Bai Fang Li, Tukang Becak yang Paling Dermawan

Namanya Bai Fang Li. Pekerjaannya adalah seorang tukang becak. Seluruh hidupnya dihabiskankan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan ke mana saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya. Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya untuk beribadah. Dia melanglang di jalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.


Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan napas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.



Bai Fang Li tinggal di sebuah gubuk reot yang nyaris roboh, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para penjual asongan, dan pemulung lainnya. Gubuk itu pun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek di pojok-pojoknya, tempat ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.

Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil tempat ia biasa merebahkan tubuhnya beristirahat. Di ruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya, di ruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal.

Ada sebuah piring seng dan sebuah tempat minum dari kaleng. Di pojok ruangan tergantung sebuah lampu teplok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah menjelang.

Bai Fang Li tinggal sendirian di gubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong. Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.



Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin, China. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang ada.

Hatinya Tersentuh
Ceritanya dimulai saat hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan menggendong beban berat di pundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar di wajahnya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu.

Dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu bergumam, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu. Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan.

Kemudian ia lihat anak itu beranjak ke tempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu ke mulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga. Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu. Ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu.

Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana.

“Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya…” jawab anak itu.
“Orangtuamu di mana…?” tanya Bai Fang Li.
“Saya tidak tahu… Ayah ibu saya pemulung… Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil…” sahut anak itu.

Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat kedua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang-camping. Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu yang tidak terlalu peduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.

Bai Fang Li kemudian membawa tiga anak itu ke yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.

Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam 8 malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan pembeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.

Hemat Demi Menyumbang
Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, di tengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa peduli dengan cuaca yang silih berganti, di tengah cuaca dingin atau dalam panas matahari yang sangat menyengat tubuh kurusnya.


“Tidak apa-apa saya menderita, yang penting anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini…,” katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa peduli dengan dirinya sendiri.

Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, hingga hampir 20 tahun Bai Fang Li mengayuh becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu.

Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya dengan rapi dalam suatu kotak dan menyerahkannya ke sekolah Yao Hua.

Bai Fang Li berkata “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan...” katanya dengan sendu.

Semua guru di sekolah itu menangis...


Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal karena sakit kanker paru-paru. Sekalipun begitu, dia telah menyumbang di sepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000 (kurs 1 RMB = Rp 1.300, setara Rp 455 juta rupiah, jika tidak salah) yang dia berikan kepada yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.

Melihat semangatnya untuk menyumbang, Bai Fang Li memang orang yang luar biasa. Ia hidup tanpa pamrih dengan menolong anak-anak yang tak beruntung. Meski hidup dari mengayuh becak (jika diukur jarak mengayuh becaknya sama dengan 18 kali keliling bumi), ia punya kepedulian yang sangat tinggi kepada nasib orang lain yang tidak seberuntung  dirinya.

Foto terakhir yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya yang bertuliskan ”Sebuah cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar biasa.”






Bai Fang Li, seorang kakek yang berprofesi sebagai pengayuh becak dan hidup dalam keterbatasan saja bisa melakukan kebaikan dan peduli terhadap sesama, bagaimana dengan kita?


Sumber: eo community.
Sumber foto berupa links di bawah foto (warna merah)

Mutiara Tersembunyi (Orangtua Wajib Baca)

Di kelasnya ada 50 orang murid, setiap kali ujian, anak perempuanku tetap mendapat ranking ke-23. Lambat laun membuat dia mendapatkan nama panggilan dengan nomor ini, dia juga menjadi murid kualitas menengah yang sesungguhnya. Sebagai orangtua, kami merasa nama panggilan ini kurang enak didengar, namun anak kami ternyata menerimanya dengan senang hati. Suamiku mengeluhkan kepadaku, setiap kali ada kegiatan di perusahaannya atau pertemuan alumni sekolahnya, setiap orang selalu memuji-muji "Superman cilik" di rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menjadi pendengar saja.

Anak keluarga orang, bukan saja memiliki nilai sekolah yang menonjol, juga memiliki banyak keahlian khusus. Sedangkan anak nomor 23 di keluarga kami tidak memiliki sesuatu pun untuk ditonjolkan. Dari itu, setiap kali suamiku menonton penampilan anak-anak berbakat luar biasa dalam acara televisi, timbul keirian dalam hatinya sampai matanya bersinar-sinar. Kemudian ketika dia membaca sebuah berita tentang seorang anak berusia 9 tahun yang masuk perguruan tinggi, dia bertanya dengan hati pilu kepada anak kami: Anakku, kenapa kamu tidak terlahir sebagai anak dengan kepandaian luar biasa? Anak kami menjawab: Itu karena ayah juga bukan seorang ayah dengan kepandaian luar biasa. Suamiku menjadi tidak bisa berkata apa-apa lagi, saya tanpa tertahankan tertawa sendiri.

Pada pertengahan musim gugur, semua sanak keluarga berkumpul bersama untuk merayakannya, sehingga memenuhi satu ruangan besar di restoran. Topik pembicaraan semua orang perlahan-lahan mulai beralih kepada anak masing-masing. Dalam kemeriahan suasana, anak-anak ditanyakan apakah cita-cita mereka di masa mendatang? Ada yang menjawab akan menjadi pemain piano, bintang film atau politikus, tiada seorang pun yang terlihat takut mengutarakannya di depan orang banyak, bahkan anak perempuan berusia 4½ tahun juga menyatakan kelak akan menjadi seorang pembawa acara di televisi. Semua orang bertepuk tangan mendengarnya.

Anak perempuan kami yang berusia 15 tahun terlihat sibuk sekali sedang membantu anak-anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya kelak. Di bawah desakan orang banyak, akhirnya dia menjawab dengan sungguh-sungguh: Kelak ketika aku dewasa, cita-cita pertamaku adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak menyanyi, menari dan bermain-main. Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan akan cita-cita keduanya. Dia menjawab dengan besar hati: Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang-bintang. Semua sanak keluarga tertegun dibuatnya, saling pandang tanpa tahu akan berkata apa lagi. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali.

Sepulangnya ke rumah, suamiku mengeluhkan kepadaku, apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami kelak menjadi guru TK? Apakah kami tetap akan membiarkannya menjadi murid kualitas menengah? Sebetulnya, kami juga telah berusaha banyak. Demi meningkatkan nilai sekolahnya, kami pernah mencarikan guru les pribadi dan mendaftarkannya di tempat bimbingan belajar, juga membelikan berbagai materi belajar untuknya. Anak kami juga sangat penurut, dia tidak membaca komik lagi, tidak ikut kelas origami lagi, tidur bermalas-malasan di akhir minggu juga tidak dilakukan lagi. Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung-menyambung, buku pelajaran, dan buku latihan dikerjakan tanpa henti. Namun biar bagaimana pun dia tetap seorang anak-anak, tubuhnya tidak bisa bertahan lagi dan terserang flu berat. Biar sedang diinfus dan terbaring di ranjang, dia tetap bersikeras mengerjakan tugas pelajaran, akhirnya dia terserang radang paru-paru. Setelah sembuh, wajahnya terlihat kurus banyak. Akan tetapi ternyata hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja nomor 23.

Kemudian, kami juga mencoba untuk memberikan penambah gizi dan rangsangan hadiah, setelah berulang-ulang menjalaninya, ternyata wajah anak perempuanku semakin pucat saja. Apalagi, setiap kali akan ujian, dia mulai tidak bisa makan dan tidak bisa tidur, terus mencucurkan keringat dingin, terakhir hasil ujiannya malah menjadi nomor 33 yang mengejutkan kami. Aku dan suamiku secara diam-diam melepaskan aksi menarik bibit ke atas demi membantunya tumbuh ini. Dia kembali pada jam belajar dan istirahatnya yang normal, kami mengembalikan haknya untuk membaca komik, mengizinkannya untuk berlangganan majalah "Humor anak-anak" dan sejenisnya, sehingga rumah kami menjadi tenteram kembali. Kami memang sangat sayang pada anak kami ini, namun kami sungguh tidak mengerti akan nilai sekolahnya.

Pada akhir minggu, teman-teman sekerja pergi rekreasi bersama. Semua orang mempersiapkan lauk terbaik dari masing-masing, dengan membawa serta suami dan anak untuk piknik. Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa dan guyonan, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan karya seni pendek. Anak kami tiada keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan gembira. Dia sering kali lari ke belakang untuk menjaga bahan makanan. Merapikan kembali kotak makanan yang terlihat agak miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap jus sayuran yang bocor ke luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.

Ketika makan terjadi satu kejadian di luar dugaan. Ada dua orang anak lelaki, satunya adalah bakat matematika, satunya lagi adalah ahli bahasa Inggeris. Kedua anak ini secara bersamaan menjepit sebuah kue beras ketan di atas piring, tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak mau membaginya. Walau banyak makanan enak terus dihidangkan, mereka sama sekali tidak mau peduli. Orang dewasa terus membujuk mereka, namun tidak ada hasilnya. Terakhir anak kami yang menyelesaikan masalah sulit ini dengan cara sederhana yaitu lempar koin untuk menentukan siapa yang menang.

Ketika pulang, jalanan macet dan anak-anak mulai terlihat gelisah. Anakku terus membuat guyonan dan membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan banyak bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan, membuat anak-anak ini terus memberi pujian. Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio masing-masing. Ketika mendengar anak-anak terus berterima kasih, tanpa tertahankan pada wajah suamiku timbul senyum bangga.

Sehabis ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku. Pertama-tama mendapatkan kabar kalau nilai sekolah anakku tetap kualitas menengah. Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang hendak diberitahukannya, hal yang pertama kali ditemukannya selama 30 tahun mengajar. Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu siapa teman sekelas yang paling kamu kagumi dan alasannya. Selain anakku, semua teman sekelasnya menuliskan nama anakku.

Alasannya sangat banyak: antusias membantu orang, sangat memegang janji, tidak mudah marah, enak berteman, dan lain-lain. Yang paling banyak ditulis adalah optimis dan humoris. Wali kelasnya mengatakan banyak usul agar dia dijadikan ketua kelas saja. Dia memberi pujian: Anak Anda ini, walau nilai sekolahnya biasa-biasa saja, namun kalau bertingkah laku terhadap orang, benar-benar nomor satu.

Saya berguyon pada anakku, kamu sudah mau jadi pahlawan. Anakku yang sedang merajut selendang leher terlebih menundukkan kepalanya dan berpikir sebentar, dia lalu menjawab dengan sungguh-sungguh: “Guru pernah mengatakan sebuah pepatah, ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.” Dia pelan-pelan melanjutkan: “Ibu, aku tidak mau jadi pahlawan, aku ingin jadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.” Aku terkejut mendengarnya dan mengamatinya dengan saksama.

Dia tetap diam sambil merajut benang wolnya, benang warna merah muda dipilinnya bolak-balik di jarum bambu, sepertinya waktu yang berjalan di tangannya mengeluarkan kuncup bunga. Dalam hatiku terasa hangat seketika. Pada ketika itu, hatiku tergugah oleh anak perempuan yang tidak ingin menjadi pahlawan ini. Di dunia ini ada berapa banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi pahlawan, namun akhirnya menjadi seorang biasa di dunia fana ini. Jika berada dalam kondisi sehat, jika hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam hati, mengapa anak-anak kita tidak boleh menjadi seorang biasa yang baik hati dan jujur.

Jika anakku besar nanti, dia pasti akan menjadi seorang istri yang berbudi luhur, seorang ibu yang lemah lembut, bahkan menjadi seorang teman kerja yang suka membantu, tetangga yang ramah dan baik. Apalagi dia mendapatkan ranking 23 dari 50 orang murid di kelasnya, kenapa kami masih tidak merasa senang dan tidak merasa puas? Masih ingin dirinya lebih hebat daripada orang lain dan lebih menonjol lagi? Lalu bagaimana dengan sisa 27 orang anak-anak di belakang anakku? Jika kami adalah orangtua mereka, bagaimana perasaan kami?

Selama hidupnya, ia tetap dapat melewati kehidupan yang diinginkannya dengan tenang, ia juga tidak belajar hal tidak baik, sebagai orangtua yang memberikan keteladanan sikap, dan tutur kata, jika dpt mengasuh anak sampai dewasa dan menjadi orang berguna dalam masyarakat, itu sudah cukup sebagai hal yang menghibur bagi leluhur, kenapa kita masih saja mengharapkan masa depan yang lebih baik lagi? Jika pun nantinya ia bisa menjadi seorang penegak hukum atau seorang arsitek, kalau tidak memiliki niat baik, lain di mulut lain di hati, apa gunanya...?

Kiriman Prajnavira (Prasetia) via BBM

Luangkan Sejenak Waktu Anda Untuk Menyaksikan Video Ini


Gary Yourofsky dalam video ini bicara hanya sebagai manusia dengan rasa kemanusiaannya, bukan seorang aktivis partai politik, bukan wakil dari organisasi keagamaan, bukan mewakili suku/ etnis, atau ras tertentu. 

Tinggalkan semua aspek itu, tontonlah video ini hanya dari sudut pandang Anda sebagai manusia. Hanya itu saja... Selamat menyaksikan...




Sudah selesai? Apa komentar Anda??? Silakan tinggalkan komentar Anda setelah menyaksikan video ini. Terima kasih...



Video Lain


Link
  1. Choose Veg
  2.  

Kata-kata yang Pernah Populer dari Masa ke Masa

Sekarang ini, kata yang lagi ngetren adalah "galau." Kata-kata, istilah, atau kalimat lain yang juga pernah sangat populer di masanya.

Tren seperti ini sudah ada sejak penulis masih kecil. Sekarang, berdasarkan ingatan, penulis coba menggali kenangan tentang kata, istilah atau kalimat yang pernah sangat populer itu. Ketahuan deh usia penulis... Hehehe

Penulis tidak tahu, apakah kehadiran bahasa gaul dan prokem (bukan bahasa resmi) ini memperkaya bahasa Indonesia atau justru merusak bahasa Indonesia. Penulis hanya mencatatnya.

Semua ini disusun berdasarkan ingatan penulis (artinya pun hanya kira-kira saja, harap maklum kalau banyak yang keliru):
  1. Asoy. Tak jelas benar tahun berapa populernya (penulis masih SD). Kata ini populer berbarengan dengan kantong kresek sehingga di Palembang dan sekitarnya kantong kresek lebih dikenal dengan nama kantong asoy atau asoy. Sampai ada lagu yang bercerita tentang kata ini. Ini sepenggal syair lagu yang terlintas di benak penulis: "... Segala yang dilihat, dikatakan asoy, asoy istilah kini..."
  2. Salome. Kata ini merupakan singkatan dari satu lobang rame-reme (wuih...jorok banget kedengarannya). Seperti kata asoy, kata ini juga jadi inspirasi pencipta lagu dan sepenggal syairnya seperti ini: "... Aduh... aduh... aduh... salome, satu lobang rame-rame,..."
  3. Nih ye... Ngomong apa pun lebih asyik bila diakhiri dengan kata ni ye... Misal: Sepatu baru ni ye... Ini semasa penulis SMP or SMA. Ketika demam kata-kata ini, sering ada yang iseng. Dia akan bilang begini: "Hei... hati-hati kalau ngomong. Sekarang sudah tidak boleh boleh ngomong ni ye... lagi" katanya dengan mimik serius. Spontan lawan bicara akan tanya: "Kenapa?" Dengan santainya ia akan berkata: "Nanya nih ye...."
  4. Apanya dong. Kata ini juga sempat dijadikan lagu yang dipopulerkan oleh Euis Darliah, ciptaan Titiek Puspa. Syairnya: ".... Apa apa apanya dong, apanya dong, apanya dong, dang ding dong,..."
  5. Racun. Tidak tahu apakah di daerah lain kata ini juga sempat populer. Setiap mengejek sesuatu, selalu mengatakan racun. Misal mau mengejek sepatu teman yang jelek: "Itu sepatu atau racun?" Ini populer di masa penulis masih SMP.
  6. Piakak. Ini juga tidak tahu, apakah diluar daerah tempat tinggal penulis kata ini juga sempat populer atau tidak. Masa itu, kata ini berkonotasi negatif. Bisa mengatakan orang pelit, penjahat, atau apa saja yang negatif, semua disebut piakak. Saat penulis tanya, jawaban mereka berbeda-beda untuk arti piakak ini.
  7. Kuncup, mekar, miring, terbalik, kasihan deh loe. Kalimat seperti ini dipopulerkan kalangan artis.
  8. Gaul. Sebelum populer, kata ini lebih berkonotasi negatif. Di koran lebih sering dipakai untuk kata (maaf: setubuh). Misalnya berita kriminal: Seorang anak digauli ayah kandungnya. Sekarang kata gaul naik derajatnya. Anak gaul diartikan anak yang mengikuti perkembangan zaman.
  9. Lebay. Kata ini berasal dari kata "lebih" yang dibaca dengan gaya anak muda gaul. Arti yang saya tangkap adalah berlebihan. Dalam jejaring sosial, kalau menulis status yang berlebihan, sering ditulis: lebay.com deh...
  10. Secara. Pemakaian kata secara yang tidak pada tempatnya. Secara gue gitu lho... Tak tahu, kata "secara" ini untuk menggantikan kata apa.
  11. Sesuatu banget. Misalnya: Dia itu sesuatu banget buat gue.
  12. Galau. Ramai digunakan di situs mikro blogger: Twitter.
  13. Unyu-unyu. Tak jelas dari mana asalnya, tapi kata ini diartikan lucu dan menggemaskan.
  14. Képo. Kata ini penulis lihat sering dipakai di Twitter dan sebuah acra di sebuah stasiun TV swasta. Dugaan awal, kata ini berasal dari bahasa Hokian yang artinya kurang lebih (selalu suka tahu urusan orang lain saja, usil). Setelah cari tahu dari teman, ternyata artinya pun kurang lebih sama, hanya saja kata képo konon singkatan dari kepentingan orang (mau tahu urusan/ kepentingan orang saja).
  15. Kamseupay. Kata ini penulis lihat di Twitter dan di iklan operator selular di TV. Setelah dari tahu, ternyata singkatan dari Kampungan sekali, u (baca: You) payah. Wow...



Ada juga kata-kata yang populer selain yang di atas, banyak yang mulai digunakan dari lagu. Tapi tak tahu, apakah nanti akan jadi kata resmi di KBBI (disusun berdasarkan abjad):Geboy (sampai radio swasta di Bandung menggunakannya untuk motto: Geboy Mania), goyang dombret (lagu dangdut), jablay (jarang dibelai atau dibelay?), prikitiew (kata-kata khas Sule di sinetron: Awas Ada Sule).

Penulis baru tahu, ternyata kata: bohay ternyata berasal dari singkatan body aduhay.

Posting ini akan terus diperbaharui (kalau penulis menemukan kata-kata yang belum dimasukkan). Anda bisa menambahkan kata-kata yang pernah populer ini dengan menuliskannya di komentar. Terima kasih.

Apakah Anda Juga "Tertipu"???

Ehm... hanya tulisan iseng saja. Sebenarnya kejadiannya sudah cukup lama, tapi baru sekarang sempat ditulis.

Penulis suka memperhatikan logo-logo perusahaan. Penulis mengagumi kemahiran perancang logo yang bisa membuat sebuah logo jadi terlihat "cantik dan menarik". 

Hanya mengutak-atik huruf (yang umumnya singkatan atau huruf awal nama perusahaan/ produk) bisa dibuat sedemikian rupa sehingga bisa menggambarkan bagaimana keinginan si pemilik perusahaan. 

Sebuah logo bisa dibuat sedemikian rupa sehingga bisa mencerminkan sifat: gagah, cekatan, bersahabat, dan makna positif lainnya. Atau setidaknya, dengan sekali lihat, kita sudah sangat mengenal dan langsung tahu, produk apa yang ditawarkan dengan hanya melihat sekilas logo tersebut. Sebut saja logo restoran cepat saja di bawah ini.




Dengan melihat huruf M berwarna kuning yang khas dengan latar belakang warna merah, kita semua sudah tahu produk apa yang ditawarkan.

* * * * *

Nah... yang "anehnya" saat melihat sekilas ke logo Carrefour yang ada di kantong kresek, penulis jadi bertanya-tanya. Apa sih maksud  logo Carrefour ini? 

Cuma terdiri dari tanda panah merah ke kiri dan tanda panah biru ke kanan yang aneh.


 Tanda panah merah ke kiri


 Tanda panah biru ke kanan


Ternyata penulis "tertipu" karena hanya melihat warna merah dan biru (tidak melihat warna putih). Seperti juga gambar ilusi optik di bawah ini.

Jika hanya melihat warna hitam 
(hanya ada siluet 2 wajah saling berhadapan, kiri dan kanan)

Jika hanya melihat warna putih 
(hanya ada gelas di bagian tengah gambar)


Begitu juga dengan logo Carrefour (sebelumnya penulis tidak memperhatikan warna putih di antara warna merah dan biru karena menyatu dengan warna putih sebagai latar belakang logo ini). Ternyata di sana-lah "huruf C" bersembunyi (Carrefour). Bagaimana dengan Anda?



Dan taukah Anda, ternyata nama perusahaan retail ini sama dengan nama kota di negara Haiti? Silakan klik: Carrefour.

Media Sosial, Sarana Bersosialisi di Dunia Maya

Cara berkomunikasi dengan sesama manusia berubah dari waktu ke waktu. Awalnya mungkin dengan bahasa isyarat (sebelum ada bahasa), lalu bicara secara langsung, dengan tulisan (surat). 

Lalu menggunakan telepon, HT (Handy Talky), dan semakin pesat dengan munculnya ponsel.  Telepon tidak lagi harus dari tempat tertentu (rumah atau kantor), tapi pengguna bisa melakukan pembicaraan di mana saja selama ada sinyal. Komunikasi via tulisan pun bisa menggunakan ponsel (SMS) dan jauh lebih cepat daripada cara konvensional (berkirim surat).

Ketika internet semakin memasyarakat, ponsel yang menyediakan fasilitas internet makin murah, situs-situs pergaulan dunia maya pun bermunculan. Awalnya penulis mengenal Friendster atau disingkat FS (sekarang FS sudah bukan situs media sosial lagi), lalu FaceBook (FB), dan terakhir Twitter. Selain mencantumkan alamat situs di produknya, aneka perusahaan sekarang mencantumkan juga FB dan Twitter agar mereka semakin dekat dengan konsumen.

Sarana bersosialisasi di dunia maya makin diramaikan dengan BBM, Line, Kakao Talk, We Chat, dan lain-lain. Ke mana pun kita pergi, kita mudah berkomunikasi dengan keluarga dan teman-teman. Fans tetap bis "memantau" apa saja kegiatan idolanya, apa yang ditulis idolanya dan juga bisa berbagi foto.

Teknologi memang memanjakan kita. Hanya saja muncul keluhan, teknologi ini justru "mendekatkan yang jauh sekaligus menjauhkan yang dekat". Tatap muka dengan orang di sekeliling jadi lebih jarang karena setiap saat kita lebih suka melihat ponsel. Semoga kita dapat mengambil manfaat maksimal dari kemajuan teknologi dan meminimalisir akibat negatifnya.


Selengkapnya, silakan klik: Fasilitas dan Kreativitas di Dunia Maya
abcs