Kacang Lupa Pada Kulitnya

Anda tentu sering mendengar istilah "Kacang lupa pada kulitnya." Ungkapan untuk seseorang yang tak tahu balas budi. Sudah ditolong, lupa kepada yang menolong. Bahkan terkadang seperti "Menolong anjing yang terjepit, setelah anjing terlepas dari jepitan, malah menggigit yang menolongnya." 

Penulis pernah mengalami hal yang sama dengan istilah kacang lupa pada kulitnya. Seorang rekan penulis yang sangat doyan sambal, sebut saja Micin. Ketika si Micin sedang terpuruk, dengan mengiba  Micin datang dan minta bantuan. "Rekening listrik di rumah belum dibayar. Jika tidak dibayar, maka aliran listrik dipadamkan" kata Micin.

Sebagai teman, penulis berikan pinjaman. Singkat cerita, masalahnya terselesaikan. Di lain waktu, penulis minta bantuan pada Micin. Penulis harus menjaga istri yang melahirkan di rumah sakit, penulis minta bantuannya menjaga rumah penulis (tahun 2006). Micin sekeluarga kami minta tinggal di rumah kami. Soal makan dan keperluan lain Micin, istri dan 3 anaknya kami tanggung. Fasilitas rumah kami jelas lebih baik daripada fasilitas di rumah Micin. Sehari kami bayar Rp 50.000. Micin dan keluarga bersedia. 

Di saat lain, penulis perlu bantuan yang sama. Kali ini penulis sekeluarga harus menjaga anak kami yang dirawat inap di Jakarta (masih di tahun yang sama, 2006). Tapi karena dana kami minim, kami hanya bisa kasih Rp 25.000 sehari (fasilitas makan dan yang lain sama). Apa jawabannya? Micin menolak. 

Ternyata, saat pertama menerima tawaran penulis (dibayar Rp 50.000 Micin bersedia karena setuju dengan bayarannya, tapi pada permintaan kedua, Micin menolak ketika tahu bayaran Rp 25.000)! 

Yang menyakitkan penulis, kami sebut minta bantuan (tapi sebenarnya kami bayar, bukan bantuan GRATIS). Lagi pula, kami minta Micin sekeluarga jaga rumah bukan dalam rangka berlibur. Ini terjadi saat anak kami sakit. Penulis benar-benar tidak menyangka sikap Micin yang selama ini penulis kenal baik dan santun.

Padahal, sebelum penulis menikah (penulis pernah main ke rumahnya yang dindingnya masih berupa batu bata tanpa diplester) dan menginap di sana. Besoknya hari ulang tahun anaknya dan penulis tampil bermain sulap, GRATIS.

Yah... inilah dunia, beginilah kehidupan. Memang sangat sukar mencari seorang sahabat sejati di dunia ini. Sebuah pelajaran berharga dalam menjalin persahabatan. Sekolah kehidupan memang tidak pernah selesai.

0 Responses

Posting Komentar

abcs