Hidup itu tak pasti, kematian itu pasti. Pikiran ini akan terlintas saat menghadiri pemakaman atau datang melayat ke rumah duka. Kemarin masih ngobrol, beberapa hari lalu masih terlihat segar bugar, sekarang sudah terbujur kaku.
Saat masih kecil dulu (SD), mendengar kata meninggal atau mati, takut luar biasa. Sekarang pun sebenarnya masih takut juga. Tapi mau bagaimana lagi, takut atau tidak terhadap kematian, kita semua tetap saja pasti mati. Jadi, apa yang harus ditakutkan?
Kembali soal kematian, apa yang akan dilakukan terhadap orang yang sudah meninggal. Biasanya pilihannya ada 2: dimakamkan atau dikremasi.
Dari pengalaman sejak kecil hingga sekarang, pemakaman menimbulkan banyaaak permasalahan bagi orang yang ditinggalkan. Sudah bukan rahasia lagi, pemakaman dan perawatan makam bertahun-tahun setelahnya, tidaklah murah. Dan ... tidak semua orang yang ditinggalkan ini hidup berkecukupan. Ada yang mengalami kesulitan hidup, untuk biaya yang hidup saja mereka kesulitan, apalagi harus dibebani biaya merawat makam.
Di kota kelahiran penulis, pemakaman orang Tionghoa terletak di kaki bukit. Dulu ... jika ada yang meninggal, peti jenazah ditaruh di atas kereta, lalu ditarik beramai-ramai oleh warga masyarakat (biasanya tiap rumah mengirim 1 orang wakil) ke lokasi pemakaman.
Bagaimana dengan sembahyang leluhur yang biasa disebut Ceng Beng? Dari pengalaman penulis melihat sembahyang Ceng Beng dan juga cerita banyak teman, memang banyak kendala yang dihadapi. Harus siap cukup banyak uang dan itu pun terkadang prosesi sembahyang Ceng Beng tidak bisa khusyuk. Ada saja gangguan dari sana dan sini.
Biaya perawatan makam yang terus naik. Lahan pemakaman yang semakin sempit atau kalaupun ada, lokasinya sangat jauh. Tampaknya kremasi adalah pilihan yang bijak.
Setelah meninggal, kremasi saja. Abunya? Dibawa pulang, dititip di rumah abu, atau dilarung ke laut? Sekali lagi, dilarung ke laut (menurut penulis) lebih baik. Tidak menyusahkan keturunan (anak atau cucu). Mau berdoa? Bisa dilakukan di mana saja, di rumah, di vihara, dan di mana saja. Ceng Beng pun tidak harus ke laut tempat dulu abu dilarung.
Langkah yang bijak, "kepergian" seseorang (melanjutkan ke kehidupan berikutnya), tidak usahlah meninggalkan beban bagi keluarga yang ditinggalkan. Masih ingat pada leluhur, silakan berdoa, tidak ingat pun, silakan saja.
Langganan:
Postingan (Atom)