Kaget, Pelayanan Kelurahan DKI Sudah Berubah

Terakhir kali saya mengurus administrasi di kantor kelurahan, kira-kira sudah lewat satu tahun lalu. Waktu itu ada panggilan untuk mengambil e-KTP. Rasanya malas sekali meninggalkan pekerjaan untuk berdesak-desakan dan berpanas-panasan di kantor kelurahan. Banyak waktu terbuang sia-sia untuk menunggu dokumen yang sedang dikerjakan oleh staf kelurahan di wilayah Jakarta Timur ini. Kalau tidak terpaksa sekali sih, saya memilih untuk tidak pernah datang ke tempat yang namanya kantor kelurahan.


Tapi siang ini saya harus kembali ke kantor kelurahan Cililitan dengan terpaksa. Masalahnya, anak saya yang bersekolah di SMP Depok akan melanjutkan ke SMA Negeri Depok. Dan ada kebutuhan melegalisir Kartu Keluarga untuk pendaftaran di sekolah nanti. Ya sudah, tekad sudah dibulatkan untuk mengantri lagi berdesakan dan berpanas-panasan di kantor kelurahan. Namanya juga sayang anak.


Saya memarkir mobil di parkiran kantor kelurahan Cililitan yang relatif sepi. Pintu tertutup semua, hanya ada satu orang sedang duduk di luar di bangku teras. Pikiran saya yang negatif sudah langsung menghakimi, “Ini pasti staf kelurahan sudah kabur makan siang semua, urusan bakalan jadi lama deh.” Orang yang duduk di luar tadi tadi, mempersilakan saya masuk ke pintu itu. Maka saya buka pintu dan masuk ke dalam.


Begitu masuk, saya langsung terpana. Di dalamnya suasana dingin ber-AC. Saya sempat bingung. Ini kantor kelurahan, atau Bank Swasta sih? Ada 4 petugas kelurahan berbaju resmi duduk di belakang meja seperti meja Customer Service bank, semuanya wanita. Yang paling ujung kiri, bekerja dengan laptop. Ada seorang staff kelurahan yang tersenyum pada saya, dan kursi di depannya kosong. Langsung saya duduk di situ. Saya sungguh masih bingung. Mana loket tempat mengurus surat-surat seperti biasa? Mana tukang ketik yang biasa sibuk ketak-ketik seperti kelurahan pada umumnya? Ada sekitar 4 orang tamu duduk di ruang tunggu, tapi tidak mirip orang mengantri.


Ibu yang tersenyum tadi langsung melayani saya. Foto copy Kartu Keluarga saya langsung dicap dan ditulis-tulis, dan dimasukkan buku registrasi. Kami mengobrol ngalor-ngidul, dia bertanya kenapa anak saya tidak sekolah di DKI Jakarta saya, 'kan bagus? Lalu anak saya apakah tinggal dengan nenek-nya di Depok, dan sebagainya. Prosesnya cuma 3 menit. Yang luar biasa, tiba-tiba ada seseorang yang mungkin Lurah Cililitan duduk di samping saya dan menandatangani foto copy Kartu Keluarga saya. Beres. Total waktu cuma 4 menit. Semua lembar tadi diserahkan kepada saya yang masih kaget.


Lho, ini beneran sudah selesai? Dari rumah tadi saya sudah siapkan waktu sekitar 3 jam untuk mengurus legalisir Kartu Keluarga ini, tapi sekarang cuma dilayani 4 menit saja di tempat yang dingin dan mirip kantor Bank Swasta ini.


Lalu saya salaman dengan ibu tadi sambil memberi salam tempel 2 lembaran rupiah. Saya memberi uang ini bukan untuk menyogok, sebab pekerjaan sudah selesai. Tapi lebih kepada kepuasan dan terima kasih. Ibu itu mengatakan, “Wah bapak saya beri kupon ya pak. Sebab bapak sudah memberikan uang kepada saya.” Saya heran, kupon apaan? Dia menyobek 2 lembar kupon. Ternyata itu adalah kupon amal untuk sebuah panti asuhan. Ternyata uang saya akan dihibahkan lagi untuk anak-anak yatim yang tertulis di kupon itu. Saya jadi tambah kagum lagi dengan kantor kelurahan ini. Hati yang tadinya kesal karena berpikir akan antri lama di kantor kelurahan, sudah diubah menjadi kepuasan yang tak terhingga atas pelayanan kantor kelurahan Cililitan ini yang tidak lebih dari 5 menit.


Sepanjang perjalanan pulang, di dalam diri saya tumbuh yang namanya sebuah harapan. Tadinya saya sudah apatis melihat negara dan bangsa Indonesia. Tidak mungkin mental bobrok pejabat dari atas sampai bawah bisa diubah. Namun sejak gubernur yang baru memimpin Jakarta, perlahan-lahan Jakarta berubah melayani warganya. Hati saya rasanya puas dan gembira sekali. Harapan baru tumbuh untuk Jakarta yang baru, dan juga nanti menyongsong Indonesia baru.


Lewat blog Kompasiana ini saya menitipkan terima kasih untuk Pak Jokowi, Pak Ahok dan juga Pak Lurah Cililitan beserta staf-stafnya. Saya yakin di kelurahan lain di DKI Jakarta juga sudah berubah baik seperti Kelurahan Cililitan. Berubah untuk melayani warga Jakarta.


Sekarang, datang ke kantor Kelurahan sama mengasyikkan  seperti datang ke kantor cabang bank Swasta. Selamat datang Jakarta baru.


Dikutip dari tulisan seorang Kompasianer, Dwi M. Sumber: Kompasiana 


Catatan: 

Penulis (maksudnya saya, pemilik blog ini) meneteskan air mata haru membaca tulisan di atas. Kapan daerah lain mencontoh keteladanan Jokowi-Ahok? 

Terobosan baru? Mungkin tidak banyak pejabat yang berpendapat kalau ini sebuah pemikiran yang luar biasa atau apalah. Ini hal yang biasa saja, penulis pun berpendapat sama. Ini hal yang sangat biasa (semua pejabat tahu cara kerja seperti ini, bagaimana melayani rakyat, tidak korup, dll.), hanya saja TIDAK SEMUA MAU melakukan hal ini. "Jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah? Jika disuruh bayar pun rakyatnya mau, untuk apa di-GRATIS-kan? Bukankah begitu?

Mengapa hal ini dianggap sesuatu yang biasa saja (bukan luar biasa)??? Karena tidak banyak (mungkin tidak ada) pejabat dari daerah lain yang mau kunjungan kerja (bahasa populernya: studi banding) ke Jakarta. 

Pertama: sudah tahu ilmunya, bukan hal baru. Kedua: lokasinya di dalam negeri (kurang enak buat plesir). Ketiga: kalau waktu untuk studi banding lebih banyak dipakai untuk plesir pasti bakal ketahuan. Keempat: mungkin malu jika harus belajar dari bangsa sendiri lebih keren belajar ke luar negeri (misal: Studi Banding Tentang Pramuka ke Afrika atau Studi Banding Logo Palang Merah ke Turki dan Denmark) --> klik foto studi banding ke Denmark) padahal zaman sekarang serba online, tanya Mbah Google, kirim email, skype, teleconference bisa, tanpa harus berangkat ramai-ramai dan habiskan miliaran rupiah. Hanya untuk menentukan apakah akan pakai tanda palang merah atau bulan sabit merah perlu biaya miliaran.


Catatan:
Ingin bagi info ini ke teman? Berikan link singkat ini:  www.tiny.cc/berubah

Cerita Tentang Hobby (Bagian 2)

Anda bisa baca bagian pertama di: Cerita Tentang Hobby (Bagian 1) 

Hobby umumnya terjadi begitu saja. Tidak direncanakan, tapi tiba-tiba saja "jatuh cinta" pada hobby tersebut. Kalau sudah hobby, tidak ada urusan dengan biaya mahal, tempat yang jauh, uang yang dikeluarkan tak sebanding,...

Tapi setelah koleksi penulis habis dilalap si jago merah, penulis jadi berpikir. Apakah untuk hobby harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar? Apakah bisa menekuni hobby yang tanpa biaya tapi tetap asyik?

Akhirnya penulis putuskan untuk mengumpulkan sesuatu yang tidak harus mengeluarkan uang tapi unik. Tidak memakan banyak tempat untuk menyimpan dan mudah perawatannya. Apa ya? Akhirnya penulis memutuskan untuk koleksi tiket (tiket kereta api, tiket obyek wisata,...). Unik juga lihat koleksi penulis yang warna-warni. Selain unik, ada kisah di potongan tiket (perjalanan kami sekeluarga). Jadi bagus juga keputusan penulis untuk jadi kolektor tiket. Tidak harus bayar karena koleksi tersebut memang kami dapatkan saat memasuki obyek wisata. Jadi penulis juga tidak perlu berburu potongan tiket obyek wisata yang tidak pernah penulis kunjungi. Ini bukan lomba banyak tiket, tapi lebih pada mendokumentasikan sejarah perjalanan kami sekeluarga.

Ada lagi nggak ya koleksi yang mirip (tak perlu biaya, mudah disimpan, dan mudah perawatannya? Ada. Penulis juga mengumpulkan pasir! Ya, pasir pantai yang pernah kami kunjungi. Keluarga kami memang tidak terlalu sering berwisata. Pasir disimpan di botol kecil (seperti botol souvenir pernikahan yang berisi kulit kerang kecil-kecil), baru ada 4 botol yakni pasir dari pasir dari Pantai Pangandaran (Pantai Batu Karas dan Pantai Pangandaran, lupa yang mana sisi timur dan baratnya), Pantai Ancol, dan Pantai Parangtritis. 

Lalu? Bisa juga botol bekas air mineral tapi yang khusus obyek wisata: koleksi ini baru 2: Candi Borobudur dan De Ranch. Koleksi ini tanpa target. Jadi bukan karena koleksi pasir maka wisatanya hanya ke pantai. Atau hanya akan ke tempat wisata yang mempunyai kemasan air minum merek sendiri.

Khusus koleksi tiket, ada yang tidak bisa dikoleksi yaitu tiket yang di-print seperti struk kartu kredit. Tiket bioskop ada yang seperti itu. Lama-lama tulisannya hilang. Lalu ada obyek wisata yang mengambil semua tiket dan tak menyisakan potongan tiket untuk pengunjung (silakan nego saja sama penjaga, saya kolektor tiket, boleh dong minta sobekan tiketnya).

Anda mengoleksi apa???




 Sebagian koleksi tiket obyek wisata milik penulis

Botol air minum De Ranch & Candi Borobudur 

Ternyata bisa kok me-manage hobby menjadi agar hobby tidak menghabiskan banyak dana (setidaknya bagi penulis) dan tetap menyenangkan. Hobby penulis ini bermotto: "Sambil menyelam, minum softdrink." Sama halnya dengan Anda yang gemar mengumpulkan pernak-pernik dari hotel (korek api, cotton buds, sikat gigi, pasta gigi, sabun, shampo, sandal, pensil, notes,...). Pada prinsipnya, penulis hanya "memotret" kenangan berlibur selain mengabadikan liburan dengan foto dan video. Jadi, tidak ada niat berlomba memperbanyak barang koleksi. Kalau koleksi bertambah, itu karena memang kami habis berlibur ke sana dan keputusan berlibur ke sana bukan karena tiket atau pernak-pernik lainnya, karena kami memang ingin berlibur ke sana.

Bagaimana pendapat Anda???

Cerita Tentang Hobby (Bagian 1)

Apa hobby Anda? Tentu sangat beragam. Dulunya penulis hobby filateli (mengumpulkan prangko) dan correspondence (surat-menyurat) yang akhirnya diabadikan menjadi bagian dari nama penulis. Sekarang hobby menulis, menonton, dan main sulap. Kalau sudah hobby, memang susah didiskusikan dengan akal sehat.

Maksudnya? Ya, jangan Anda katakan orang tersebut "bodoh" karena rela merogoh kocek hingga ratusan juta untuk seekor burung misalnya. Atau rela menghabiskan uang banyak untuk pergi jauh ke sungai, dengan resiko digigit nyamuk atau bahkan ular, demi hobby-nya memancing. Atau hal "konyol" lainnya. Apa mau dikata, namanya juga hobby!

Hobby umumnya tidak bisa direncanakan atau diatur. Mungkin hobby bisa terpengaruh dari orangtua atau teman atau lingkungan, tapi jarang rasanya seseorang akan memilih atau merencanakan akan memilih hobby ini saja. Kalau ia sudah "jatuh cinta" pada hal itu, ya seperti yang disebutkan di atas, orang jadi tidak peduli soal  apa pun. Tidak lagi menghitung untung ruginya, tidak peduli besok harus kerja, mata sudah mengantuk, kalau sudah hobby nonton sepakbola, segala cara diupayakan. Minum kopi, kumpul bareng teman, dan lain-lain, yang penting bisa menonton pertandingan sepakbola, apalagi tim kesayangannya yang bertanding.

Itu juga yang penulis alami. Kalau sudah hobby filateli, harga prangko yang mahal, tetap saja dibeli. Kalau di jalan atau bahkan di tempat sampah melihat ada amplop berprangko, penulis akan mengambilnya. Kalau sudah mampir ke kantor pos saat mengirim surat dan mampir ke bagian filateli, pasti tak tahan jika tak membeli prangko dan SHP (Sampul Hari Pertama) untuk menambah koleksi.

Itu dulu... Ketika teknologi semakin maju, surat-menyurat tidak lagi jadi hobby karena email, SMS, BBM, dan yang lain sudah menggantikannya. Otomastis prangko juga tidak diminati? Oh...bukan. Filateli tidak lagi serius digeluti karena "putus asa" ketika rumah kontrakan penulis habis terbakar. Semua koleksi surat, foto sahabat pena, dan prangko milik penulis (dari prangko bertulisan Nederland Indie, sebutan Indonesia di zaman penjajahan Belanda, prangko bergambar Presiden Soekarno, koleksi prangko bergambar Presiden Soeharto dari nominal Rp10 hingga Rp 500, koleksi prangko lambang provinsi 27 provinsi lengkap, dan lain-lain, termasuk prangko luar negeri tentunya), habis terbakar!

Sekarang? Kalau ketemu atau diberi prangko bekas, ya masih dikumpulkan, tapi jika harus keluar uang untuk beli lagi? Tidak akan! 


Bersambung ke bagian ke-2: Cerita Tentang Hobby (Bagian 2)

Banyak Teori Tapi Tak Bisa Beri Bukti

Sewaktu kecil, penulis segan mampir ke rumah sekaligus toko milik kakek (dari pihak Papa). Penulis sering ditegur oleh Bibi (sebut saja namanya Mecin). "Hei... kamu tidak bisa menyapa ya?" begitu kata bibi Mecin pada penulis. 

"Setiap bertamu, kamu harus menyapa pemilik rumah, Paman, Bibi, Kakek, Nenek..." lanjut bibi Mecin. Memang bagus sih, memang seharusnya seperti itu. Mengajarkan sopan santun/ tatakrama kepada kami, keponakannya. Penulis memang tidak terbiasa bertegur sapa seperti ini. Penulis lebih terbiasa memberi salam saat akan pulang. "Bi saya pulang... Paman, saya pulang... Kakek saya pulang... Nenek saya pulang" begitu kebiasaan penulis.

"Ketemu orang yang lebih tua harus sapa dengan hormat, Kak, Mbak,... Harus jadi anak yang tahu sopan santun" ceramah Bi Mecin di lain kesempatan.


* * * * * * * * * * *

Di kota lain, Bibi dari pihak Mama juga demikian, sebut saja Lilin. Maklumlah, Bibi Lilin dan suami adalah guru (jiwa pendidik) ada dalam darah mereka. Kalau lupa disapa, Paman saya bisa uring-uringan selama penulis ada di sana. 


* * * * * * * * * * * 

Berteori memang gampang, tinggal omong doang. Perkara si penutur yang bicara teori keren tapi tak punya bukti, itu urusan belakang. Ini juga yang terjadi pada 2 Bibi penulis tadi. 

Papa penulis adalah anak nomor 2, tapi sulung (cewek) tinggal di Hong Kong, jadi praktis Papa penulis adalah anak tertua yang ada di Indonesia. Sekedar info saja, di antara 5 adik Papa penulis, hanya si bungsu (yang sekolahnya paling rendah, SD tak tamat) yang menyapa Papa penulis diawali dengan sebutan Kakak! 

Adik yang lain (bahkan ada yang juga jadi guru), menyapa Papa penulis dengan memanggil namanya saja! Tentu saja termasuk Bibi Mecin! Anehnya, yang paling bungsu (yang pendidikannya paling rendah) justru yang paling sopan, setidaknya ia memanggil nama Papa penulis dengan awalan Kak. Bagaimana nih Mecin? Ups... penulis jadi kena virus tidak sopan nih.


Bagaimana dengan keluarga Bibi Lilin? Ternyata juga menunjukkan fakta yang mengejutkan.

Dari pekerja tokonya, penulis mendapat info bahwa anak laki-lakinya pernah bertengkar hebat dengan Papanya. Saaat itu sang anak pernah hampir atau mungkin sudah dipukul Papanya, dan sejak saat itu ia tidak pernah menyapa Papanya meski mereka satu rumah! Wow... Saat hal ini dikonfirmasi kepada Bibi Lilin? Ia membantah, tapi faktanya memang demikian. Selama penulis main di rumah Bibi Lilin, sang anak memang tidak pernah bertegur sapa dengan Papanya.

Bau Bangkai Itu Akhirnya Tercium Juga...

Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, akhirnya baunya tercium juga. Mungkin pepatah seperti itulah yang pas. Ehm... kisah apa ini? Kisah tentang mantan kepala bagian saat penulis bekerja di perusahaan tekstil. 

Tentu ini bukan tentang prestasi kerjanya, Anda bisa pastikan itu dari kata: bau bangkai. Hehehe... Dan lagi, jika cerita ini tentang prestasi kerjanya, kemungkinan besar tidak akan sampai ke telinga penulis. Bad news is a good news. Ya 'kan?

Memang untuk urusan uang, tak banyak yang tahan. Apa pun caranya, bagaimanapun sulitnya, siapa yang mereferensikan dirinya hingga bekerja di sana, siapa pun pemilik perusahaannya, tidak peduli. Yang penting, keinginannya bisa tercapai.

Dari jumlah gaji per bulan yang diterima (jumlahnya tidaklah besar), penulis pun bisa tahu kira-kira bagaimana taraf hidupnya. Pria beristri dengan 3 anak yang sudah bersekolah, dan istrinya ibu rumah tangga. Itu bukan perhitungan matematika yang rumit. Tidak perlu pakai rumus sulit, tak perlu kalkulkator.

Nah... sayangnya, si JS (sebut saja JS), tidak pandai menyembunyikan hasilnya. Dalam waktu singkat si JS ini bisa membeli mobil mewah dengan plat nomor polisi khusus, beli rumah di kompleks elit, dan royal banget mengeluarkan uang.  Terlalu mencolok mata!

Singkat cerita, ketahuanlah cara tak wajarnya menghasilkan rupiah. Terpaksa berurusan dengan polisi dan kekayaannya yang ketahuan diperoleh dengan cara tidak halal, disita. Biar bagaimana pun JS sumputan (bahasa daerah yang artinya: bersembunyi) dari akibat perbuatan buruknya, akhirnya "Apa yang ia tanam, itu pula-lah yang ia petik."

Soal uang, memang sulit diprediksi. Saat keserakahan akan uang sudah merasuk, manusia bisa "jahat" luar biasa. Tidak peduli siapa yang jadi referensi hingga dia mendapat posisi tersebut (tak bisa jaga nama baik seorang akuntan yang telah berbaik hati), tidak peduli sosoknya yang terlihat "manis" dan taat beribadah, tak peduli pemilik perusahaan masih ada hubungan kekerabatan, tak peduli apa pun. Bahasa kasarnya, "Persetan dengan itu semua, yang penting saya kaya!"

Ehm...masih untung urusan mendekam di dalam penjara tidak terlalu lama. Tapi, masihkan Anda bisa berjalan dengan kepala tegak saat bertemu dengan orang yang Anda kenal???   
 

Guru Memang Tak Selalu Lebih Tahu Daripada Muridnya

Kembali mengenang masa lalu penulis saat masih bersekolah. Ini kenangan tentang masa SMP. Kenangan tentang seorang guru Biologi yang berasal dari Flores (tak perlu disebut ya namanya, tapi penulis masih ingat dengan jelas nama lengkap beliau). Inisialnya CK. Rambut beliau keriting halus-halus, khas orang Indonesia Timur (mirip orang Papua atau Irian Jaya sebutan dulu, sebelum akhirnya kembali menggunakan istilah Papua kembali).

Tulisan ini bukan untuk merendahkan seorang guru, hanya menceritakan kembali kenangan yang sangat berkesan di masa sekolah dulu.

Saat SMP, penulis bersama seorang teman (Hanta Halim) sedang keranjingan menulis surat ke berbagai radio asing berbahasa Indonesia. Padahal saat itu, penulis tidak pernah mendengarkan siaran radionya. Untuk apa menulis surat? Hanya ingin mendapatkan buku, buletin, dan prangko bekas untuk koleksi. Memang penulis sangat gemar berkorespondensi.

Di mana pun penulis tinggal, Pak Pos pasti kenal dengan penulis karena hampir tiap hari ada saja surat untuk penulis. Entah dari sahabat pena yang tersebar dari kota Sabang hingga Makassar (dulu Ujung Pandang) atau dari radio asing.

Beberapa radio yang pernah penulis kirimin surat antara lain: Radio Australia (ABC), Inggris (BBC), Korea (KBS), Jepang (NHK), Radio Rusia (Pадио MockBa), Radio Nederland, dan Radio Jerman (Deutsche Welle).

Dari sana penulis mendapatkan buletin, buku, sticker, prangko bekas, dan lain-lain.

Kembali ke soal guru Biologi kami. Penulis ingat, waktu itu beliau mengatakan "Kalian percaya kalau bumerang dilempar akan kembali lagi ke pelemparnya?"

Kemudian beliau mempraktikkan (sambil melempar kapur) dan mengatakan, "Mana mungkin benda yang dilempar akan kembali? Kecuali terkena tembok lalu memantul. Lain halnya kalau yang dilempar itu bola dan mengenai dinging."

Saat itu murid-murid di kelas hanya mengangguk (entah memang setuju atau memang begitulah murid masa itu). Tapi penulis dan Hanta Halim saling berpandangan dan tidak setuju. Kami pernah mendapat buku dari Radio Australia yang bercerita tentang bumerang. Waktu itu memang belum zaman internet.

Bahkan di waktu istirahat, penulis diskusi dengan Hanta Halim: Badut sirkus pun bisa melakukan atraksi melemparkan banyak topi dan topi-topi itu kembali ke arahnya (juggling, tapi topi bukan dilempar ke atas seperti halnya juggling bola). 

Guru seharusnya membaca lebih banyak dan lebih tahu daripada murid. Apalagi di zaman internet seperti sekarang ini. Semua info dapat diperoleh dengan sangat mudah dengan bantuan Google. Semua ada di ujung jari, tinggal klik.

Jawaban Multiple Choice yang Keren

Ini kenangan tentang guru penulis semasa SD. Waktu kertas ulangan umum sudah dinilai dan dibagi, barulah Pak Dani (yang mengajar IPA) menjelaskan bahwa jawaban multiple choice yang dibuatnya akan terbaca seperti ini: 

SDXAVERIUZ  FHKLWY  PON  BCGMTQJ 

Penulis tak ingat dengan jelas apakah bagian ke-2 (FHKLWY) itu memang seperti itu. Maklumlah itu kenangan 30-an tahun yang lalu, masa penulis masih SD. Tapi bagian pertama, ke-3, dan ke-4 memang masih terngiang di benak penulis. 

Soal multiple choice itu ada 26 (sesuai jumlah abjad). Dan beliau membuatnya agar terbaca. SD Xaverius (Lubuk Linggau) adalah nama sekolah penulis. Jadi beliau dengan mudah memeriksa setiap lembar jawaban. Jika tak terbaca seperti itu (urutannya tak seperti itu, maka ada yang salah). 

Selain ada nama sekolah (SDXAVERIUZ, memang dipaksakan karena tak boleh ada abjad sama), ada PON (Pekan Olahraga Nasional), ada BCG (suntikan pencegah TBC), dan MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran). Penulis salut dengan ide kreatif beliau ini.

Jika di lembar jawaban tertulis SDXAVERIUF misalnya, maka jawaban No. 10 salah (seharusnya Z bukan F). 

Adakah ada di antara teman-teman masa kecil penulis yang membaca tulisan ini (atau mungkin Pak Dani) sendiri yang membaca dan masih ingat tentang hal ini???

Sekedar mengenang masa lalu sambil menguji ketajaman pikiran penulis.

  

Unik Itu Kreatif. Tapi Apakah Ini Termasuk Ide Kreatif???

Membuat sesuatu yang unik (beda dari yang lain), memang ide kreatif. Tapi menurut penulis, kreatif itu tak sebatas hanya "asal beda" saja. Harus tetap menarik atau bermanfaat atau nyaman dikenakan (khususnya untuk pakaian). 

Kalau sekedar berbeda saja, pasti banyak (baca: semua orang) bisa melakukan "hal kreatif" seperti hasil rancangan hasil karya desainer di bawah ini.  Silakan saja melakukan hal di luar kebiasaan (ke luar rumah tanpa alas kaki lalu sepatu atau sandal Anda letakkan di atas kepala misalnya). Unik? Ya. Aneh? Ya. Menarik? TIDAK! Jadi pusat perhatian? Ya, tapi bukan pandangan kagum yang Anda dapatkan, tapi melecehkan.  

Buat pembaca yang tidak sependapat dengan, silakan saja. Kita bebas berpendapat kok.  


Inilah contoh rancangan pakaian pria yang aneh. 
Apa pendapat Anda???

No. 3, 6, dan 7 yang paling aneh

 
 1
  2
  3
  4
  5
  6
  7
 8

Sumber foto: Yahoo News, Yahoo News

Fenomena Baru YouTube: Speech Composing

Kalau sebelumnya muncul nama Sinta dan Jojo dengan lipsync Keong Racun dan memunculkan banyak video sejenis, sekarang muncul fenomena video speech composing oleh Eka Gustiwana. 

Awal fenomena ini dimulai dari speech composing karya Eka Gustiwana tentang kemarahan Arya Wiguna (mantan murid Eyang Subur) dengan judul "Demi Tuhan."

Lalu berturut-turut lahir speech composing Jeremy Teti (presenter Liputan 6, SCTV) "BBM Campuran" dan saat Eka Gustiwana tampil bersama Jeremy Teti, juga ditampilkan hasil speech composing presenter Hitam Putih, Deddy Corbuzier berjudul "Ngaca Dulu Dong."

Selamat menikmati 3 video speech composing karya Eka Gustiwana ini...


Catatan:
Di zaman internet ini, banyak media yang tersedia bagi kita untuk "terkenal." Silakan pilih media mana yang Anda suka, silakan tampilkan kemahiran Anda. Bisa lewat video di Youtube, blog, FB, BBM, atau kicauan Anda di Twitter. Semoga saja Anda bisa menampilkan sesuatu yang positif dan menjadi dikenal orang, bukan aksi tak bermutu yang membuat hal itu jadi perbincangan (dikenal tapi dari sisi negatif).






Ve-Tsin Menjadi Vetsin atau Mecin atau Micin

Merek produk (biasanya yang pertama diproduksi atau mungkin yang paling terkenal) akan sangat melekat di benak konsumen hingga akhirnya menjadi nama generik untuk produk sejenis.

Sebut saja Aqua yang identik dengan air mineral (air minum dalam kemasan), atau Softex yang identik dengan pembalut, Kodak identik dengan kamera (sampai ada istilah Mat Kodak julukan untuk  fotografer).

Penyedap rasa untuk masakan kita kenal dengan nama vetsin, atau ada yang menyebut mecin atau micin (dari bahasa Mandarin kata wei cing atau biang rasa).

Mungkin produk di bawah inilah yang dulu pertama kali dikenal masyarakat Indonesia dan akhirnya merek produk penyedap rasa ini menjadi nama generik untuk produk sejenis.



Jadi kita sudah tidak aneh lagi jika di warung kita mendengar orang ngomong:

"Pak, beli aqua yang merek Prim-a"  atau "Bu, beli softex merek Laurier" "Mbak beli Tip-Ex merek Pentel" atau yang lain.

Jika merek produk yang jadi nama generik tersebut tetap ada dan jadi pemimpin pasar untuk produk sejenis, alangkah bangga penciptanya. Merek yang dibuatnya menjadi kosa kata baru di masyarakat dan produk mereka paling besar pangsa pasarnya.

Tapi banyak pula merek generik yang tidak jadi pemimpin pasar, sebut saja merek penyedap rasa ini (penulis yakin, saat melihat kemasan ini, tidak banyak yang tahu bahwa apa isinya, untuk apa, dan lain-lain). Banyak merek lain yang lebih populer.

Bahkan ada pula yang produknya sudah tidak ada lagi (pabriknya sudah bangkrut). Sedih ya? Tapi lumayanlah, merek mereka sudah dipakai secara umum oleh orang di Indonesia sebagai jenis barang tertentu, meski mungkin tak banyak yang tahu bahwa kata itu sebenarnya merek produk.

Apa sih contohnya? Yang penulis tahu sendiri (mengalami sendiri), tidak ada. Tapi saat SMP dan SMA dulu, guru penulis pernah menceritakan bahwa Odol itu merek pasta gigi. Begitu juga Sedan (awalnya adalah merek mobil, yang bentuk mobilnya seperti jenis mobil sedan sekarang ini). 

Langsung deh penulis tanya Mbah Google untuk melengkapi tulisan ini. Ternyata benar, Odol itu merek pasta gigi. Ini gambarnya:

 

Temuan Editor Tentang Kesalahan Berbahasa

Sebagai pecinta bahasa Indonesia, sering diminta jadi editor untuk buku teman dan buku sendiri yang akan dicetak, serta seorang kelirumolog, penulis sering memperhatikan dan menemukan kekeliruan penulisan bahasa Indonesia di berbagai tempat. Jika memungkinkan, penulis mengabadikannya dengan kamera atau setidaknya kamera ponsel.

Berikut dua temuan penulis: 

Waktu melihat buku-buku di Gramedia Paris van Java, Bandung, penulis menemukan buku ini: Seri Buku Pengetahuan Umum. 50 Penemuan Teknologi Yang Merubah Dunia, karya Ririf G

Ada kekeliruan di mana? Pertama untuk judul, seharusnya penulisan kata "yang" bukan "Yang" (huruf kecil bukan Y huruf besar). 

Yang paling mencolok tentu kata Merubah, seharusnya Mengubah.

Kata dasarnya ubah => me + ubah = mengubah

Sama dengan kata

me + ulang = mengulang (bukan merulang)
me + usir = mengulang (bukan merusir)

Nama orang yang disingkat pun seharusnya ada tanda baca titik di belakangnya, sehingga penulisannya: Ririf G. 



Kemudian pada plang tulisan Gramedia, ada motto Gramedia. Kali ini bukan menggunakan bahasa Indonesia, tapi bahasa Inggris. Karena penulis tidak begitu mengerti, penulis mengabadikannya saja untuk kemudian dicek dengan kamus.

Semula penulis mengira kata Expending saja yang salah. Di sana tertulis "Enlightining Minds Expending Horizon" yang terjemahan bebasnya mungkin: "Mencerahkan pikiran, meluaskan wawasan."

Setelah dicek di kamus, ada 2 kesalahan di sana. Seharusnya Enlightening dan Expanding. Expending = pengeluaran, expanding = memperluas.

Seharusnya"Enlightening Minds Expanding Horizon."

Bagaimana, benar tidak??? 


   


NB: 
Waktu browsing penulis juga menemukan iklan yang sudah dipasang di internet tapi terjadi kesalahan ketik.



PASANAG IKLAN DISINI
seharusnya 
PASANG IKLAN DI SINI

Insiden KJRI Jeddah, Puncak Kemarahan Bobroknya Pelayanan

Copy paste berita dari Yahoo News

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Migrant CARE, Anis Hidayah mengungkapkan insiden di KJRI Jeddah, Minggu sore, merupakan puncak dari akumulasi kemarahan buruh migran Indonesia yang tidak mendapatkan pelayanan secara memadai dan manusiawi.


Karena selama ini pelayanan yang diberikan pihak KBRI Ryadh maupun KJRI Jeddah, hanya merupakan pelayanan di dalam gedung saja. "Jadi hanya sebatas bagaimana orang diterbitkan dokumennya sudah sampai situ saja," ungkap Anis di kompleks gedung DPR, Jakarta, Senin (10/6/2013).


Tetapi, imbuhnya, pelayanan di luar gedung KJRI dan KBRI, sama sekali tidak ada pelayanan. "Bisa dibayangkan udara di atas 40 derajat celcius, itu tidak ada tenda apa-apa. Jadi seperti berjemur orang untuk mendapatkan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP)," ujarnya.


Selain itu, para TKI juga tidak mendapatkan suplai air minum dan makanan serta tenaga selama berhari-hari mengantri di tengah terik matahari di depan gedung KBRI maupun KJRI.


Apalagi, sejak Pemerintah Saudi memberikan kemudahan dengan mengumumkan kebijakan amnesti bagi warga negara asing yang overstayer atau kabur dari majian yang dimulai dari 11 Mei hingga 3 Juli 2013, antrian sudah terjadi di KBRI maupun KJRI.


Karena itu, Migran CARE menolak pernyataan pihak KJRI Jeddah, bahwa kebakaran itu terjadi karena ketidaksabaran untuk mengantri. "Itu tidak benar. Ini murni karena puncak kemarahan atas kebobrokan pelayanan," tegas Anis.


Selain itu, kata dia, dalam menghadapi kebijakan amnesti dari pemerintah Saudi Arabiah, pemerintah Indonesia menunjukkan adanya kelambanan dan ketidakpastian untuk mengantisipasi puluhan ribu buruh migran yang tengah memproses pemutihan dokumen di KJRI Jeddah.


"Insiden yang bermula dari ketidakpuasan ribuan buruh migran yang mengantri di KJRI Jeddah yang tutup tidak melayani pengurusan dokumen. Karena sedang memproses dokumen yang sudah masuk," tuturnya.


Karena itu, tegas dia, harus ada investigasi mengusut akar masalah yang memicu kejadian itu. Bukan secara serampangan menyalahkan dan mengkriminalisasi buruh migran yang mengekspresikan kemarahannya.


"Investigasi akar masalah insiden pembakaran di KJRI Jeddah yang bersumber dari kelambanan dan ketidakseriusan perwakilan Indonesia dalam pemrosesan dokumen amnesty," tegas dia.


Selain itu, Migran CARE juga menuntut agar segera dilakukan proses pemutihan dokumen bagi seluruh buruh migran yang memerlukannya dengan pelayanan prima dan tanpa diskriminasi dengan menambah SDM yang memadai.


Lebih lanjut, perlu evaluasi kinerja KJRI Jeddah dan KBRI Riyadh selama masa amnesty, terutama dalam pelayanan dokumen.


"Mendesak adanya keseriusan pemerintah pusat untuk men-support terselenggaranya pelayanan pengurusan dokumen selama masa amnesty," katanya.

Sumber: Yahoo News


Catatan: Baca komentar (kecaman) para pembaca berita ini sehubungan dengan buruknya pelayanan publik/ birokrasi terhadap pahlawan devisa ini dengan cara klik links berikut: Yahoo News

Beberapa komentar pembaca:
(untuk memperbesar, silakan klik pada gambar)





abcs