Penulis menemukan artikel inspiratif, maka penulis copy paste untuk dibagikan kepada pengunjung blog. Waktu membacanya, mata penulis berkaca-kaca. Kisah yang menggugah dan menyentuh hati. Mari kita bersama memetik pelajaran dari tulisan ini. Kita harus berubah menjadi lebih baik dan kita bisa memulainya dari diri kita sendiri. Selamat membaca... 
 * * * * *
Setiap tahunnya, VOA mengundang 
jurnalis muda Indonesia untuk menggali pengalaman selama setahun di 
Washington, D.C., Amerika Serikat, sebagai penerima fellowship PPIA-VOA.
Kali ini giliran reporter Metro TV Rafki Hidayat yang akan membagi 
berbagai pengalamannya sebagai wartawan VOA di AS di blog ini. Selamat 
membaca!
 
Sebagai orang Indonesia, saya sangat akrab mendengar betapa 
kita dinilai sebagai bangsa yang ramah dan penuh senyum. Persepsi asing 
yang telah mengkristal, yang tanpa disadari kita akui kebenarannya.
Di sisi lain, telah tertanam pula sejak kecil bahwa bule atau ‘orang barat’ adalah manusia pemuja kebebasan, individualis-dingin yang bertolak-belakang dengan kehangatan timur kita.
Namun, berbagai fakta yang terjadi di hadapan mata ketika di Amerika,
 membuat saya bertanya, masih relevankah persepsi-persepsi itu? Apakah 
kita benar-benar ramah dan hangat? Saya yakin, tidak saya seorang diri 
yang mempertanyakan ini.
Semua bermula dari rangkaian kejadian sehari-hari.
Kutahan Pintu Untukmu
Di Amerika, kebanyakan pintu tidak memiliki kenop, tetapi hanya 
pegangan, sehingga harus didorong atau ditarik dengan tenaga ekstra 
karena cukup berat.
Ketika menuju ke berbagai gedung, orang Amerika yang terlebih dahulu 
masuk, biasanya menahan pintu tetap terbuka agar orang lain di 
belakangnya, termasuk saya, bisa ikut masuk.
Kejadian pintu ditahan terbuka ini, awalnya saya kira hanya 
kebetulan, tetapi ketika terjadi setiap hari di berbagai tempat dengan 
orang yang berbeda, saya tertegun dan malu sendiri karena tidak pernah 
melakukannya untuk orang lain.
Saya merasa sangat egois, karena seumur hidup jarang sekali hal ini 
dilakukan. Kalau masuk ruangan, ya masuk saja, buka pintu untuk diri 
sendiri. Meskipun awalnya agak canggung, tak ada cara lain untuk 
menghapus rasa malu selain melakukan hal yang sama pada orang lain.
Eskalator “Kiri-Kanan”
Keteraturan adalah salah satu perwujudan saling menghargai. Di Amerika, ini bahkan terlihat saat sedang menggunakan eskalator.
Di stasiun Metro, setiap badan eskalator seakan memiliki batasan 
semu, bagian kiri dan kanan. Sisi kanan untuk pengguna yang tidak 
terburu-buru dan sisi kiri bagi yang bergegas sehingga bisa terus 
bergerak.
Alhasil, siapa pun yang terburu-buru tidak kesal jika orang di 
depannya tidak bergerak. Dan yang santai, juga tidak terganggu karena 
orang di belakangnya ingin memotong jalan. Mungkin terlihat sederhana, 
tetapi dari hal-hal kecil inilah keteraturan hidup sebuah masyarakat 
bermula.
Bising “Terima Kasih”
Ucapan terima kasih terdengar di mana-mana. Misalnya ketika turun 
bus, penumpang mengantre turun, lalu satu persatu menggaungkan terima 
kasih kepada sopir. Rasanya tidak mungkin terjadi di Indonesia: bus 
langsung tancap gas, bahkan sebelum penumpangnya sempat menginjakkan 
kaki di jalan.
Budaya mengantre sendiri sudah mendarah daging, termasuk untuk hal remeh-temeh seperti antre berfoto di tempat wisata. Ini mereka lakukan dengan inisiatif sendiri, tanpa peraturan dan tanpa penjagaan.
Saya sempat mengurut dada ketika antre hampir setengah jam hanya 
untuk berfoto di lambang Las Vegas. Sempat terpikir, keadaan ini sudah 
berlebihan. Namun, jika semua orang seperti saya dan memutuskan berfoto 
di sudut mana pun yang mereka mau, kekacauan-lah yang terjadi. Wajar, di
 Amerika jarang terdengar ada orang yang terinjak-injak atau pingsan 
sesak nafas karena mengantre.
Sapaan Semu?
Kehangatan juga menembus dimensi kata-kata. Telah menjadi kebiasaan 
di Amerika untuk bertegur sapa bertanya kabar ketika berpapasan, “How are you?” “I’m good, thanks?” bahkan dengan orang tak dikenal.
Saya sempat berpikir negatif, menuding ada kemunafikan di tengah 
kebiasaan ini. Semuram apa pun kondisi hati seseorang, mereka cenderung 
menjawab “baik-baik saja.” Ini tidak jujur, apa gunanya?
Namun, lama-lama, ketika melaksanakan sendiri sapaan tersebut setiap 
hari, saya mulai mengerti bahwa budaya yang sangat sederhana ini 
memiliki makna filosofi yang dalam: betapa setiap orang selalu peduli 
dan siap menjadi pendengar cerita dan keluhan orang lain, bahkan yang 
tidak dikenalnya.
Selain itu, yang mungkin sudah sering kita dengar, setiap perpisahan 
berujung saling mengucap “Have a good day!” dan “You, too.” Kalimat yang
 jika direnungkan, dalam taraf yang berbeda, serupa dengan ungkapan 
Assalamualaikum-Wa’alaikum salam.
Silakan Lewat
Di mana lagi tempat di bumi ini, mobil berhenti dan mempersilakan pejalan kaki menyeberang di hadapannya terlebih dahulu?
Saya sangat akrab dengan jalanan ibukota yang kadang terasa sangat 
brutal. Nyawa seakan dipertaruhkan di setiap langkah. Pengemudi mobil 
dan motor menjadi raja jalanan. Pejalan kaki termajinalkan.
Di Amerika, pejalan kaki bagai makhluk mulia. Sering kali ketika 
hendak menyeberang, saya berhenti karena ada mobil yang akan lewat. 
Tetapi yang terjadi kemudian, malah mobilnya yang berhenti dan 
mempersilakan saya menyeberang.
Betapa orang menghargai satu sama lain, bahkan bisa dilihat saat 
menggunakan lift. Siapa pun yang masuk lebih dulu, dipersilakan keluar 
terlebih dahulu jika lantai tujuan sama, meskipun orangnya berdiri jauh 
dari pintu lift.
Manusia Setengah Dewa
Yang paling menyentuh adalah bagaimana Amerika memperlakukan 
orang-orang berkebutuhan khusus selayaknya manusia, yang berhak 
merasakan apa yang seharusnya mereka rasakan.
Di lapangan parkir, lampu rambu-rambu lalu lintas, toilet, jalan 
masuk ke gedung, kendaraan umum, bahkan bioskop, memiliki tempat bagi 
orang berkebutuhan khusus. Ini bukan untuk mengistimewakan, tapi agar 
mereka bisa menjadi manusia seutuhnya, memperoleh haknya terlepas dari 
apa pun kekurangan mereka.
Saya semakin terkesima ketika tahu perhatian ini merambah dunia 
pekerjaan. Ketika membeli tiket film di bioskop, tidak jarang saya 
dilayani oleh seorang tuna-rungu atau petugas yang duduk di kursi roda.
Paradoks
Apa yang saya lihat sedikit banyak memberi jawaban, mengapa tidak 
sedikit orang Indonesia yang pernah tinggal atau mengecap pendidikan di 
luar negeri, tidak ingin kembali ke tanah air. Selain karena lapangan 
pekerjaan yang layak di luar negeri, kenyamanan dan rasa dihargai 
sebagai individu, tidak melihat warna kulit, agama, dan asal negara, 
tidak dapat dipungkiri ikut menjadi alasannya.
Saya sempat berpikir, apakah sebutan dunia luar terhadap kita sebagai
 bangsa yang ramah, masih relevan? Apakah kita dinilai ramah oleh orang 
asing, padahal kita hanya ramah kepada mereka tetapi lupa terhadap 
bangsa sendiri?
Saya masih ingat, jika ada turis asing datang ke kampung, saya dan 
anak-anak kecil lainnya berlari untuk bisa menyapa mereka dengan bahasa 
Inggris, “Good morning, Sir!” minta bersalaman. Turis-turis pun 
diberikan pelayanan ekstra dengan senyum sumringah. Mereka diperlakukan 
selayaknya, bahkan seakan diagungkan. Mungkin dari sinilah mereka 
menilai kita sebagai orang-orang yang hangat.
Ironis, keramahan yang sama kerap terlupakan untuk orang dekat 
sendiri, terjadi di Indonesia, negara yang justru terkenal dengan 
berbagai aturan adat, norma kesopanan, dan ajaran-ajaran agama yang kuat
 dan menopang berbagai sendi kehidupan.
Memang tidak adil membanding-bandingkan dua kebudayaan yang telah 
terbangun berabad-abad dengan karakter dan keunikannya masing-masing. 
Tambah tidak adil lagi membandingkan Indonesia dengan Amerika, yang 
telah lama diamini dunia sebagai negara maju dari berbagai bidang.
Namun, saya yakin tetap ada celah untuk mengkritik persepsi kita 
tentang “budaya barat” dan “budaya timur.” Ada celah untuk mengatakan 
keramahan bukanlah soal timur dan barat. Keramahan bukanlah soal ras dan
 warna kulit. Namun, keramahan adalah wujud penghargaan manusia terhadap
 manusia lainnya, yang tak pandang bulu dan merata. Keramahan, yang 
rasanya janggal bagi saya mengakui Indonesia sebagai representasi 
“timur” sebenarnya, karena ada “timur” yang jauh lebih kental di 
“barat”-nya Amerika. ()
Rafki Hidayat
Diedit kembali oleh Hendry Filcozwei Jan 
Mau baca koleksi kisah inspiratif yang lain? Silakan klik: tulisan "Kisah Inspiratif" di sisi kanan blog (di bawah tulisan Labels). Angka di belakang tulisan "Kisah Inspiratif" adalah jumlah artikel yang ada pada label tersebut. Atau bisa juga Anda langsung klik ini: Kisah Inspiratif (akan muncul banyak judul artikel, silakan klik judul artikel yang ingin Anda baca). Terima kasih sudah mampir ke blog kami...