61. Revata Disukai
Anak yang berprestasi akan membanggakan orang tuanya. Dapat nilai bagus, jadi juara di perlombaan, karir yang bagus,... tentu membanggakan orang tua.
Di usia yang masih dini, kedua anak penulis (Dhika & Revata), pernah memberikan rasa bangga itu pada kami. Dhika pernah juara pertama lomba mewarnai. Lantas Revata? Eh... yang satu ini memang masih kecil. Saat artikel ini ditulis, Revata baru duduk di bangku play group. Belum pernah ikut lomba.
Tapi penampilannya yang disukai banyak orang telah membuat kami bangga. Wajahnya cakep, imut, dan murah senyum. “Bu, tadi ada ibu-ibu yang terus pegang pipi Ray. Terus tanya-tanya, dan Ray mau jawab pertanyaan ibu itu” begitu laporan babysitter sepulang belanja di swalayan.
Di sekolah pun demikian. Ray disukai teman sekelas dan disayang guru-guru. Ray murah senyum, supel, selalu menjawab bila ditanya. Ngomongnya juga lucu, dengan gaya alami khas anak-anak, tidak dibuat-buat.
Pelajaran: Anak yang bersikap baik akan disukai banyak orang.
***********
62. Bukan Sombong
Menghafal rute jalan, itu satu hal yang selalu membuat penulis kesulitan. Bukan hanya di Bandung, di Palembang ataupun kota kelahiran penulis, terus terang ini merupakan “tugas berat” bagi penulis.
Hanya jalan-jalan yang rutin dilalui, yang penulis hafal. Itu pun dulunya tahu karena naik angkot sewaktu bepergian, dan rute sekarang pun tetap rute angkot yang dipakai. Jarang tahu jalan pintas (jalan tikus) dan agak malas bereksperimen mencari “jalan baru.” Karena eksperimen ini bukan mengantar pada rute baru yang lebih singkat, malah sering membuat penulis “tersesat.”
Paling membingungkan adalah ketika ada teman yang menuju ke Bandung lalu minta dipandu via telpon. Masih mending kalau via SMS, penulis masih bisa minta contekan dari istri.
Jadi kalau Anda bertanya pada penulis, harus lewat jalan apa ke sini atau ke situ, harap maklum saja kalau jawaban penulis: “Maaf saya tidak tahu.” Bukan sombong, tapi memang begitulah adanya...
Pelajaran: Penulis bukanlah guide yang baik.
***********
63. Berpikir Kreatif
Pemikiran kreatif tidak hanya datang dari orang-orang "besar" tapi sering kali juga datang dari orang-orang kecil yang tak terduga.
Sudah lama penulis mengamati ide kreatif tukang angkut sampah. Namun baru kali ini penulis menuliskannya. Waktu penulis kecil, tugas mereka hanya memindahkan sampah dari rumah warga ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara). Kalau beruntung, mereka mendapatkan barang buangan orang lain, tapi masih layak pakai bagi mereka.
Tapi sekarang, mereka membagi tugas. Yang di bawah tetap "membuang sampah" ke atas truk, yang di atas bertugas memilah aneka jenis sampah yang bernilai ekonomis. Kardus, kertas, kaleng, botol, dan lain-lain. Mirip dengan pemulung, hanya saja mereka ambil dulu (semua), baru dipilah dan dipilih. Pemulung, dipilah dan dipilih dulu, baru diambil (yang bernilai ekonomis).
Jadi selain dapat penghasilan dari gaji, mereka juga dapat penghasilan sebagai "pemulung." Sambil menyelam minum sofdrink.
Pelajaran: Kreatif = tambahan penghasilan.
***********
64. Sayang Semua
Minggu (25-10-2009) penulis bertemu Ibu Vimala Puspita yang baru pulang dari Los Angeles (AS) di Vihara Karuna Mukti, Bandung. Pada kesempatan itu beliau membagikan oleh-oleh berupa pengalamannya berlibur selama 3 bulan di sana.
Cerita tentang penegakan hukum yang tak pandang bulu, kedisiplinan, cara mereka mengelola sampah, cara mereka berpakaian, suhu di sana, dan lain-lain. “Lain padang, lain belalang” memang begitulah adanya. Yang bagus kita ambil, yang tak sesuai kita buang jauh-jauh.
Yang menarik perhatian penulis adalah tentang perlakuan mereka terhadap hewan. Menurut Ibu Vimala, ada sebuah peternakan ayam yang akan ditutup. Bukan karena bangkrut, tapi karena melanggar peraturan tentang perlakuan terhadap hewan tersebut! Sekali pun sang ayam sedang menanti ajal, ia tetap harus diperlakukan secara “manusiawi.” Lebar kandang minimal harus cukup untuk sang ayam membuka kedua sayapnya. Wow...
Pelajaran: Jadi ingat ending lagu anak-anak “Satu dua tiga sayang semuanya...”
***********
65. Nasib Pahlawan
Cerita tentang nasib buruk para TKI, dalam hal ini kebanyakan TKW (Tenaga Kerja Wanita) kita di negeri orang, terutama Malaysia rasanya tak pernah berakhir.
Selalu saja ada berita baru tentang nasib pahlawan devisa ini yang memilukan. Ada yang gajinya tak dibayar, ada yang diperkosa hingga hamil dan melahirkan, dan banyak yang disiksa. Ada Nirmala Bonat, Siti Hajar, hingga yang terbaru, Munti. Munti, TKW yang meninggal (Senin, 23-10-2009) diduga karena disiksa majikannya di Malaysia.
Penulis jadi mempertanyakan apakah benar penyiksaan itu dilakukan oleh manusia, yang dikenal makhluk yang ber-akal dan bermartabat.
Ada TKW yang disiksa pakai ikat pinggang, kayu, setrika, pisau, dan lain-lain. Ada yang pulang dalam keadaan hamil karena diperkosa, ada yang pulang cacat seumur hidup, dan ada pula yang pulang tinggal nama.
Begitu kejamnya kita sebagai manusia, padahal sekarang sudah bukan lagi jaman perbudakan.
Pelajaran: Mari kita introspeksi: “Apakah benar saya seorang manusia?”
Subhanallah....
sampai kapan para pekerja kita selalu mendapatkan perlakuan seperti ini...
apakah ini sebanding dengan hasil yang mereka terima?
apakah pantas mereka menerima perlakuan seperti ini?
sungguh sangat disayangkan...
mereka yang bermimpi bekerja diluar sana dan memperoleh hasil yang mereka impikan,
tapi justru mereka mendapatkan kenyataan yang sangat pahit...
apakah pemerintah kita masih belum bisa memberikan layanan yang istimewa bagi pemberi devisa negara?
apakah pemerintah masih saja enggan membantu serta menjaga hak dan kewajiban para TKI negeri ini?
semoga saja dengan pembentukan kabinet terbaru ini, segala masalah yang dialami oleh para pemasok devisa ini bisa segera mendapat perlakuan serta layanan yang pantas.
semoga saja hal2 seperti ini bisa dikurangi, bahkan kita sangat mengharapkan hal seperti ini segera dapat teratasi...
Iklan