Sumber foto: Google (hanya ilustrasi, bukan gambar asli dari kisah sebenarnya)
Dalam sebuah pertandingan lari jarak jauh, menjelang finis ada tiga pelari terdepan yang sedang berlari secepat mungkin. Mereka berjuang untuk mendapatkan medali emas (ketiganya sudah hampir pasti juara ke-1, ke-2, dan ke-3).
Di belakang mereka (agak tertinggal), ada tiga pelari dengan jarak yang berdekatan (rombongan kedua). Catatan terbaik yang dapat mereka raih saat itu adalah urutan ke-4. Itu bukan tempat yang menyenangkan, tidak pernah ada sebutan juara ke-4.
Sebenarnya prestasi rombongan kedua ini tidaklah buruk, toh di belakang mereka masih banyak pelari yang jauh tertinggal.
Ada hal menarik dari tiga pelari di rombongan kedua ini. Melihat rombongan pertama semakin dekat ke garis finis, dua pelari sudah tak bersemangat untuk menyelesaikan perlombaan. Tapi satu pelari, tanpa peduli kepada dua temannya, ia terus berlari secepat mungkin.
Mungkin di benak kedua pelari tadi, untuk apa lari cepat, tidak ada lagi yang dikejar. Medali emas, perak, dan perunggu sudah tidak ada.
Pelari yang satu berpikir beda, "Saya mewakili negara, harus tetap semangat. Meski tidak juara, setidaknya saya bisa menghasilkan catatan waktu yang lebih baik daripada sebelumnya."
Akhirnya pelari ini menempati posisi ke-4. Ia puas karena itulah usaha terbaik yang bisa dipersembahkan kepada negaranya.
"Peraih medali emas positif doping," begitu headline berita koran sebulan kemudian. Juara 2 jadi juara 1, juara 3 jadi juara 2, peringkat 4 naik jadi juara 3 dan mendapat medali perunggu. Selain dapat medali perunggu dan akan dapat bonus dari negara, sikap pantang menyerahnya jadi pemberitaan di koran dan televisi.
Dua pelari lain (dalam rombongan kedua) tentu menyesal mengetahui hal ini. Kalau saja mereka terus semangat berlari, bisa jadi salah satu dari mereka-lah yang merebut medali perunggu.
Jadi ... janganlah cepat menyerah.
Sumber: kiriman WA dari teman (ditulis ulang dan diedit oleh Hendry Filcozwei Jan)