Orang Berbeda, Harga Berbeda

Kasus ini mirip dengan posting penulis sebelumnya: Malu Bertanya, Sesak di Dada. Akhir Juli 2011 lalu, pagi-pagi penulis dan istri pergi ke jalan Cibadak (Bandung) dengan motor. Berkeliling mencari keperluan rumah tangga yang memang banyak dijual di sepanjang jalan Cibadak.

Karena belum sarapan, kami mencari sarapan dulu. Ada penjual kupat tahu, nasi kuning, mie ayam, dan lainnya. Yang terdekat saja, ada penjual bubur. Kami mampir dan kebetulan ada 2 orang sedang makan bubur ayam di emperan toko di pinggir jalan tersebut.

Sebenarnya penulis ingin bertanya, "Pak berapa seporsinya?" tapi penulis urungkan. Kami lihat saja berapa harga per porsi yang dibayar pembeli sebelum kami. Toh yang kami pesan hanya bubur ayam biasa (bukan bubur ayam spesial plus hati ampela atau telor atau yang lain).

Penjual bubur ini agak unik dari penjual bubur lainnya. Umumnya pedagang bubur menggunakan mangkok, pedagang bubur ini menggunakan piring (mungkin biar bubur panasnya cepat dingin dan mudah dinikmati). Setiap pembeli diberi kain serbet yang sudah dilipat pas seukuran bagian bawah piring, untuk alas piring bubur karena tak ada meja di sana. Lapisan anti panas ala pedagang bubur.

Bagi Anda yang tidak tahu seporsi bubur ala Bandung, berikut penjelasan penulis. Bila di kota lain, umumnya semangkok bubur hanya ditaburi kerupuk secukupnya di atas bubur. Kalau di Bandung, semangkok bubur, kemudian ada sebuah piring kecil atau mangkok juga khusus berisi kerupuk. Jadi Anda pesan 1 porsi bubur akan dapat 2 mangkok (1 mangkok bubur, 1 mangkok isi kerupuk). Bandung pengkonsumsi kerupuk terbesar di Indonesia?

Kami diperlakukan "istimewa" oleh pedagang bubur. Kalau orang lain 1 mangkok bubur plus 1 mangkok kerupuk, kami berdua hanya dapat 1 mangkok kerupuk. Uniknya lagi, kerupuknya ada 2 macam: kerupuk warna merah, putih, dan sedikit emping di atasnya. Dua pembeli lain sudah selesai makan dan bayar Rp 5.000. Jadi kami tahu, harga bubur per porsi Rp 5.000.

Tapi ketika selesai makan, penulis basa-basi bertanya, "Pak berapa?" tentu saja dalam bahasa Sunda. "Dua belas ribu" jawab penjual bubur. Jadi kami diberi harga istimewa Rp 6.000 per porsi, meski rasa bubur dan fasilitas yang kami dapat sama dengan pembeli lain. Tidak ada yang istimewa selain harganya.

Begitulah ulah si pedagang nakal. Bila melihat pembelinya bukan orang sekitar sana atau bukan langganan, mereka suka pasang "harga istimewa." Mereka berpikir "Kapan lagi dapat kesempatan menipu? Toh mereka hanya sekali ini mampir dan hampir pasti tidak akan beli ke sini lagi. Jadi tak ada efeknya meski pembeli tahu kalau mereka dicurangi."

Bisa jadi memang begitu. Tidak ada pengaruhnya karena kami tidak bakal makan bubur di sana lagi (jauh dari rumah dan sebel dicurangi). Tapi pedagang tak berpikir jauh, kalau dia melakukan sesuatu yang baik, bukan tidak mungkin kami bisa jadi mengiklankan dagangannya ke teman-teman. "Kalau mau makan bubur di jalan anu, cari penjual bubur yang begini, orangnya baik, sopan, buburnya enak dan sebagainya."

Orang Minang sangat peduli dengan prinsip seperti itu (jaga nama baik). Maka di dinding rumah makan Padang ada tulisan "Bila Anda tidak puas, katakan kepada kami. Bila Anda puas, katakan pada teman-teman Anda."

Ah... orang bilang, kalau berbuat baik, belum tentu beritanya tersebar. Tapi bila Anda berbuat hal yang buruk, sebentar saja beritanya akan menyebar. Benar seperti itu?

Ya, sih. Ini contohnya. Ulah si abang penjual bubur yang kurang bagus ini dengan cepat menyebar di internet.

Kenapa tidak coba komplain langsung pada pedagangnya? Ehm... kalau makanannya kurang asin, piring kurang bersih atau hal lain, mungkin penulis akan komplain. Tapi kalau soal harga, jelas-jelas pedagang tersebut memang ingin kami membayar lebih. Ya biarkan sajalah. Boleh-boleh saja. Penulis pun boleh-boleh saja menuliskan uneg-uneg ini. ;)

Problem Tanpa Solusi

Setiap mengantar anak pergi sekolah, penulis selalu menemukan hal yang sama. Kemacetan. Di sebuah pertigaan, penulis seharusnya belok ke kanan, tapi ada tanda dilarang belok ke kanan. Jadi setiap pagi penulis harus belok ke kiri dulu, setelah agak jauh dari pertigaan baru boleh berbalik arah (balik kanan).

Kalau di pertigaan tadi bisa langsung belok kanan, tentu juga akan terjadi kemacetan di sana. Maklum saja, jalan tak terlalu besar, kendaraan cukup banyak, di jam masuk sekolah dan jam masuk kerja.

Mengarahkan kendaraan belok ke kiri dulu sebenarnya bukanlah solusi kemacetan, hanya memindahkan simpul kemacetan.

Terlambat sedikit saja dari jam biasanya, kemacetan semakin panjang. Kalau sudah begini, biasanya ada petugas berjaga di tempat kendaraan berbalik arah. Adakah solusi? Sama saja. Petugas biasanya meminta pengendara untuk terus meski sudah memberi tanda akan belok kanan (atau tepatnya balik kanan). Kalau petugasnya 1 orang, pengendara diminta agak jauh dari tempat biasa berbelok. Ada 2 petugas, jarak untuk berbalik arah akan lebih jauh lagi. Sama saja, bukan solusi juga. Hanya memindahkan simpul kemacetan saja.

Banyak problem yang ada memang tanpa solusi. Ibarat sakit perut karena telat makan, mungkin minum obat sakit maag adalah solusi sementara. Setelah itu, kita harus makan.

Solusi seperti kemacetan tadi ibarat orang sakit perut (sakit maag), hanya minum obat sakit maag (solusi sementara), tidak dilanjutkan dengan makan. Ketika reaksi obat berakhir, minum obat lagi. Tentu tidak akan sembuh, malah tambah kronis.

Kemacetan terjadi di hampir semua kota besar. Ini terjadi karena ruas jalan tetap seperti itu saja (jarang ada penambahan jalan baru, jarang ada pelebaran jalan, atau perbaikan jalan yang rusak). Sedangkan jumlah kendaraan baik roda dua maupun roda empat, setiap hari bertambah. Jumlah pertambahan kendaraan pun angkanya fantastis!

Ini problem matematis yang sederhana. Jalan ibarat ember, kendaraan ibarat air. Kalau tidak ada penambahan ember atau mengganti dengan ember yang lebih besar, sedangkan air dari kran terus menetes, siapa pun akan tahu jawabannya. Air akan memenuhi ember dan meluber/ tumpah.

So... ???

Jalan Tol Milik Pribadi

Penulis sering kali melalui sebuah ruas jalan kecil (jalan pintas) yang melewati jalan kampung dan bagian belakang sebuah kompleks perumahan. Jalan kecil ini sering dijadikan jalan alternatif bagi motor maupun mobil pada jam masuk kerja dan jam pulang kerja agar terhindar dari kemacetan.

Ide cemerlang terlintas di benak. Mengapa peluang tidak dijadikan uang? Maka dipasanglah sebuah plang berupa tiang besi dan plat dari logam di tengah jalan bertuliskan: Sumbangan untuk perbaikan jalan (duh mulianya orang ini).

Untuk apa plang setinggi pinggang orang dewasa yang bisa dipindah-pindah ini? Sebagai penghalang bagi mobil yang akan lewat. Motor bisa lewat jalan di sisi kiri dan kanan penghalang ini. Tapi kalau mobil? Tentu saja tidak bisa. Begitu ada mobil yang akan lewat, sang pemasang plang ini akan memindahkan penghalang ini. Karena merasa pemasang plang ini "berjasa" sehingga pengguna jalan bisa lewat, maka pengguna jalan akan memberikan uang.

Bila Anda lewat setelah dia mengangkat plang lalu Anda tidak memberi uang, jangan harap lain kali dia akan memindahkan plang itu untuk Anda. Lewat jalan lain saja.

Sudah selesaikah? Ternyata belum. Di tengah jalan pintas ini agak menyempit sehingga kendaraan dari dua arah harus bergantian. Jangan khawatir, sudah ada orang yang berjaga dan mengatur arus lalu lintas ini. Tapi sekali lagi, tidak ada jasa gratis. Anda harus bayar!

Kalau Anda menemukan portal di kompleks perumahan, mungkin itu benar untuk menjaga agar jalan di kompleks perumahan itu jadi awet. Mobil box atau kendaraan besar lainnya tidak bisa lewat. Kalau mau lewat, tentu petugas keamanan di sana akan mengangkat portal (melepaskan tali penahan atau membuka gembok portal. Urusan begini, biasanya tak jauh dari uang juga.

Kembali ke jalan pintas tadi. Jangan percaya kalau uang yang diberikan pengendara akan digunakan untuk pemeliharaan jalan atau perbaikan jalan, pasti masuk ke kantong pribadi. Orang itu bukan petugas yang disuruh oleh RT setempat kok. Jangan juga berpikir: Plang tadi dipasang untuk menjaga agar jalan tadi lebih awet (kendaraan kecil boleh lewat, kendaraan besar tak boleh lewat). Kendaraan seberat apa pun, kalau bayar, tentu dibolehkan lewat. Jalan mau cepat rusak, EGP!

Berapa tarif sekali lewat? Anda harus bayar minimal Rp 500 di pintu masuk dan Rp 500 di tengah perjalanan (yang mengatur giliran kendaraan untuk lewat). Kurang dari Rp 500, Anda tidak boleh lewat sini lagi.

Sekali lewat, Anda harus bayar Rp 1.000. Kecil sih... jika hanya sesekali saja. Tapi kalau sehari 2 kali (pulang pergi)? Dan harus diingat, jalan kecil ini jaraknya hanya sekitar 500 meter saja. Lewat jalan pintas ini, Anda belum tentu terbebas dari kemacetan. Bila dibandingkan dengan jalan tol sebenarnya (tarif dibagi jarak, pasti tarif jalan pintas ini jauh lebih mahal).

Ehm... jadi aneh saja, ada orang merasa punya hak atas sebuah ruas jalan, padahal rumahnya pun tidak ada di sana! Aneh tapi nyata.

Baca juga: Tangan di Atas Lebih Mulia

Tangan di Atas Lebih Mulia

"Tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah" yang diartikan secara bebas: "Memberi lebih mulia daripada menerima." Kita diharapkan lebih suka memberi daripada menerima (meminta, apalagi jadi peminta-minta alias pengemis).

Tapi kenyataan di lapangan, banyak yang lebih suka meminta daripada melakukan sesuatu yang bermanfaat (bekerja).

Beberapa hari lalu penulis melihat pemandangan seperti ini. Ada perbaikan jalan di satu ruas jalan kecil dalam kompleks dan kebetulan ada tikungan di ujung jalan itu. Karena sebelah jalan sedang diperbaiki (diaspal), maka kendaraan yang lewat harus bergantian. Ada yang mengatur agar jalan bisa lancar. Sebentar giliran kendaraan yang masuk kompleks boleh jalan, sebentar kemudian giliran kendaraan yang akan keluar dari kompleks yang boleh jalan.

Seperti biasa, tak ada jasa yang gratis. Seorang mengatur jalan, seorang lagi memegang kaleng ataupun kotak kardus untuk meminta sumbangan ala kadarnya dari pengendara yang lewat. Untuk permintaan uang seperti ini, pengendara bisa memaklumi.

Sekarang perbaikan jalan sudah selesai. Jalan sudah bisa dilalui seperti biasa. Tapi mengetahui mudahnya mencari uang dengan hanya berteriak "Terus... terus..." atau dengan menggerakkan tangan meminta kendaraan berjalan, jalan ini tidak lagi gratis, tapi jadi jalan berbayar (mirip jalan tol)!

Setiap kali penulis lewat, selalu saja ada orang yang berdiri dekat tikungan dan berteriak "Terus... terus..." sambil memegang kotak kardus, seolah memberi kesempatan kepada mobil itu untuk lewat dan seakan ada kendaraan lain dari arah sebaliknya. Padahal mobil itu hanya sendiri (tak ada mobil lain, bahkan tak ada kendaraan lain) selain penulis yang mengendarai motor di belakang mobil itu.

Lucu! Jalan bukan sedang diperbaiki sehingga harus ada yang mengatu
r mana yang harus lewat duluan. Tidak ada mobil dari arah lain. Kok tetap pura-pura mengatur jalan? Padahal sebelum perbaikan jalan, jalan ini bebas dilalui tanpa harus bayar.

Di tempat lain (di kompleks lain), penulis menemukan hal yang sama. Ada yang berjaga di tikungan untuk mengatur kendaraan yang lewat. Biasanya sih orang dewasa, tapi kalau orang dewasa tidak ada, anak-anak usia SD pun melakukan aksi serupa. Mengatur kendaraan yang akan lewat padahal dari arah berlawanan tidak ada kendaraan yang akan lewat.

Cari uang memang semakin sulit sehingga apa pun dihalalkan asal dapat uang atau memang bermental peminta-minta?


Baca juga: Jalan Tol Milik Pribadi

Cut Tari Diminta Suaminya Pergi dari Rumah

Penulis menemukan judul di atas dari halaman depan tabloid Nova yang dibeli istri. Waktu itu sedang heboh-hebohnya video asusila Ariel Peter Pan. Tulisan ini tidak untuk membahas masalah video itu atau siapa yang benar dan siapa yang salah. Hanya tinjauan dari sisi bahasa Indonesia.

Judul itu tentu menarik minat banyak orang ketika membaca judulnya. Apa yang terlintas di benak Anda membaca judul di atas?

Jujur saja, yang terlintas di benak penulis, kalimat judul itu berarti: Suami Cut Tari (Yusuf Subrata) marah dan mengusir Cut Tari dari rumah. Apakah Anda berpikiran sama?

Tapi setelah dibaca, berita itu justru sebaliknya. Sang suami mendukung istrinya. Sang suami mendukung Cut Tari agar berani ke luar rumah (bertemu dengan orang-orang luar, jangan hanya mengurung diri di rumah saja). Kalau Anda tak percaya, silakan klik links ini: Cut Tari Diminta Suaminya Pergi dari Rumah.

"Diminta suaminya pergi dari rumah" menurut penulis lebih condong dengan arti "diusir" (disuruh minggat atau angkat kaki) daripada sekedar "ke luar rumah" dan nantinya akan kembali lagi ke rumah.

Semestinya judul di atas diganti: Suami Mendukung Cut Tari Agar Berani ke Luar Rumah? Mungkin judulnya jadi lebih bagus (menjelaskan isi berita), tapi tidak menarik perhatian orang untuk membeli dan membaca tabloid itu. Sah-sah saja membuat judul seperti itu untuk menarik perhatian pembaca? Entahlah...

Bagaimana pendapat Anda???

Buat Logo Google Unik Yuk!

Waktu browsing penulis menemukan info asyik. Kita bisa membuat logo Google yang berbeda dari biasanya, misalkan sesuai dengan nama kita.

Biasanya logo Google seperti di bawah ini:



Anda juga bisa membuat Google plesetan
seperti yang penulis buat di bawah ini:








atau


Jadi kalau orang menggunakan komputer atau laptop Anda dan membuka links yang sudah Anda bookmarks atau Anda men-setting browser Anda ke Google yang Anda buat, mereka akan menemukan logo Google yang tidak biasa. Meski logo-nya berbeda, namun situs Google ini tetap berfungsi seperti biasa.
Anda tidak percaya? Silakan klik: HensGoogle
atau logo di bawah ini:



lalu gunakan search engine "HensGoogle" ini seperti biasa.

Selain variasi seperti huruf-huruf logo, masih ada variasi lain seperti huruf: Yahoo, Harry Potter, Shrek, Star Wars, Matrix, dan lain-lain. Juga ada banyak pilihan warna.

Tertarik untuk membuat logo Google unik ini? Berikut langkah-langkahnya:
  1. Klik Funny Logo
  2. Ketik nama yang Anda inginkan
  3. Pilih jenis huruf yang Anda inginkan
  4. Lalu klik Create My Search Engine
  5. Silakan copy links yang tertera di browser, itulah alamat links Search Engine Anda.
Selamat mencoba...


Kalau foto latar Google yang ingin Anda ubah, silakan klik: Ayo Ubah Gambar Latar Google-mu



Referensi: Mac Famous


Selengkapnya, silakan klik: Fasilitas dan Kreativitas di Dunia Maya

Hong Zhong Hai, Sang Dermawan Sejati

Kalau sebelumnya kita mengenal Chen Shu-chu, Penjual Sayur yang Sangat Dermawan, kini kita memiliki seorang kakek bernama Hong Zhong Hai yang juga tak kalah dermawannya. Semoga kisah ini menginspirasi kita semua.



Sungguh mulia lelaki tua veteran perang di Taiwan ini. Dia rela hidup melarat, makan dan berpakaian seadanya, bahkan tidak memedulikan kesehatannya, demi menabung untuk disumbangkan ke fakir miskin.

Adalah Hong Zhong Hai, kakek 82 tahun yang pernah berlaga di perang saudara China, ditahbiskan masuk ke dalam jajaran 46 orang paling dermawan se-Asia Tenggara versi majalah Forbes. Bukannya tidak beralasan, kendati renta, dia rela berkorban demi kepentingan orang banyak.

Tahun lalu, kakek kelahiran Anhui Huoqiu, China, ini menyumbangkan tabungannya sebesar NT$6 juta atau sekitar Rp. 1,78 miliar pada mereka yang membutuhkan. Ia juga sering membantu menyokong hidup janda kawan-kawannya di medan perang.

Menurut kisah yang diungkapkan Peter Wey, seorang diplomat Taiwan di Jakarta, 7 Juli 2011, Hong tidak pernah merasa cukup menyumbang. Dia berpikir bahwa uang yang sudah dikeluarkannya itu masih belum cukup besar. "Saya ingin hidup lebih lama lagi, sehingga saya bisa memberi lebih," kata Hong.

Keadaan Hong saat ini telah payah. Dia berjalan menggunakan skuter listrik sejak jatuh dari sepeda pada 2006 dan mengalami cedera tulang belakang pada 2011. Ia juga menderita penyakit pikun atau demensia dan mengalami kesulitan bicara. Namun, jika bicara soal sumbangan, dia bisa menjelaskan panjang lebar.

"Hidup saya sangat sederhana. Saya menghemat untuk diri sendiri, namun bersedia menyumbang," kata Hong.

Hong ikut wajib militer menggantikan sang kakak tahun 1945, saat usianya baru 16 tahun dan baru enam bulan menikah. Ia pun terjun dalam perang saudara, perang bom tahun 1958, dan sederet perang lainnya.

Saat pulang kampung untuk pertama kalinya pada 1987, Hong mendapati istrinya telah menikah dengan orang lain. Sejak itu ia tidak menikah lagi dan memilih untuk hidup sendiri. Hong telah pensiun dari dunia militer dan tinggal sendiri di kota Hualien, Taiwan Timur, terpisah dari saudara-saudara kandungnya.

Kehidupannya yang sederhana di rumah ini mencengangkan seorang perawat yang berkunjung ke rumahnya. "Saya melihat handuk yang sudah robek seperti sarang laba-laba, tetapi dia tidak ingin menggantinya. Ada pula sayur kubis yang dimasukan ke dalam penanak nasi listrik sampai lunak, bersama ikan kalengan dan roti kukus dimakannya yang selama seminggu. Usai makan ia hanya mengonsumsi empat butir anggur," ujar si perawat.

Perawat tersebut mengatakan biaya hidup Hong setiap bulan ternyata kurang dari NT$ 1000 (sekitar Rp. 297.000). Sebagian besar uang tunjangan pensiun Hong ditabung untk disumbangkan di kemudian hari.

Pernah ada seorang ibu dan anak yang pernah menerima bantuan Hong, datang dari dusun Xiulin membawa sup ikan untuk Hong sebagai bentuk terima kasih. Ketika menyuapkan sesendok sup kemulutnya, dengan terharu Hong berkata, "Sup ini adalah makanan paling lezat yang pernah saya cicipi."

Hong menyatakan masih ingin menyumbangkan uangnya untuk membantu lebih banyak orang, namun pihak rumah sakit menyarankan Hong agar menggunakannya untuk kepentingan medisnya.

"Hong Zhong Hai masih membutuhkan perawatan, menyewa perawat sehingga kami menyarankan untuk sementara menyimpan uangnya. Ia sendiri susah berjalan, tetapi tidak bersedia membeli kursi roda listrik," ujar pihak rumah sakit. (np)

Sumber: Viva News

Cari Biodata Sebuah Situs atau Blog ???

Apa saja yang kita cari, tampaknya selalu ada di internet. Asal rajin mencarinya dengan Google saja (googling).

Kali ini kita ingin mengetahui biodata sebuah situs atau blog. Bisakah kita mengetahui sebuah situs itu kapan dibuat, kapan masa kadaluarsanya, apa nama server-nya, kapan terakhir di-update, dan lain-lain?

Setelah dicari-cari, penulis menemukan 3 situs yang menyediakan sarana untuk mengetahui data-data tersebut. Apa saja situs itu? Silakan klik links di bawah ini dan silakan coba mencari biodata situs atau blog yang Anda inginkan.


  1. who.is
  2. whois.net
  3. whois.sc

Semoga info ini bermanfaat.


Selengkapnya, silakan klik: Fasilitas dan Kreativitas di Dunia Maya

Chen Shu-chu, Penjual Sayur yang Sangat Dermawan

Pedagang sayur di sebuah pasar di Taitung, Taiwan sudah menyumbang hampir Rp 3 M selama 16 tahun ini. Padahal dia juga bukan seorang yang kaya raya. Apa yang memotivasi dia menyumbang? Dan bagaimana pula dia mengumpulkan uang hingga sebanyak itu?


Sosoknya sangat sederhana, selayaknya pedagang sayur di kios kecil. Tapi yang mencengangkan dari Chen Shu-chu, si pedagang sayur itu, dia sudah menyumbang hampir Rp 3 M dalam 16 tahun terakhir ini.

Padahal, omzet penjualan sayur Chen Shu-chu tidak jauh beda dengan pedagang-pedagang lainnya. Namun ada yang membedakan Chen Shu-chu dengan pedagang lain.

”Ada dua tujuan ketika saya berjualan. Menabung, kemudian mendermakan uang itu,” kata Chen Shu-chu, pedagang sayur di pasar di Taitung, Taiwan. Itulah yang membedakan Chen Shu-chu dengan pedagang-pedagang lainnya.

Dan, karena kedermawanannya itu Chen Shu-chu masuk dalam daftar 100 Orang Berpengaruh versi Majalah Times tahun 2010, katagori pahlawan. Selain itu ia juga menjadi salah satu Hero of Philanthropy versi Forbes Asia.

Padahal dengan rendah hati, Shu-chu selalu berujar bahwa apa yang dilakukannya bukanlah sesuatu yang istimewa. ”Ini sesuatu yang sederhana dan setiap orang bisa melakukannya. Di luar sana banyak orang yang melakukan sesuatu lebih hebat dari saya,” katanya merendah.

Tapi, jika ada seseorang yang bisa menyumbang lebih besar dari penghasilannya, hanya sedikit orangnya dan Shu-chu salah satunya. Hidupnya didedikasikan untuk membantu sesama.

Rp 3 M sudah ia sumbangkan kepada sesama. Sekitar Rp 300 juta Shu-chu sumbangkan untuk yayasan anak-anak pada 2004.

Rp 1,3 M didonasikan untuk membangun perpustakaan di sekolah tempat dia bersekolah dulu. Shu-chu juga memberikan Rp 280 juta untuk yayasan anak yatim piatu Kids Alive International dan tambahan Rp 100 juta untuk mengasuh tiga anak di yayasan itu pada 2006.

Tahun ini Shu-chu menyiapkan dana sekitar Rp 2,9 M untuk membantu pendidikan dan kesehatan masyarakat miskin. Nah, jika itu yang ia lakukan, siapa yang bisa menandingi?

Lantas, apa yang memotivasi Shu-chu menyumbang secara rutin dengan jumlah yang sangat besar itu? ”Dulu saya pernah dibantu, sekarang giliran saya membantu,” katanya.

Tapi ada satu peristiwa yang menjadi awal Shu-chu menyumbang. ”Tahun 1994, ayah saya meninggal dan beliau mewariskan uang sekitar Rp 250 juta dari asuransi jiwa. Tapi tidak sepeser pun saya menggunakan uang tersebut, karena itu memang bukan uang saya,” tuturnya.

Karenanya agar uang itu benar-benar bermanfaat, Shu-chu menyumbangkan keseluruhannya ke Fo Guang Shan Monastery sebuah organisasi amal masyarakat Buddha.

Dari jumlah itu Shu-chu menambahkan Rp 34 juta dari tabungannya sebagai bakti kepada ayah yang sudah membesarkannya. ”Dengan uang itu saya berdoa agar arwah saya mendapat tempat yang layak di alam baka,” tambahnya.


Keluarga Miskin
Shu-chu sendiri terlahir di keluarga miskin. Ayah dan ibunya hanya penjual sayur di pasar. Ia memiliki enam saudara yang hidupnya sangat bergantung dari hasil jualan sayur itu.

”Kami benar-benar miskin ketika saya kecil. Saya ingat adik saya sakit, tapi kami tidak bisa membawanya ke rumah sakit karena kami sama sekali tidak punya uang,” kenangnya.

Untunglah guru-guru di sekolahnya menggalang dana untuk adik Shu-chu. Hingga akhirnya si adik berhasil sembuh. Sejak saat itu Shu-chu berjanji dalam hati, kelak ia akan membantu sesamanya jika sudah bisa mencari uang sendiri.

Ujian yang diterima Shu-chu ternyata belum berhenti. Ketika berusia 13 tahun, sang ibu meninggal dunia. Sebagai anak tertua, Shu-chu merasa terpanggil untuk membantu ayahnya berjualan.

Ia pun harus berhenti sekolah dan total mengabdikan hidupnya untuk mencari nafkah. Dari penghasilannya setiap hari, Shu-chu selalu menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabung.

Hal itu dilakukan setiap hari. Hingga pada jumlah tertentu, Shu-chu mendonasikan kepada anak-anak yatim piatu.

Memang tidak setiap tahun Shu-chu menyumbang, tapi setiap hari dia konsisten menabung. Paling tidak Rp 30 ribu ia sisihkan untuk ditabung.

Demi tabungan Rp 30 ribu setiap hari itu, Shu-chu harus bekerja selama 18 jam sehari. ”Saya bangun jam tiga pagi setiap harinya, kemudian mengambil sayuran dari pasar induk dan dibawa ke pasar kecil tempat saya berjualan,” tuturnya.

Mulai pukul 04.00 hingga 20.00, Shu-chu bekerja di pasar. Ia hanya makan sekali sehari agar bisa menyisihkan uang lebih banyak.

Hal itu dilakukan setiap hari tanpa lelah dan mengeluh selama 46 tahun. ”Memang melelahkan dan kadang membosankan. Tapi, saya berusaha melakukannya dengan ikhlas karena saya memiliki niat untuk menyumbang lebih banyak lagi dari penghasilan saya setiap harinya,” kata Shu-chu.

Rela Tidak Menikah
Demi mendapatkan uang yang banyak dan tanggung jawab terhadap adik-adiknya, banyak yang harus dikorbankan Shu-chu. Selain sekolah, Shu-chu juga rela tidak menikah.

Padahal ketika berusia 20-an tahun, Shu-chu nyaris mendapat kesempatan itu. ”Iya, saya memang tidak menikah, tapi sempat hampir. Waktu itu usia saya baru 20-an tahun, kemudian ayah saya mendekati saya dan menanyakan mana yang lebih penting, kehidupan pribadi saya atau saudara-saudara saya?” kenang Shu-chu.

Shu-chu pun berpikir ulang, kemudian memutuskan untuk tidak menikah. ”Saya menyadari apa gunanya hidup bahagia sementara saudara-saudara saya menderita. Toh itu juga tidak akan membuat saya bahagia,” katanya.

Dengan ikhlas Shu-chu pun tetap melajang hingga usia hampir enam dasawarsa ini. ”Kebahagiaan keluarga saya lebih penting. Setelah mereka bahagia baru memikirkan kebahagiaan saya sendiri,” imbuhnya.

Dengan melajang, Shu-chu juga merasa lebih fokus dalam menjalankan misinya. ”Andaikan saya berkeluarga, tentu saya tidak bisa berdonasi lebih banyak. Karena tentunya banyak kebutuhan yang harus saya penuhi,” kata Shu-chu lagi.

Lantas, adakah saran atau nasihat agar orang lain bersedia mendonasikan uangnya untuk orang lain? ”Aduh, setiap orang kan memiliki prinsip sendiri-sendiri. Saya berkomitmen beramal karena dulu saya pernah dibantu. Kemiskinan itu sangat mengerikan, karena keluarga saya sangat miskin dulu. Jadi, saya ingin mengurangi kemiskinan sesuai kemampuan saya,” sarannya.

Menurut Shu-chu, setiap orang juga bisa beramal. Tidak perlu menjadi kaya untuk bisa melakukannya.

”Beramal itu membahagiakan. Ada perasaan berbeda ketika bisa membuat orang lain tertawa. Wah, benar-benar tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Karenanya saya akan terus beramal,” tegasnya.

”Bagi saya, uang itu akan bermakna jika dimanfaatkan mereka yang membutuhkan,” tambahnya. *bbs/ ade


Chen Shu-Chu saat jamuan makan malam Time 100 tahun 2010.

Sumber: Nyata
abcs