- Apa yang salah dari permintaan Jokowi kepada KPK dan PPATK untuk menelusuri rekam jejak para calon menterinya? Ini pemilihan seorang menteri (jabatan penting di negeri ini). Saat kita akan memutuskan memilih pembantu mana yang akan mengurus rumah atau mengasuh anak kita saja, tidak ada larangan jika kita ingin menelusuri rekam jejaknya. Tanya ke orang yang kenal dengan calon pembantu tersebut atau tanya majikannya terdahulu. Bukankah kita tahu ada pepatah yang mengatakan: Mencegah lebih baik daripada mengobati? Jika ada indikasi calon menteri akan jadi tersangka KPK, untuk apa dipilih? Nanti baru menjabat sebentar lalu jadi tersangka, terpaksa pilih menteri baru lagi. Apa yang salah? Bukankah jika baru dilantik beberapa bulan, lalu menteri jadi tersangka KPK, ini sebuah peluang besar bagi KMP untuk mengkritik bahwa Jokowi tidak becus memilih menteri? Di saat banyak orang menilai ini sebuah langkah positif (bahkan sejarah baru dalam pemilihan calon menteri agar kabinetnya baik), justru ini dikritik. Jika Tidak ada masalah jika ingin mengkritisi, tapi kedepankan logika. Prinsipnya "Kalau bersih, mengapa harus risih?" Anda punya sanggahan yang logis tentang pendapat Fadli Zon, silakan tuliskan di komentar.
- Fadli mengatakan pemilihan menteri seharusnya didasari kompetensi yang diukur dengan melihat rekam jejak dan pengalaman seorang kandidat. Apakah minta pendapat KPK dan PPATK bukan sedang meneliti rekam jejak apakah calon menteri tersebut ada indikasi melakukan tindakan korupsi di masa lalu? Apa sih maksud rekam jejak?
- Menurut Fadli, pemilihan kandidat menteri yang duduk di kabinet adalah hak prerogratif presiden. Hak ini tak mengharuskan presiden melibatkan lembaga dan kelompok tertentu dalam mengambil keputusan. Hak prerogratif itu hak istimewa bagi seorang presiden. Hak ini bukan tidak boleh dikritisi. Jika dengan hak ini, Presiden Jokowi memilih sanak saudaranya yang tak punya kapabilitas untuk duduk sebagai menteri (KKN), silakan kritik.
Pilih Menteri, Gerindra Kritik Jokowi Libatkan KPK
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Fadli Zon mengkritik keputusan Presiden Joko Widodo melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam proses seleksi menteri. "Nama yang ada tak perlu dikirim-kirim ke KPK karena akan mempengaruhi urusan ketatanegaraan," ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin, 20 Oktober 2014.
Menurut Fadli, pemilihan kandidat menteri yang duduk di kabinet adalah hak prerogratif presiden. Hak ini tak mengharuskan presiden melibatkan lembaga dan kelompok tertentu dalam mengambil keputusan.
Fadli mengatakan pemilihan menteri seharusnya didasari kompetensi yang diukur dengan melihat rekam jejak dan pengalaman seorang kandidat. "Cari menteri itu berdasarkan kompetensi, tak perlu libatkan KPK."
Selain itu, menurut Fadli, pelibatan KPK bisa menimbulkan kontroversi terhadap kandidat yang tengah diseleksi. Pelibatan KPK baru bisa dilakukan bila ada calon menteri yang terlibat masalah. Penelusuran KPK, dia melanjutkan, tak perlu dilakukan terhadap semua calon menteri.
Saat ini Jokowi memang tengah mempertimbangkan 43 nama untuk duduk di 33 pos kementerian yang telah disiapkan presiden ketujuh Indonesia itu. Untuk memastikan rekam jejak ke-43 kandidat, Jokowi meminta pertimbangan KPK dan Pusat Penelusuran dan Analisis Transaksi Keuangan. Rencananya, Jokowi akan mengumumkan 33 menteri terpilih pada Selasa, 21 Oktober 2014. (IRA GUSLINA SUFA)
Sumber: Tempo
Mari kita renungkan dan kita cari logika berpikir dari berita yang ditulis Tempo tadi.
0 Responses
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar