itu, ia berusaha memperkaya literasi mengenai pandemik COVID-19.
"Saya sadar saat menerima informasi harus cek informasi yang benar seperti
apa. Jadi, saya cek ke sumber dari MUI, WHO hingga ke ustaz yang memahami
keadaan dan bukan memperburuk," katanya.
Ia menggunakan strategi bila informasi yang disebar di media sosial tidak
ilmiah maka ia akan counter dengan merujuk ke sumber-sumber terpercaya dan
dokumen medis. Helmi juga tak segan counter dengan narasi agama karena banyak
yang justru menyebarkan informasi tak benar dengan dalih agama.
"Aku gak peduli sih kalau kemudian (anggota keluarga yang lain) jadi kesel
ke aku. Saya sampai mengontak secara pribadi sesepuh di keluarga yang sering
berbagi informasi yang belum terkonfirmasi kebenarannya itu," tutur dia.
"Saya bilang tolong banget kalau masih sayang dengan saya dan keluarga,
jangan lagi share informasi seperti ini. Saya berharap mudah-mudahan mereka
bisa mengerti," ungkapnya.
Sumber: Line
Posting Komentar