Inilah nama (logo) stasiun TV tersebut disusun berdasarkan urutan angka dari tv 1 sampai tv 10.
Setelah menulis posting: Ganti Pemilik, Ganti Logo, penulis tertarik membuat posting ini. Masih tentang stasiun logo TV. Penulis berpikir, ada tidak ya: nama stasiun TV menggunakan angka dari 1 sampai 10? Ternyata ada! Bahkan ada angka tertentu yang dipakai sebagai nama dari beberapa stasiunTV (beda negara). Misalnya TV 5, ada di Philipina, ada juga di Perancis. Ini nama stasiun TV (logo-nya) yang menggunakan angka 1 sampai 10. Kalau ada angka yang sama dipakai lebih dari 1 stasiun TV, penulis ambil salah satunya saja.
Inilah nama (logo) stasiun TV tersebut disusun berdasarkan urutan angka dari tv 1 sampai tv 10.
Beberapa hari lalu, ada yang beda ketika memencet remote mencari acara TV yang enak ditonton. Pas di channel yang biasanya TPI, sekarang sudah ganti MNCTV. Oh... ternyata sudah ganti pemilik dan launching nama dan logo baru pada tanggal cantik 20 Oktober 2010 alias 2010 2010. Menurut berita di internet, TPI yang semula dimiliki Mbak Tutut, sekarang sudah jadi milik MNC group (sama dengan RCTI dan Globaltv). Tapi persoalan kepemilikan ini belum sepenuhnya tuntas, masih dalam proses hukum, demikian pemberitaan media online.
Posting penulis kali ini bukan untuk membahas siapa pemilik sah stasiun TV tersebut. Posting ini dibuat karena mengingatkan penulis pada penggantian nama (termasuk logo juga) beberapa stasiun TV lain sebelumnya. Untuk TV nasional, sekarang sudah 3 yang berganti pemilik. TV 7 yang semula milik Kelompok Kompas Gramedia (KKG) beralih jadi milik Trans Corpora. Kemudian Lativi milik Abdul Latief (mantan menteri tenaga kerja era Orde Baru) berganti jadi tvOne (milik Bakrie & Brothers, sama dengan antv dan portal berita vivanews.com). Dan terakhir TPI menjadi MNCTV. Sekedar info dan bernostalgia inilah logo-logo TV tersebut.
TV7 ------------------------------> TRANS7
Lativi --------------------> tvOne
TPI -------------------> MNCTV
Ya, "Lebih baik mengobati daripada mencegah" mungkin begitulah kenyataan yang selama ini penulis lihat di lapangan. Itulah yang terjadi dalam penanganan masalah PKL (Pedagang Kaki Lima).
Tulisan ini bukan untuk memihak salah satu kelompok (yang menertibkan atau yang ditertibkan). Berkali-kali penulis menyaksikan langsung maupun melalui TV atau berita di koran, penggusuran, relokasi, atau penertiban (yang intinya memindahkan PKL dari tempat yang terlarang dan mengganggu kelancaran lalu lintas), selalu mendapatkan perlawanan. Tiap penertiban selalu ricuh, dari sekedar perang mulut sampai perang kayu/ batu yang mengakibatkan korban luka-luka.
Bagaimana setelah ditertibkan? Dalam jangka relatif singkat, terlihat rapi dan tertib. Tapi ya itu tadi, tidak dilakukan tindakan pencegahan lagi setelah ditertibkan. Secara perlahan, di tempat yang sama, muncul lagi PKL. Karena ada 1 PKL dan tidak ditertibkan, perlahan dan pasti teman-temannya akan datang dan bergabung.
Bagaimana kalau sudah lama dan banyak PKL sehingga mengganggu lalu lintas? Penertiban lagi. Ricuh lagi, dan berdarah-darah lagi. Begitulah terus siklus ini terjadi. Sampai kapan keadaan seperti ini akan terus terjadi???
Hal ini bukan hanya terjadi pada PKL, tapi juga pemukiman liar (tempat tinggal yang dibangun di tanah milik orang lain tanpa izin). Biasanya terjadi pada tanah milik negara. Karena "terlantar" maka akan ada 1 orang yang "membangun rumah" ala kadarnya dari kardus, kayu, tripleks bekas. Setelah melihat ada bangunan di sana dan tidak ada teguran/ tindakan dari pemilik tanah, maka orang lain akan ikut. Perlahan dan pasti akan banyak rumah di sana. Masih tak ada tindakan dari pemilik tanah, bangunan semipermanen akan jadi bangunan permanen. Anehnya bangunan tak resmi seperti ini bisa punya meteran listrik dari PLN, atau telpon dari Telkom. Kalau rumah (bangunan) sudah banyak? Mulai lagi siklus penertiban dan yang pasti akan ricuh.
Coba Anda perhatikan lingkungan di sekitar Anda. Depan toko, di depan tembok pabrik, di lorong/ gang, di atas saluran air/ got, di halte bis kota, di sela-sela 2 rumah di dalam kompleks perumahan (biasanya di antara 2 rumah ada got/ saluran air atau sungai kecil), di sana akan berdiri rumah. Semula semipermanen sampai nantinya jadi rumah, kios, atau toko permanen. Kalau sudah dinilai mengganggu (mengganggu saluran air, menyebabkan jalan jadi sempit dan macet, dan lain-lain), barulah dilakukan penertiban. Sekali lagi, siklus penertiban akan terulang. Kalau daerah itu sudah bersih setelah penertiban?
Ya itu tadi, siklus akan terulang. Tidak ada upaya pencegahan. Maka di sana akan mulai ada bangunan lagi, dibiarkan, jadi banyak, setelah banyak, baru ditertibkan. Di sinilah yang menurut penulis diterapkan pembalikan pepatah yang menjadi "Lebih baik mengobati daripada mencegah."
Tulisan ini bukan untuk memihak salah satu kelompok (yang menertibkan atau yang ditertibkan). Berkali-kali penulis menyaksikan langsung maupun melalui TV atau berita di koran, penggusuran, relokasi, atau penertiban (yang intinya memindahkan PKL dari tempat yang terlarang dan mengganggu kelancaran lalu lintas), selalu mendapatkan perlawanan. Tiap penertiban selalu ricuh, dari sekedar perang mulut sampai perang kayu/ batu yang mengakibatkan korban luka-luka.
Bagaimana setelah ditertibkan? Dalam jangka relatif singkat, terlihat rapi dan tertib. Tapi ya itu tadi, tidak dilakukan tindakan pencegahan lagi setelah ditertibkan. Secara perlahan, di tempat yang sama, muncul lagi PKL. Karena ada 1 PKL dan tidak ditertibkan, perlahan dan pasti teman-temannya akan datang dan bergabung.
Bagaimana kalau sudah lama dan banyak PKL sehingga mengganggu lalu lintas? Penertiban lagi. Ricuh lagi, dan berdarah-darah lagi. Begitulah terus siklus ini terjadi. Sampai kapan keadaan seperti ini akan terus terjadi???
Hal ini bukan hanya terjadi pada PKL, tapi juga pemukiman liar (tempat tinggal yang dibangun di tanah milik orang lain tanpa izin). Biasanya terjadi pada tanah milik negara. Karena "terlantar" maka akan ada 1 orang yang "membangun rumah" ala kadarnya dari kardus, kayu, tripleks bekas. Setelah melihat ada bangunan di sana dan tidak ada teguran/ tindakan dari pemilik tanah, maka orang lain akan ikut. Perlahan dan pasti akan banyak rumah di sana. Masih tak ada tindakan dari pemilik tanah, bangunan semipermanen akan jadi bangunan permanen. Anehnya bangunan tak resmi seperti ini bisa punya meteran listrik dari PLN, atau telpon dari Telkom. Kalau rumah (bangunan) sudah banyak? Mulai lagi siklus penertiban dan yang pasti akan ricuh.
Coba Anda perhatikan lingkungan di sekitar Anda. Depan toko, di depan tembok pabrik, di lorong/ gang, di atas saluran air/ got, di halte bis kota, di sela-sela 2 rumah di dalam kompleks perumahan (biasanya di antara 2 rumah ada got/ saluran air atau sungai kecil), di sana akan berdiri rumah. Semula semipermanen sampai nantinya jadi rumah, kios, atau toko permanen. Kalau sudah dinilai mengganggu (mengganggu saluran air, menyebabkan jalan jadi sempit dan macet, dan lain-lain), barulah dilakukan penertiban. Sekali lagi, siklus penertiban akan terulang. Kalau daerah itu sudah bersih setelah penertiban?
Ya itu tadi, siklus akan terulang. Tidak ada upaya pencegahan. Maka di sana akan mulai ada bangunan lagi, dibiarkan, jadi banyak, setelah banyak, baru ditertibkan. Di sinilah yang menurut penulis diterapkan pembalikan pepatah yang menjadi "Lebih baik mengobati daripada mencegah."
Belasan tahun lalu (ketika kuliah), penulis pernah mengirim Surat Pembaca ke harian lokal dan dimuat. Isinya? Penulis mengomentari cerita anak karya seorang penulis. Mengapa penulis mengirim Surat Pembaca ini?
Beberapa cerita anak karya penulis tersebut (sebut saja AD), inti ceritanya sama persis dengan cerita anak yang pernah penulis baca saat masih SD! Cerita ini tentang kemampuan seorang anak menuntaskan kasus (detektif cilik). Di buku yang penulis baca, nama tokohnya Detektif Bintang.
Kok inti ceritanya sama? Akhirnya ditanggapi oleh AD. Di awal tulisannya ia mengucapkan terima kasih karena tulisannya untuk anak ternyata dibaca oleh mahasiswa. Kemudian AD menjelaskan itu bukan plagiat, tapi mengembangkan ide.
Penulis tidak melanjutkan "perdebatan" ini di harian tersebut. Pertama sudah tidak "sreg" dengan tanggapan. Kedua, disibukkan dengan kegiatan perkuliahan.
Tapi diskusi tentang hal ini dilanjutkan dengan teman penulis (Agus Mulyawan). Agus, teman kuliah penulis ini, anak seorang kepala sekolah. Kebetulan ia juga pernah membaca cerita Detektif Bintang ini.
Versi kami, cerita itu jiplakan/ plagiat (AD tak mengatakan kalau ia adalah penulis cerita Detektif Bintang yang asli). Jadi kesimpulannya, AD bukanlah penulis Detektif Bintang yang sebenarnya, yang duku pernah kami baca. Hanya cerita detektif karya AD ini "kebetulan" banyak yang mirip.
Terkadang orang sering berdalih, kemiripan itu hanya kebetulan saja. Tapi dalam kasus ini, beberapa cerita karya AD yang sudah dimuat, inti cerita (kasusnya) sama dengan cerita Detektif Bintang. Jadi bukan hanya 1 cerita saja. Tidak pas kalau dibilang hanya kebetulan (kebetulan kok berkali-kali sama)?
Ini pendapat pribadi penulis. Inti dari sebuah cerita, singkat saja. Contohnya sebuah kasus, hilangnya sepotong ikan goreng di rumah teman sang detektif. Bagaimana detektif memecahkan kasus ini? Ia meminta semua anak di rumah itu menyodorkan kedua tangannya ke kucing. Kucing menciumi satu persatu telapak tangan anak itu. Pas tangan "pencuri" kucing itu berhenti dan menjilat-jilat. Jadi meski sudah cuci tangan, kucing masih bisa mengendus aroma ikan goreng tersebut.
Itu saja inti ceritanya. Kalau hanya mengganti nama tokoh (misal: nama Bintang jadi Dewa), mengubah lokasi cerita (rumah Andi jadi rumah Toni), atau hal lain, bagi penulis, itu tak terlalu berpengaruh pada isi cerita.
Jadi kesimpulan penulis, karya AD itu jiplakan atau plagiat. Kalau bukan plagiat? Wah... kita mudah sekali menulis cerita/ cerpen. Tinggal ganti asesories ceritanya. Nama tokoh, lokasi, dan lain-lain yang tidak mengganggu inti cerita. Mirip dengan lagu. Kalau hanya mengganti syair, pantaskan kita disebut pencipta lagu? Nada/ melodi sama, hanya beda syair (baik itu menerjemahkan arti lagu aslinya atau syairnya benar-benar berbeda), tetap saja kita bukan pencipta lagu. Hanya kita tulis, lagu oleh si Anu, syair/ lirik oleh kita (itu pun kalau untuk komersial, harus izin dulu ke pencipta lagunya).
Sekali lagi, ini hanya pendapat pribadi. Maklum saja, pengetahuan penulis tentang dunia tulis menulis masih minim.
Beberapa cerita anak karya penulis tersebut (sebut saja AD), inti ceritanya sama persis dengan cerita anak yang pernah penulis baca saat masih SD! Cerita ini tentang kemampuan seorang anak menuntaskan kasus (detektif cilik). Di buku yang penulis baca, nama tokohnya Detektif Bintang.
Kok inti ceritanya sama? Akhirnya ditanggapi oleh AD. Di awal tulisannya ia mengucapkan terima kasih karena tulisannya untuk anak ternyata dibaca oleh mahasiswa. Kemudian AD menjelaskan itu bukan plagiat, tapi mengembangkan ide.
Penulis tidak melanjutkan "perdebatan" ini di harian tersebut. Pertama sudah tidak "sreg" dengan tanggapan. Kedua, disibukkan dengan kegiatan perkuliahan.
Tapi diskusi tentang hal ini dilanjutkan dengan teman penulis (Agus Mulyawan). Agus, teman kuliah penulis ini, anak seorang kepala sekolah. Kebetulan ia juga pernah membaca cerita Detektif Bintang ini.
Versi kami, cerita itu jiplakan/ plagiat (AD tak mengatakan kalau ia adalah penulis cerita Detektif Bintang yang asli). Jadi kesimpulannya, AD bukanlah penulis Detektif Bintang yang sebenarnya, yang duku pernah kami baca. Hanya cerita detektif karya AD ini "kebetulan" banyak yang mirip.
Terkadang orang sering berdalih, kemiripan itu hanya kebetulan saja. Tapi dalam kasus ini, beberapa cerita karya AD yang sudah dimuat, inti cerita (kasusnya) sama dengan cerita Detektif Bintang. Jadi bukan hanya 1 cerita saja. Tidak pas kalau dibilang hanya kebetulan (kebetulan kok berkali-kali sama)?
Ini pendapat pribadi penulis. Inti dari sebuah cerita, singkat saja. Contohnya sebuah kasus, hilangnya sepotong ikan goreng di rumah teman sang detektif. Bagaimana detektif memecahkan kasus ini? Ia meminta semua anak di rumah itu menyodorkan kedua tangannya ke kucing. Kucing menciumi satu persatu telapak tangan anak itu. Pas tangan "pencuri" kucing itu berhenti dan menjilat-jilat. Jadi meski sudah cuci tangan, kucing masih bisa mengendus aroma ikan goreng tersebut.
Itu saja inti ceritanya. Kalau hanya mengganti nama tokoh (misal: nama Bintang jadi Dewa), mengubah lokasi cerita (rumah Andi jadi rumah Toni), atau hal lain, bagi penulis, itu tak terlalu berpengaruh pada isi cerita.
Jadi kesimpulan penulis, karya AD itu jiplakan atau plagiat. Kalau bukan plagiat? Wah... kita mudah sekali menulis cerita/ cerpen. Tinggal ganti asesories ceritanya. Nama tokoh, lokasi, dan lain-lain yang tidak mengganggu inti cerita. Mirip dengan lagu. Kalau hanya mengganti syair, pantaskan kita disebut pencipta lagu? Nada/ melodi sama, hanya beda syair (baik itu menerjemahkan arti lagu aslinya atau syairnya benar-benar berbeda), tetap saja kita bukan pencipta lagu. Hanya kita tulis, lagu oleh si Anu, syair/ lirik oleh kita (itu pun kalau untuk komersial, harus izin dulu ke pencipta lagunya).
Sekali lagi, ini hanya pendapat pribadi. Maklum saja, pengetahuan penulis tentang dunia tulis menulis masih minim.
Catatan:
Tulisan dengan Labels: "Artikel Bahasa" ini ditulis dalam rangka Bulan Bahasa (Oktober 2010).
Minggu (10-10'10) jadi tanggal cantik yang banyak digunakan oleh pasangan untuk dijadikan hari pernikahan. Termasuk pasangan artis: Indra Bekti & Adilla Jelita.
Di tanggal tersebut, kami (penulis beserta istri dan kedua anak kami) mendapat undangan untuk menghadiri salah satu pernikahan bernuansa serba 10 tersebut. Kalau mau lebih komplet lagi angka 10-nya, bisa ditambah jam pemberkatan pada pukul 10:10:10' dan lain-lain.
Pernikahan itu, antara Franky Winarta & Sisca Haryanto di Museum Indonesia, Taman Mini Indonesia Indah (Jakarta). Serba kebetulan pula, di "pesta kebun" kerabat dari istri penulis tersebut, sang pengantin pria juga berulang tahun (tapi yang pasti bukan ulang tahun ke-10).
Kami juga salah satu pasangan yang menikah dengan tanggal unik. Kami melaksanakan pemberkatan pernikahan hari Kamis, 20 Maret 2003 atau sering kami tulis 2003 2003, atau cukup 2003. Ingat tanggal dan bulan, otomatis akan ingat tahun pernikahan. Bukan cuma unik, pernikahan kami juga tercatat di Muri (Museum Rekor dunia Indonesia). Silakan klik ini untuk melihatnya: Rekor Undangan Pernikahan 6 Bahasa atau Undangan Pernikahan Enam Bahasa, Masuk Muri.
Buat yang akan menikah, masih ada 5 tanggal cantik lainnya. Kalau Anda ingin yang triple seperti tanggal 10-10'10, masih tersisa 2 lagi: 11-11'11 (11 November 2011) dan 12-12'12 (12 Desember 2012). Kalau ingin yang double seperti kami, tersisa 3 yakni: 2010 2010 (20 Oktober 2010) 2011 2011 (20 November 2011) dan 2012 2012 (20 Desember 2012). Bila jatuhnya bukan hari Minggu, jadikan tanggal tersebut sebagai tanggal pemberkatan saja, resepsi/ pestanya bisa tanggal lain di hari Minggu. Resepsi pernikahan kami: Minggu, 01 Juni 2003.
Setelah lewat tahun 2012, tidak ada lagi yang seperti itu. Karena bulan hanya sampai 12 (Desember), tidak ada bulan 13. Jadi hanya bisa double tanggal dan bulan saja (misal: 01 Januari --> 0101 atau 02 Februari --> 0202 sampai 12 Desember --> 1212) terserah mau tahun berapa saja.
Ayo siapa yang mau menikah di tanggal cantik? Silakan pilih yang masih tersedia...
Di tanggal tersebut, kami (penulis beserta istri dan kedua anak kami) mendapat undangan untuk menghadiri salah satu pernikahan bernuansa serba 10 tersebut. Kalau mau lebih komplet lagi angka 10-nya, bisa ditambah jam pemberkatan pada pukul 10:10:10' dan lain-lain.
Pernikahan itu, antara Franky Winarta & Sisca Haryanto di Museum Indonesia, Taman Mini Indonesia Indah (Jakarta). Serba kebetulan pula, di "pesta kebun" kerabat dari istri penulis tersebut, sang pengantin pria juga berulang tahun (tapi yang pasti bukan ulang tahun ke-10).
Kami juga salah satu pasangan yang menikah dengan tanggal unik. Kami melaksanakan pemberkatan pernikahan hari Kamis, 20 Maret 2003 atau sering kami tulis 2003 2003, atau cukup 2003. Ingat tanggal dan bulan, otomatis akan ingat tahun pernikahan. Bukan cuma unik, pernikahan kami juga tercatat di Muri (Museum Rekor dunia Indonesia). Silakan klik ini untuk melihatnya: Rekor Undangan Pernikahan 6 Bahasa atau Undangan Pernikahan Enam Bahasa, Masuk Muri.
Buat yang akan menikah, masih ada 5 tanggal cantik lainnya. Kalau Anda ingin yang triple seperti tanggal 10-10'10, masih tersisa 2 lagi: 11-11'11 (11 November 2011) dan 12-12'12 (12 Desember 2012). Kalau ingin yang double seperti kami, tersisa 3 yakni: 2010 2010 (20 Oktober 2010) 2011 2011 (20 November 2011) dan 2012 2012 (20 Desember 2012). Bila jatuhnya bukan hari Minggu, jadikan tanggal tersebut sebagai tanggal pemberkatan saja, resepsi/ pestanya bisa tanggal lain di hari Minggu. Resepsi pernikahan kami: Minggu, 01 Juni 2003.
Setelah lewat tahun 2012, tidak ada lagi yang seperti itu. Karena bulan hanya sampai 12 (Desember), tidak ada bulan 13. Jadi hanya bisa double tanggal dan bulan saja (misal: 01 Januari --> 0101 atau 02 Februari --> 0202 sampai 12 Desember --> 1212) terserah mau tahun berapa saja.
Ayo siapa yang mau menikah di tanggal cantik? Silakan pilih yang masih tersedia...
Buat Franky & Sisca, Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia dan rukun selamanya
NB:
Kebahagiaan mereka semakin lengkap dengan hadirnya sepasang buah hati mereka: Fordlico Winarta (biasa dipanggil Ford) dan Ferrari Winarta (biasa disapa Fei).
Keunikan pasangan serba 10 (Franky & Sisca) semakin lengkap dengan terungkapnya fakta bahwa: Franky adalah anak ke-10 dan Ford adalah cucu ke-10.
Tampaknya pasangan ini penyuka mobil-mobil keren (Ford & Ferrari adalah merek mobil berkelas). Hehehe...
NB:
Kebahagiaan mereka semakin lengkap dengan hadirnya sepasang buah hati mereka: Fordlico Winarta (biasa dipanggil Ford) dan Ferrari Winarta (biasa disapa Fei).
Keunikan pasangan serba 10 (Franky & Sisca) semakin lengkap dengan terungkapnya fakta bahwa: Franky adalah anak ke-10 dan Ford adalah cucu ke-10.
Tampaknya pasangan ini penyuka mobil-mobil keren (Ford & Ferrari adalah merek mobil berkelas). Hehehe...
Senin, Oktober 11, 2010
Diposting oleh
Hendry Filcozwei Jan
Penulis termasuk orang yang suka mengganti template blog (meski tidak terlalu sering). Kalau sudah cukup lama memakai sebuah template dan merasa bosan (mungkin juga pengunjung blog bosan), penulis putuskan mengganti template. Penulis biasa mengambil template dari btemplates.
Beberapa waktu lalu penulis menemukan template 2 kolom yang menarik, yakni Grunge London. Penulis putuskan mengganti template blog penulis dengan template ini. Setelah terlanjur ganti dan menata ulang gadget, penulis baru menyadari ada sedikit permasalahan dengan template ini.
Kalau kita menuliskan sesuatu (misalnya ada 15 item) secara berurutan ke bawah. Pada saat posting, penomoran otomatis ini tidak ada masalah. Nomor yang tampil 1 sampai 15. Tapi setelah di-publish, baru kelihatan. Nomor yang muncul 1 sampai 9, pada urutan nomor 10 angka yang muncul hanya 0 (nol), angka 11 hanya muncul angka 1, 12 hanya muncul angka 2, dan seterusnya. Jadi nomor 2 digit atau lebih, hanya muncul digit akhirnya saja.
Penulis coba googling, tidak menemukan jawaban. Coba masuk ke berbagai blog tutorial, tidak juga dapat solusi. Lalu penulis coba tanya via Yahoo! Answers (Mengapa Nomor Hanya 1 Digit?). Dari sinilah akhirnya penulis mendapat solusi dari Kakangsung.
Sebelumnya pernah terpikir, kalau tak juga menemukan solusi, penulis akan ganti template lagi. Sudah coba cari template lain, tapi belum ketemu yang cocok.
Buat Anda yang mempunyai permasalahan sama, ini solusinya. Yang harus Anda lakukan adalah edit template-nya.
Silakan cari kode:
li { margin-left:20px; }
lalu ganti dengan
li { margin-left:40px; }
Simpan template, selesai. Jangan lupa, setiap kali akan edit template, simpanlah template lama Anda (back up). Jika ada kesalahan, Anda bisa mengembalikan ke template lama Anda.
Selain template, secara berkala penulis juga back up semua tulisan yang ada di blog untuk antisipasi kalau terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Selamat mencoba...
Beberapa waktu lalu penulis menemukan template 2 kolom yang menarik, yakni Grunge London. Penulis putuskan mengganti template blog penulis dengan template ini. Setelah terlanjur ganti dan menata ulang gadget, penulis baru menyadari ada sedikit permasalahan dengan template ini.
Kalau kita menuliskan sesuatu (misalnya ada 15 item) secara berurutan ke bawah. Pada saat posting, penomoran otomatis ini tidak ada masalah. Nomor yang tampil 1 sampai 15. Tapi setelah di-publish, baru kelihatan. Nomor yang muncul 1 sampai 9, pada urutan nomor 10 angka yang muncul hanya 0 (nol), angka 11 hanya muncul angka 1, 12 hanya muncul angka 2, dan seterusnya. Jadi nomor 2 digit atau lebih, hanya muncul digit akhirnya saja.
Penulis coba googling, tidak menemukan jawaban. Coba masuk ke berbagai blog tutorial, tidak juga dapat solusi. Lalu penulis coba tanya via Yahoo! Answers (Mengapa Nomor Hanya 1 Digit?). Dari sinilah akhirnya penulis mendapat solusi dari Kakangsung.
Sebelumnya pernah terpikir, kalau tak juga menemukan solusi, penulis akan ganti template lagi. Sudah coba cari template lain, tapi belum ketemu yang cocok.
Buat Anda yang mempunyai permasalahan sama, ini solusinya. Yang harus Anda lakukan adalah edit template-nya.
Silakan cari kode:
li { margin-left:20px; }
lalu ganti dengan
li { margin-left:40px; }
Simpan template, selesai. Jangan lupa, setiap kali akan edit template, simpanlah template lama Anda (back up). Jika ada kesalahan, Anda bisa mengembalikan ke template lama Anda.
Selain template, secara berkala penulis juga back up semua tulisan yang ada di blog untuk antisipasi kalau terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Selamat mencoba...
"Lain padang, lain belalang. Lubuk, lain ikannya" begitu kata pepatah. Lain perusahaan, lain manajemen, lain punya cara kerja dan penanganan masalahnya. Inilah yang penulis perhatikan saat berbelanja di 2 swalayan nasional berbeda di kota penulis. Dua swalayan memperlakukan produk makanan "kurang layak" dengan 2 cara berbeda.
Di swalayan S, buah-buahan yang "kurang bagus" (misalnya apel yang satu sisinya kurang bagus (agak membusuk atau mungkin juga hanya memar karena terjatuh atau buah lain yang mengalami hal yang sama), langsung dipotong tanpa aturan oleh karyawan kemudian dibuang ke kantong plastik bening besar. Semua pengunjung dapat melihat kegiatan ini sambil berbelanja. Entah selanjutnya dibuang atau untuk dijadikan pakan ternak. Tapi yang jelas tidak untuk dimakan manusia lagi karena bercampur dengan sayuran, plastik, dan barang lain.
Bagi penulis, sayang sekali buah-buah itu (perlu sekian lama dari benih sampai panen dan melalui proses distribusi yang panjang hingga siap dibeli konsumen, hanya terbuang percuma ke tempat sampah). Ini pemborosan dan menyia-nyiakan sumber daya yang sebenarnya masih bisa dimanfaatkan.
Mungkin bisa diberikan kepada anak jalanan, pengemis, dan lain-lain. Karena sebenarnya buah yang terbuang ini bukan tidak layak makan.
Hal yang sama juga terjadi pada roti tawar yang mendekati masa kadaluarsa. Roti tawar dibuka dari bungkusnya lalu dipotong-potong dan dibuang ke kantong plastik bening besar tersebut, bercampur dengan potongan buah dan sayur.
Di swalayan lain, penulis tidak melihat secara langsung proses/ perlakuan terhadap buah-buahan "kurang bagus" ini. Tapi penulis melihat di swalayan G, ada kemasan buah-buahan campur dalam kemasan 1 styroform. Ada buah apel, pear, dan buah lain yang sudah terpotong dikemas dalam 1 styrofoam. Penulis pikir, ini tentu buah "kurang bagus" lalu dipotong, dikemas lalu dijual dengan harga murah.
Di sebuah swalayan lainnya, penulis juga melihat buah "kurang bagus" ini dikemas dalam 1 styroform dan dijual dengan harga murah. Ada buah apel, pear, juga pisang yang sudah matang (ada bintik-bintik hitam karena terlalu matang).
Bagaimana dengan roti tawar? Di swalayan lain, penulis melihat olahan roti tawar. Roti tawar kering (roti tawar yang diolesi mentega dan ditaburi gula pasir lalu dimasukkan oven sampai jadi kering seperti kerupuk). Roti tawar ini laris diserbu pembeli. Apakah Anda yakin ini dibuat dari roti tawar yang baru diproduksi, langsung diolah dengan cara di-oven? Tentu ini roti tawar yang mendekati masa kadaluarsa, kemudian diolah lagi. Kreatif! Dan produk ini layak makan (bukan dibuat dari makanan tak layak atau produk kadaluarsa).
Anda pernah melihat swalayan yang menjual semangka atau melon yang sudah dipotong kecil-kecil dikemas dalam styrofoam? Apakah ini dari buah semangka utuh yang kondisinya tanpa cacat lalu dipotong jadi irisan buah baru dijual?
Biasanya diambil dari semangka atau melon yang cacat (misalnya di satu sisinya retak atau remuk). Dijual utuh tentu tidak akan dipilih oleh konsumen. Jadi bisa dibelah 2 (ambil sisi lain yang utuh lalu ditutup dengan plastik bening dan ditimbang dan diberi label harga). Dan sisi lainnya? Ya diiris sepotong-sepotong seperti penjual buah dengan gerobak dorongnya.
Menurut penulis, sayur, buah, roti atau produk makanan lain yang "kurang bagus", sebenarnya masih bisa dimanfaatkan.
Anda tentu pernah melihat swalayan yang juga menjual masakan olahan. Kita tidak tahu (dan tak peduli atau terpikir) apakah kangkung-nya berasal dari kangkung segar atau kangkung layu? Tapi yang pasti sebagai swalayan mereka pasti menjaga mutu. Kangkung layu, masih layak (jadi bukan sayur atau daging busuk atau kadaluarsa yang diolah jadi makanan siap saji). Ini langkah yang bagus (menurut penulis). Rasanya sangat disayangkan (baca: sedih) melihat makanan yang masih bisa dimanfaatkan (buah, sayur, atau roti) hanya dipotong asal-asalan lalu dibuang ke tempat sampah. Padahal makanan itu bisa dimanfaatkan untuk berbagi dengan sesama yang kurang beruntung atau diolah dan dijual dengan harga terjangkau, atau dibagikan kepada karyawan.
Di pasar tradisional Anda pun akan menemukan hal ini. Menjelang sore, pedagang akan menjual dagangannya yang tak tahan lama (tak bisa disimpan lama) dengan harga lebih murah. Pertama karena kondisinya tidak segar lagi, kedua: karena itu sisa dari yang telah dipilih pembeli sejak pagi, ketiga: daripada besok terbuang percuma.
Tapi ini hanya opini pribadi penulis. Lain padang, lain belalang. Lain lubuk, lain ikannya. Lain orang, lain pemikiran. Kita bebas berpendapat. Ya 'kan?
Di swalayan S, buah-buahan yang "kurang bagus" (misalnya apel yang satu sisinya kurang bagus (agak membusuk atau mungkin juga hanya memar karena terjatuh atau buah lain yang mengalami hal yang sama), langsung dipotong tanpa aturan oleh karyawan kemudian dibuang ke kantong plastik bening besar. Semua pengunjung dapat melihat kegiatan ini sambil berbelanja. Entah selanjutnya dibuang atau untuk dijadikan pakan ternak. Tapi yang jelas tidak untuk dimakan manusia lagi karena bercampur dengan sayuran, plastik, dan barang lain.
Bagi penulis, sayang sekali buah-buah itu (perlu sekian lama dari benih sampai panen dan melalui proses distribusi yang panjang hingga siap dibeli konsumen, hanya terbuang percuma ke tempat sampah). Ini pemborosan dan menyia-nyiakan sumber daya yang sebenarnya masih bisa dimanfaatkan.
Mungkin bisa diberikan kepada anak jalanan, pengemis, dan lain-lain. Karena sebenarnya buah yang terbuang ini bukan tidak layak makan.
Hal yang sama juga terjadi pada roti tawar yang mendekati masa kadaluarsa. Roti tawar dibuka dari bungkusnya lalu dipotong-potong dan dibuang ke kantong plastik bening besar tersebut, bercampur dengan potongan buah dan sayur.
Di swalayan lain, penulis tidak melihat secara langsung proses/ perlakuan terhadap buah-buahan "kurang bagus" ini. Tapi penulis melihat di swalayan G, ada kemasan buah-buahan campur dalam kemasan 1 styroform. Ada buah apel, pear, dan buah lain yang sudah terpotong dikemas dalam 1 styrofoam. Penulis pikir, ini tentu buah "kurang bagus" lalu dipotong, dikemas lalu dijual dengan harga murah.
Di sebuah swalayan lainnya, penulis juga melihat buah "kurang bagus" ini dikemas dalam 1 styroform dan dijual dengan harga murah. Ada buah apel, pear, juga pisang yang sudah matang (ada bintik-bintik hitam karena terlalu matang).
Bagaimana dengan roti tawar? Di swalayan lain, penulis melihat olahan roti tawar. Roti tawar kering (roti tawar yang diolesi mentega dan ditaburi gula pasir lalu dimasukkan oven sampai jadi kering seperti kerupuk). Roti tawar ini laris diserbu pembeli. Apakah Anda yakin ini dibuat dari roti tawar yang baru diproduksi, langsung diolah dengan cara di-oven? Tentu ini roti tawar yang mendekati masa kadaluarsa, kemudian diolah lagi. Kreatif! Dan produk ini layak makan (bukan dibuat dari makanan tak layak atau produk kadaluarsa).
Anda pernah melihat swalayan yang menjual semangka atau melon yang sudah dipotong kecil-kecil dikemas dalam styrofoam? Apakah ini dari buah semangka utuh yang kondisinya tanpa cacat lalu dipotong jadi irisan buah baru dijual?
Biasanya diambil dari semangka atau melon yang cacat (misalnya di satu sisinya retak atau remuk). Dijual utuh tentu tidak akan dipilih oleh konsumen. Jadi bisa dibelah 2 (ambil sisi lain yang utuh lalu ditutup dengan plastik bening dan ditimbang dan diberi label harga). Dan sisi lainnya? Ya diiris sepotong-sepotong seperti penjual buah dengan gerobak dorongnya.
Menurut penulis, sayur, buah, roti atau produk makanan lain yang "kurang bagus", sebenarnya masih bisa dimanfaatkan.
Anda tentu pernah melihat swalayan yang juga menjual masakan olahan. Kita tidak tahu (dan tak peduli atau terpikir) apakah kangkung-nya berasal dari kangkung segar atau kangkung layu? Tapi yang pasti sebagai swalayan mereka pasti menjaga mutu. Kangkung layu, masih layak (jadi bukan sayur atau daging busuk atau kadaluarsa yang diolah jadi makanan siap saji). Ini langkah yang bagus (menurut penulis). Rasanya sangat disayangkan (baca: sedih) melihat makanan yang masih bisa dimanfaatkan (buah, sayur, atau roti) hanya dipotong asal-asalan lalu dibuang ke tempat sampah. Padahal makanan itu bisa dimanfaatkan untuk berbagi dengan sesama yang kurang beruntung atau diolah dan dijual dengan harga terjangkau, atau dibagikan kepada karyawan.
Di pasar tradisional Anda pun akan menemukan hal ini. Menjelang sore, pedagang akan menjual dagangannya yang tak tahan lama (tak bisa disimpan lama) dengan harga lebih murah. Pertama karena kondisinya tidak segar lagi, kedua: karena itu sisa dari yang telah dipilih pembeli sejak pagi, ketiga: daripada besok terbuang percuma.
Tapi ini hanya opini pribadi penulis. Lain padang, lain belalang. Lain lubuk, lain ikannya. Lain orang, lain pemikiran. Kita bebas berpendapat. Ya 'kan?
Penulis adalah pelanggan setia operator Indosat (pakai Mentari). Sejak pertama kali punya ponsel (HP) di akhir tahun 90-an hingga hari ini (sudah belasan tahun), penulis tidak ganti nomor. Nomor perdana yang dibeli dengan harga 150 ribuan (termasuk pulsa Rp 10.000), masih dipakai hingga kini. Sekarang sudah jauh berbeda, kartu perdana banyak yang diberikan cuma-cuma alias gratis.
Pulsa penulis, 90% lebih hanya digunakan untuk ber-SMS. Jarang sekali dipakai untuk menelpon. Jadi penulis tidak pernah tertarik dengan segala tawaran pemasangan nada sambung atau Ring Back Tone (RBT) dan sejenisnya. Iklan via SMS yang masuk ke HP, hampir pasti langsung dihapus. Penulis juga tidak pernah peduli dengan segala iklan game, cerita lucu, video lucu, tips motivasi, ramalan bintang, dan sebagainya yang muncul di TV maupun media cetak.
Jadi penulis tidak mau tahu cara berlangganan atau cara berhenti berlangganan.
Sampai suatu hari penulis menerima SMS dari operator (?) dengan nomor 808. Isinya sebagai berikut:
Terima kasih atas pengisian pulsa Anda. Sebagai tanda penghargaan, kami memberikan Paket Musik: iRing GRATIS selama 30 hari, dan seterusnya. Lagu yang Anda dapatkan adalah... Jika tidak ingin mengaktifkan ketik TIDAK, SMS ke 808. CS: 021 7941178
Penulis cek dengan menelpon ke nomor sendiri, ternyata sebelum diangkat sudah ada lagu (jadi nada tunggu tidak lagi berbunyi tut... tut...tut...). Karena tidak ingin menggunakan iRing, penulis langsung ketik TIDAK dan kirim ke 808, sesuai petunjuk di SMS yang penulis terima. Dicek lagi, tetap saja masih ada iRing. Diulangi lagi, ketik: TIDAK kirim ke 808, hasilnya sama saja.
Ya, sudahlah. Biarkan saja dulu ('kan GRATIS 1 bulan?). Nanti kalau sempat, coba telpon ke operator dan menanyakan bagaimana cara menghilangkan iRing tersebut.
Eh... ternyata lupa. Satu bulan kemudian, tiba-tiba dapat SMS dari 808 lagi:
Layanan iRing Anda telah diperpanjang sampai tanggal sekian. I-Ring akan diperpanjang otomatis setelah 30 hari, biaya... Stop ketik UNREG ke 808. Dan seterusnya....
Oh... ternyata kalau mau batalkan (berhenti langganan), harus ketik UNREG kirim ke 808. Padahal di SMS awal (dapat iRing GRATIS) harus ketik TIDAK kirim ke 808.
Penulis coba ketik UNREG lalu kirim ke 808. Langsung dapat balasan dari 808: Layanan iRing Anda dinon-aktifkan. Untuk berlangganan kembali ketik REG kirim ke 808. Dan seterusnya...
Penulis jadi bingung dengan SMS seperti itu. Perintah yang diberikan di awal tidak bisa berfungsi sehingga pelanggan seperti saya terpaksa berlangganan iRing 1 bulan (otomatis potong pulsa).
Jadi bila Anda menerima perintah sejenis, kalau ketik TIDAK tapi tidak juga berhenti berlangganan, Anda harus kreatif mengganti kalimatnya menjadi UNREG. Karena TIDAK itu artinya sama dengan UNREG (?).
Atau kalau masih tetap tidak juga stop berlangganan, mungkin Anda bisa coba ketik BUKAN, atau BATAL atau NO atau yang lain. Sekedar saran saja.
Pulsa penulis, 90% lebih hanya digunakan untuk ber-SMS. Jarang sekali dipakai untuk menelpon. Jadi penulis tidak pernah tertarik dengan segala tawaran pemasangan nada sambung atau Ring Back Tone (RBT) dan sejenisnya. Iklan via SMS yang masuk ke HP, hampir pasti langsung dihapus. Penulis juga tidak pernah peduli dengan segala iklan game, cerita lucu, video lucu, tips motivasi, ramalan bintang, dan sebagainya yang muncul di TV maupun media cetak.
Jadi penulis tidak mau tahu cara berlangganan atau cara berhenti berlangganan.
Sampai suatu hari penulis menerima SMS dari operator (?) dengan nomor 808. Isinya sebagai berikut:
Terima kasih atas pengisian pulsa Anda. Sebagai tanda penghargaan, kami memberikan Paket Musik: iRing GRATIS selama 30 hari, dan seterusnya. Lagu yang Anda dapatkan adalah... Jika tidak ingin mengaktifkan ketik TIDAK, SMS ke 808. CS: 021 7941178
Penulis cek dengan menelpon ke nomor sendiri, ternyata sebelum diangkat sudah ada lagu (jadi nada tunggu tidak lagi berbunyi tut... tut...tut...). Karena tidak ingin menggunakan iRing, penulis langsung ketik TIDAK dan kirim ke 808, sesuai petunjuk di SMS yang penulis terima. Dicek lagi, tetap saja masih ada iRing. Diulangi lagi, ketik: TIDAK kirim ke 808, hasilnya sama saja.
Ya, sudahlah. Biarkan saja dulu ('kan GRATIS 1 bulan?). Nanti kalau sempat, coba telpon ke operator dan menanyakan bagaimana cara menghilangkan iRing tersebut.
Eh... ternyata lupa. Satu bulan kemudian, tiba-tiba dapat SMS dari 808 lagi:
Layanan iRing Anda telah diperpanjang sampai tanggal sekian. I-Ring akan diperpanjang otomatis setelah 30 hari, biaya... Stop ketik UNREG ke 808. Dan seterusnya....
Oh... ternyata kalau mau batalkan (berhenti langganan), harus ketik UNREG kirim ke 808. Padahal di SMS awal (dapat iRing GRATIS) harus ketik TIDAK kirim ke 808.
Penulis coba ketik UNREG lalu kirim ke 808. Langsung dapat balasan dari 808: Layanan iRing Anda dinon-aktifkan. Untuk berlangganan kembali ketik REG kirim ke 808. Dan seterusnya...
Penulis jadi bingung dengan SMS seperti itu. Perintah yang diberikan di awal tidak bisa berfungsi sehingga pelanggan seperti saya terpaksa berlangganan iRing 1 bulan (otomatis potong pulsa).
Jadi bila Anda menerima perintah sejenis, kalau ketik TIDAK tapi tidak juga berhenti berlangganan, Anda harus kreatif mengganti kalimatnya menjadi UNREG. Karena TIDAK itu artinya sama dengan UNREG (?).
Atau kalau masih tetap tidak juga stop berlangganan, mungkin Anda bisa coba ketik BUKAN, atau BATAL atau NO atau yang lain. Sekedar saran saja.
Langganan:
Postingan (Atom)