Kami sempatkan mampir ke mal yang ada di kawasan Malioboro. Melihat-lihat suasana jalan Malioboro yang jadi salah satu ciri khas kota Yogyakarta. Setelah capek, balik ke hotel. Santai sejenak, nonton TV channel luar, lalu tidur.
Di sini banyak sekali penjaja cindera mata/ souvenir, baik berupa gantungan kunci berbentuk stupa candi, segala asesoris bernuansa Borobudur, juga ada replika stupa Borobudur, patung Buddha, kaos dan lain-lain. Tips untuk Anda, bersabarlah sejenak menaha keinginan Anda untuk membeli. Ya, mungkin sekedar menoleh kepada yang menawarkan dagangannya kepada Anda. Mereka dengan sendirinya akan menurunkan harga agar Anda berminat. Sebuah kaos yang semula ditawarkan Rp 25.000 tanpa kami tawar akhirnya turun hingga 7 potong Rp 100.000!
Dari Borobudur menuju Candi Prambanan. Sayangnya kelamaan di Borobudur, Candi Prambanan sudah tutup. Kami berfoto dari luar saja dengan latar belakang Candi Prambanan.
Kemudian kami menuju museum Ullen Sentalu. Tak banyak yang dapat penulis promosikan dari Museum Ullen Sentalu ini. Mungkin kami datang bukan saat yang tepat? Jaraknya jauh dari kota (daerah Kaliurang). Saat kami tiba, hujan dan langit gelap. Turun dari mobil menuju loket tiket kehujanan. Tempat menunggu masuk ke museum gelap. Sebelum mulai perjalanan melihat koleksi museum sudah diwanti-wanti sama pemandu-nya bahwa sebagian besar koleksi yang ada tidak boleh difoto (juga tidak boleh berfoto karena koleksi juga terfoto dong).
Jalan yang menghubungkan satu ruangan ke ruangan lain ternyata ruang terbuka. Jadi serombongan (sekitar 20 orang) harus berbasah-basah setiap pindah ruangan. Pemandu-nya memakai jas hujan, kami menutupi kepala seadanya. Yang bawa payung pakai payung dan topi sedikit lebih beruntung. Yang tak bawa? Terpaksa menutupi kepala dengan kertas, jaket, atau telapak tangan. Semestinya museum ini menyediakan payung untuk pengunjungnya. Kami khawatir 2 putra kami sakit (masuk angin), bisa kacau agenda liburan di Yogya. Di akhir kunjungan, pengunjung diberi segelas (menurut penulis: setengah gelas) minuman istimewa.
Dengan tiket Rp 25.000/ orang untuk dewasa dan Rp 15.000/ orang untuk anak-anak, rasanya sangat jauh dibanding dengan Keraton yang hanya mematok Rp 5.000/ orang.
Satu-satunya yang penulis ingat hanya bertemu Eross Candra (gitaris Sheila on 7) yang sedang menggendong anaknya. Pengunjung yang mengetahui kehadiran Eross langsung minta foto bersama.
Oleh-Oleh
Dari museum, kami keliling mencari oleh-oleh. Kami melewati jalan Ngasem, kawasan yang menjual kaos (T'shirt) mirip Dagadu. Ada yang memakai nama Dagadu, Jogker Dagadu. Menikmati suasana sore menjelang malam kota Yogya sepanjang perjalanan menuju hotel.
Setelah mandi, kami jalan kaki ke Malioboro. Kami ingin menikmati makan malam suasana khas Yogya (lesehan jalan Malioboro, depan DPRD Yogyakarta). Bagaimana rasanya? Biasa saja, tidak ada yang istimewa. Yang istimewa justru sambel dan lalap. Kalau di Bandung, beli ayam bakar dapat lalap dan sambal gratis (sama halnya dengan pecel lele), ehm... di sini ternyata "jebakan." Anda harus bayar sambal dan lalap! Kreatif...!
Bila makan lesehan di Malioboro, sebaiknya siapkan uang receh di atas meja karena banyak pengamen yang menjajakan suaranya. Tangan dalam keadaan kotor tentu susah merogoh kantong ataupun dompet untuk memberikan uang ke pengamen. Sayangnya, saat kami makan, suara yang ngamen tidak bagus (biasa-biasa saja).
Selesai makan, jalan-jalan seputar Malioboro lalu balik ke hotel, lalu tidur. Siap untuk petualangan hari ke-2.
Catatan:
Foto akan menyusul.
Salam hangat,
Terimakash atas informasinya, menarik&menambah wawasan, artikel yang bagus.
0878-6053-4593(XL), 0274-743 4961 (Flexi),http://homestayyogyakarta.com/