Orang Berbeda, Harga Berbeda

Kasus ini mirip dengan posting penulis sebelumnya: Malu Bertanya, Sesak di Dada. Akhir Juli 2011 lalu, pagi-pagi penulis dan istri pergi ke jalan Cibadak (Bandung) dengan motor. Berkeliling mencari keperluan rumah tangga yang memang banyak dijual di sepanjang jalan Cibadak.

Karena belum sarapan, kami mencari sarapan dulu. Ada penjual kupat tahu, nasi kuning, mie ayam, dan lainnya. Yang terdekat saja, ada penjual bubur. Kami mampir dan kebetulan ada 2 orang sedang makan bubur ayam di emperan toko di pinggir jalan tersebut.

Sebenarnya penulis ingin bertanya, "Pak berapa seporsinya?" tapi penulis urungkan. Kami lihat saja berapa harga per porsi yang dibayar pembeli sebelum kami. Toh yang kami pesan hanya bubur ayam biasa (bukan bubur ayam spesial plus hati ampela atau telor atau yang lain).

Penjual bubur ini agak unik dari penjual bubur lainnya. Umumnya pedagang bubur menggunakan mangkok, pedagang bubur ini menggunakan piring (mungkin biar bubur panasnya cepat dingin dan mudah dinikmati). Setiap pembeli diberi kain serbet yang sudah dilipat pas seukuran bagian bawah piring, untuk alas piring bubur karena tak ada meja di sana. Lapisan anti panas ala pedagang bubur.

Bagi Anda yang tidak tahu seporsi bubur ala Bandung, berikut penjelasan penulis. Bila di kota lain, umumnya semangkok bubur hanya ditaburi kerupuk secukupnya di atas bubur. Kalau di Bandung, semangkok bubur, kemudian ada sebuah piring kecil atau mangkok juga khusus berisi kerupuk. Jadi Anda pesan 1 porsi bubur akan dapat 2 mangkok (1 mangkok bubur, 1 mangkok isi kerupuk). Bandung pengkonsumsi kerupuk terbesar di Indonesia?

Kami diperlakukan "istimewa" oleh pedagang bubur. Kalau orang lain 1 mangkok bubur plus 1 mangkok kerupuk, kami berdua hanya dapat 1 mangkok kerupuk. Uniknya lagi, kerupuknya ada 2 macam: kerupuk warna merah, putih, dan sedikit emping di atasnya. Dua pembeli lain sudah selesai makan dan bayar Rp 5.000. Jadi kami tahu, harga bubur per porsi Rp 5.000.

Tapi ketika selesai makan, penulis basa-basi bertanya, "Pak berapa?" tentu saja dalam bahasa Sunda. "Dua belas ribu" jawab penjual bubur. Jadi kami diberi harga istimewa Rp 6.000 per porsi, meski rasa bubur dan fasilitas yang kami dapat sama dengan pembeli lain. Tidak ada yang istimewa selain harganya.

Begitulah ulah si pedagang nakal. Bila melihat pembelinya bukan orang sekitar sana atau bukan langganan, mereka suka pasang "harga istimewa." Mereka berpikir "Kapan lagi dapat kesempatan menipu? Toh mereka hanya sekali ini mampir dan hampir pasti tidak akan beli ke sini lagi. Jadi tak ada efeknya meski pembeli tahu kalau mereka dicurangi."

Bisa jadi memang begitu. Tidak ada pengaruhnya karena kami tidak bakal makan bubur di sana lagi (jauh dari rumah dan sebel dicurangi). Tapi pedagang tak berpikir jauh, kalau dia melakukan sesuatu yang baik, bukan tidak mungkin kami bisa jadi mengiklankan dagangannya ke teman-teman. "Kalau mau makan bubur di jalan anu, cari penjual bubur yang begini, orangnya baik, sopan, buburnya enak dan sebagainya."

Orang Minang sangat peduli dengan prinsip seperti itu (jaga nama baik). Maka di dinding rumah makan Padang ada tulisan "Bila Anda tidak puas, katakan kepada kami. Bila Anda puas, katakan pada teman-teman Anda."

Ah... orang bilang, kalau berbuat baik, belum tentu beritanya tersebar. Tapi bila Anda berbuat hal yang buruk, sebentar saja beritanya akan menyebar. Benar seperti itu?

Ya, sih. Ini contohnya. Ulah si abang penjual bubur yang kurang bagus ini dengan cepat menyebar di internet.

Kenapa tidak coba komplain langsung pada pedagangnya? Ehm... kalau makanannya kurang asin, piring kurang bersih atau hal lain, mungkin penulis akan komplain. Tapi kalau soal harga, jelas-jelas pedagang tersebut memang ingin kami membayar lebih. Ya biarkan sajalah. Boleh-boleh saja. Penulis pun boleh-boleh saja menuliskan uneg-uneg ini. ;)
0 Responses

Posting Komentar

abcs