Omnibus Law dan Rendahnya Mutu Intelegensia Masyarakat (2)

Prof. Pitoyo Hartono tinggal di Nagoya-shi, Aichi, Jepang

Sumber foto: Liputan 6

Tulisan saya Jumat kemarin, mendapat banyak tanggapan. Ada yang setuju dan banyak juga yang tidak. Ada yang menganggap alur pikir saya rasional, ada yang menganggap saya memamerkan kesombongan. Ya nggak apa, perbedaan pendapat itu biasa, selama tidak ditindaklanjuti dengan lemparan batu dan membakar milik umum atau milik orang lain. 


Banyak juga yang salah baca. Saya tidak pernah membahas tentang Omnibus Law, karena seperti yang saya katakan di awal tulisan, saya tidak mengerti tentang hal ini. Saya tidak pernah mengatakan saya setuju atau tidak setuju tentang Omnibus Law ini. Saya tidak bisa membahas tentang sesuatu yang saya tidak mengerti. Dan guru besar atau bukan, saya tidak mungkin bisa mengerti tentang segala masalah. Di dunia ini lebih banyak yang saya tidak mengerti daripada yang saya mengerti. Dianggap bodoh? Ya bodoh amat, toh orang-orang itu tidak menggaji saya, dan saya tidak hidup dari APBN. 


Yang saya bahas di tulisan saya sebelumnya, adalah kegagalan kita sebagai bangsa untuk naik kelas. Kegagalan sistem pendidikan kita, yang belum bisa merasionalkan banyak orang melalui pendidikan wajib. Ini juga kritik untuk diri saya sendiri sebagai pendidik yang belum bisa berkontribusi pada kewarasan bangsa saya sendiri. Ini juga kritik pada pemerintah sekarang, yang setelah satu periode, tidak menampakkan keberhasilan revolusi mental. Ini PR besar bangsa. 


Tentang rendahnya kualitas perkerja. Saya baru membaca, ada buruh pabrik es krim yang berdemo untuk menuntut gaji 11 juta perbulan. Fair enough, semua orang boleh memberi harga pada jerih payahnya. Tapi sebagai latihan logika, saya akan sedikit menunjukkan apa alternatif pengusaha pabrik es krim ini selain memenuhi tuntutan pekerjanya, memindahkan pabriknya ke tempat lain, lalu mengalami hal yang sama beberapa tahun berikut, atau menutup usahanya. 

 

Saya bisa mengajukan penawaran pada pemilik pabrik ini. Saya akan bekerja di pabrik ini, saya meminta gaji 200 juta per bulan. Mereka bisa membayar gaji saya, dengan memecat 20 orang buruh. Saya akan menggunakan pengetahuan saya tentang AI untuk mengoptimalkan operasi pabrik itu, yang saya yakin akan membawa keuntungan lebih banyak daripada tenaga 20 orang pekerja pabrik. 

 

Setelah itu saya akan membangun robotics system dengan AI itu selama 2 tahun. Selama 2 tahun ini saya akan melatih 5-10 orang untuk mengoperasikan sistem ini dengan profesional dan pantas untuk digaji 30 juta per bulan. Setelah jadi, sistem ini akan bisa mengganti 200 orang pekerja. Masalah demo dan buruh yang merusak pabriknya sendiri akan selesai. Saya akan bekerja 1 tahun lagi di pabrik itu untuk mengoptimalkan sistem ini. Setelah itu saya akan pindah ke pabrik lain, dan meminta gaji 300 juta sebulan, karena saya sudah punya pengalaman dan tahu tentang seluk beluk produksi es krim. 


Ini yang akan terjadi, kalau mutu tenaga kerja di Indonesia masih seperti sekarang. Kita akan punya tenaga kerja yang melimpah jumlahnya, tapi tidak lagi relevan. Teknologi membutuhkan skill yang harus dibina dalam waktu yang tidak singkat. Di era 4-5 tahun ke depan, ceritanya akan lain dari 10 tahun yang lalu. 

 

Waktu itu orang yang di-PHK di suatu pabrik dapat menjadi kasir di toko. Dalam waktu dekat pekerjaan-pekerjaan seperti ini akan hilang dan tergantikan oleh AI dan robot. Akan muncul banyak pekerjaan baru, tapi membutuhkan skill yang tinggi. Tidak semua orang bisa "masuk" dalam pekerjaan-pekerjaan baru tersebut. Kalau ini dibiarkan, kita cuma jadi bangsa penonton. Tenaga kerja murah melimpah tidak akan lagi menjadi daya tarik untuk investor asing. Bangsa lain tidak perlu untuk mengeksploitasi kita sekalipun, karena relevan pun kita tidak. 


Sekarang cerita di atas mungkin masih dianggap sebagai "cerita di awang-awang". Tapi betulkah begitu? Adakah yang berani menjamin bahwa saya tidak bisa melakukan seperti yang saya tulis di atas? 1 tahun belakangan saya bekerja sama dengan satu perusahaan contact lens di Jepang untuk membuat sistem inspeksi otomatis yang akan menggantikan sebagian besar tenaga manusia di pabrik. Mereka melakukan ini karena mereka kekurangan manusia. Tapi mereka juga tidak mau bersusah-susah memindahkan pabriknya ke negara yang kelebihan manusia seperti Indonesia, mereka menggantikannya dengan AI. Ini jauh lebih murah dan bebas demo. 


Kalau saya bisa membuat sistem produksi benda yang bisa dimasukkan ke mata, tidak terlalu sulit untuk membuat sistem produksi es krim yang dimasukkan ke mulut. 


Dan tentunya bukan saya saja yang bisa. Akan muncul penawaran-penawaran seperti ini dari "saya saya" yang lain.

 

Akhir tulisan saya sama seperti sebelumnya. Revolusi mental dan pendidikan sudah mendesak!

 

 

Dikutip dari FB Pitoyo Hartono (Senin, 12 Oktober 2020 pukul 10.00), diedit seperlunya agar lebih enak dibaca dan kami tambahkan foto. 

0 Responses

Posting Komentar

abcs