Surat Terbuka Kepada Ahok
Bapak Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama yang terhormat.
Saya sangat menghormati, menghargai, dan mengagumi semangat perjuangan Anda dalam membasmi korupsi dari persada Nusantara tercinta ini. Bagi saya, Anda memang layak tokoh pembasmi korupsi Indonesia yang paling konsekuen dan konsisten. Anda layak dielu-elukan sebagai jawara, pendekar, cowboy, bahkan superhero pembasmi korupsi seperti yang tampil di berbagai meme yang mengelu-elukan semangat perjuangan Ahok membasmi korupsi.
Sebagai sesama warga Indonesia keturunan Tionghoa dan umat Nasrani, saya juga sangat bangga atas semangat perjuangan Anda membasmi korupsi. Namun, akhir-akhir ini terasa bahwa lamat tetapi pasti timbul rasa kebencian masyarakat terhadap kata-kata dan kalimat-kalimat Anda yang dianggap tidak sopan dan tidak santun sehingga tidak layak saya tulis di surat permohonan terbuka di Sinar Harapan yang tersohor sopan dan santun dalam pemberitaan ini.
Bahkan, teman-teman saya yang cendekiawan, rohaniwan, akademikus bukan politikus yang semula mendukung Anda kini mulai meragukan dukungan mereka terhadap Anda. Apalagi mereka yang sejak semula tidak mendukung kini malah mulai membenci Anda. Saya tahu, Anda seorang pemberani, apalagi sudah disemangati oleh mereka yang muak korupsi, tetapi tidak mau atau tidak mampu turun tangan sendiri, pasti sama sekali tidak takut menghadapi dampak ucapan kata-kata Anda. Namun, saya yang pengecut ini yang takut dan saya yakin saya tidak sendirian dalam ketakutan.
Bukan rahasia lagi, bahkan fakta sejarah, bahwa telah berulang kali terjadi malapetaka huru-hara rasialis di persada Nusantara. Akibat memang beberapa insan keturunan Tionghoa bersikap dan berperilaku layak dibenci maka beberapa titik nila merusak susu sebelanga. Akibat beberapa insan keturunan Tionghoa bersikap dan berperilaku layak dibenci maka seluruh warga keturunan Tionghoa di Indonesia dipukul-rata untuk dianggap layak dibenci.
Cukup banyak warga keturunan Tionghoa jatuh sebagai korban nyawa termasuk ayah kandung dan beberapa sanak-keluarga saya sendiri di masa kemelut tragedi G-30-S. Nyawa saya pribadi memang selamat, namun sekolah saya dibakar dan ditutup hanya akibat digolongkan sebagai sekolah kaum keturunan Tionghoa, padahal saya pribadi tidak pernah setuju komunisme.
Ketika huru-hara rasialis 1980-an di Semarang, kantor saya dilempari batu. Mobil saya dibakar dan rumah saya nyaris dibumi-hanguskan para huruharawan apabila tidak diselamatkan oleh TNI, kepolisian, dan tetangga saya yang justru bukan keturunan Tionghoa.
Saya kira, Anda juga sadar bahwa kini memang tidak ada lagi penindasan terhadap kaum keturunan Tionghoa, namun jangan lupa bahwa suasana indah ini hanya bisa terjadi berkat perjuangan almarhum Gus Dur, yang dilanjutkan Megawati, SBY, dan kini Jokowi yang secara politis dan hukum melarang diskriminasi terhadap kaum keturunan China yang berdasar Keppres SBY 2014 disebut Tionghoa.
Pada kenyataan sebenarnya kebencian terhadap kaum Tionghoa di Indonesia belum lenyap. Kebencian masih hadir sebagai api dalam sekam yang setiap saat rawan membara, bahkan meledak menjadi huru-hara apabila ada alasan. Tidak kurang dari Imam Besar FPI, Habib Rieziq, menyatakan kepada saya pribadi bahwa beliau menghargai semangat Anda membasmi korupsi, namun yang tidak disukai pada diri Anda hanyalah kata-kata tidak sopan saja.
Bukan sesuatu yang mustahil bahwa kata-kata tidak sopan Anda menyulut sumbu kebencian sehingga meledak menjadi tragedi huru-hara yang tentu saja tidak ada yang mengharapkannya. Maka dengan penuh kerendahan hati, saya memberanikan diri untuk memohon Anda berkenan lebih menahan diri dalam mengucapkan kata-kata yang mungkin apalagi pasti menyinggung perasaan bangsa Indonesia. Terima kasih dari seorang warga Indonesia yang tidak sepemberani Anda.
Jaya Suprana
Bapak Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama yang terhormat.
Saya sangat menghormati, menghargai, dan mengagumi semangat perjuangan Anda dalam membasmi korupsi dari persada Nusantara tercinta ini. Bagi saya, Anda memang layak tokoh pembasmi korupsi Indonesia yang paling konsekuen dan konsisten. Anda layak dielu-elukan sebagai jawara, pendekar, cowboy, bahkan superhero pembasmi korupsi seperti yang tampil di berbagai meme yang mengelu-elukan semangat perjuangan Ahok membasmi korupsi.
Sebagai sesama warga Indonesia keturunan Tionghoa dan umat Nasrani, saya juga sangat bangga atas semangat perjuangan Anda membasmi korupsi. Namun, akhir-akhir ini terasa bahwa lamat tetapi pasti timbul rasa kebencian masyarakat terhadap kata-kata dan kalimat-kalimat Anda yang dianggap tidak sopan dan tidak santun sehingga tidak layak saya tulis di surat permohonan terbuka di Sinar Harapan yang tersohor sopan dan santun dalam pemberitaan ini.
Bahkan, teman-teman saya yang cendekiawan, rohaniwan, akademikus bukan politikus yang semula mendukung Anda kini mulai meragukan dukungan mereka terhadap Anda. Apalagi mereka yang sejak semula tidak mendukung kini malah mulai membenci Anda. Saya tahu, Anda seorang pemberani, apalagi sudah disemangati oleh mereka yang muak korupsi, tetapi tidak mau atau tidak mampu turun tangan sendiri, pasti sama sekali tidak takut menghadapi dampak ucapan kata-kata Anda. Namun, saya yang pengecut ini yang takut dan saya yakin saya tidak sendirian dalam ketakutan.
Bukan rahasia lagi, bahkan fakta sejarah, bahwa telah berulang kali terjadi malapetaka huru-hara rasialis di persada Nusantara. Akibat memang beberapa insan keturunan Tionghoa bersikap dan berperilaku layak dibenci maka beberapa titik nila merusak susu sebelanga. Akibat beberapa insan keturunan Tionghoa bersikap dan berperilaku layak dibenci maka seluruh warga keturunan Tionghoa di Indonesia dipukul-rata untuk dianggap layak dibenci.
Cukup banyak warga keturunan Tionghoa jatuh sebagai korban nyawa termasuk ayah kandung dan beberapa sanak-keluarga saya sendiri di masa kemelut tragedi G-30-S. Nyawa saya pribadi memang selamat, namun sekolah saya dibakar dan ditutup hanya akibat digolongkan sebagai sekolah kaum keturunan Tionghoa, padahal saya pribadi tidak pernah setuju komunisme.
Ketika huru-hara rasialis 1980-an di Semarang, kantor saya dilempari batu. Mobil saya dibakar dan rumah saya nyaris dibumi-hanguskan para huruharawan apabila tidak diselamatkan oleh TNI, kepolisian, dan tetangga saya yang justru bukan keturunan Tionghoa.
Saya kira, Anda juga sadar bahwa kini memang tidak ada lagi penindasan terhadap kaum keturunan Tionghoa, namun jangan lupa bahwa suasana indah ini hanya bisa terjadi berkat perjuangan almarhum Gus Dur, yang dilanjutkan Megawati, SBY, dan kini Jokowi yang secara politis dan hukum melarang diskriminasi terhadap kaum keturunan China yang berdasar Keppres SBY 2014 disebut Tionghoa.
Pada kenyataan sebenarnya kebencian terhadap kaum Tionghoa di Indonesia belum lenyap. Kebencian masih hadir sebagai api dalam sekam yang setiap saat rawan membara, bahkan meledak menjadi huru-hara apabila ada alasan. Tidak kurang dari Imam Besar FPI, Habib Rieziq, menyatakan kepada saya pribadi bahwa beliau menghargai semangat Anda membasmi korupsi, namun yang tidak disukai pada diri Anda hanyalah kata-kata tidak sopan saja.
Bukan sesuatu yang mustahil bahwa kata-kata tidak sopan Anda menyulut sumbu kebencian sehingga meledak menjadi tragedi huru-hara yang tentu saja tidak ada yang mengharapkannya. Maka dengan penuh kerendahan hati, saya memberanikan diri untuk memohon Anda berkenan lebih menahan diri dalam mengucapkan kata-kata yang mungkin apalagi pasti menyinggung perasaan bangsa Indonesia. Terima kasih dari seorang warga Indonesia yang tidak sepemberani Anda.
Jaya Suprana
Catatn: Surat ini dimuat di harian Sinar Harapan Rabu, 25 Maret 2015, penulis kutip dari: Rakyat Merdeka
Tanggapan dari Kompasianer:
Untuk Jaya Suprana dari Kaum ‘Minoritas’ Tentang Ahok
Bapak Jaya Suprana yang saya hormati, izinkan saya untuk menanggapi
surat Bapak. Kita sama-sama Nasrani dan tidak sepemberani Pak Ahok. Saya
bukan Tionghoa namun 10 dari 10 orang (Iya Pak, bukan 9 dari 10) yang
melihat saya mengira saya Tionghoa. Waktu kerusuhan 1998 saya dilarang
keluar oleh Ibu karena penyerang tak tanya KTP atau akte sebelum
menghantam. Asal putih dan sipit ya diserang, begitu ya?
Lewat surat ini ada beberapa poin yang mau saya sampaikan. Pertama,
tentang cara memaknai perjuangan Pak Ahok. Kedua, tentang kemungkinan
huru-hara. Ketiga, tentang nyawa jika kerusuhan terjadi (saya sih sangat
yakin tak akan ada kerusuhan). Keempat, konteks dan substansi kata-kata
kasar Pak Ahok. Kelima, definisi ulang istilah ‘mayoritas’ dan
‘minoritas’ dan yang terakhir: Lantas apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pertama, cara orang memaknai perjuangan Pak Ahok. Ada pihak-pihak yang
masuk ke isu SARA, mereduksi perjuangan Pak Ahok melawan korupsi menjadi
perseteruan kaum minoritas versus mayoritas. Padahal kaum minoritas
juga banyak yang dibuat susah Pak Ahok, ‘kan menyuap dan disuap bukan
hanya hal yang dilakukan oleh kaum mayoritas? (Jangan lupa, kaum
minoritas yang berdagang atau berbisnis kini mulai susah menyuap pejabat
karena Pak Ahok rajin banget memecat anak buahnya yang korup). Dampak
dari kesalahan memaknai perjuangan Pak Ahok ini membuat sebagian kaum
minoritas jadi ketakutan dan berpikir bahwa bisa saja kelak ada
kerusuhan.
Mari masuk ke poin nomor dua, yaitu tentang kemungkinan adanya
huru-hara. Hati nurani tak kenal agama dan suku, Pak. Muslim, Kristen,
Buddha, atheis, Jawa, Sulawesi, Kalimantan…Banyak yang lupa bahwa
daerahnya juga punya gubernur. Semua mata kini mengarah ke Pak Ahok.
Dukungan untuk beliau semakin deras. Jumlah daerah yang menolak FPI dan
ormas sejenis kian banyak. Rakyat tak keberatan memilih Jokowi jadi
gubernur padahal tahu wakilnya adalah kaum minoritas. Tentu itu adalah
tanda bahwa rakyat sudah berpikiran maju. Beberapa daerah inden Pak
Ahok. “Kalo udah ngga di Jakarta, di sini aja deh,Pak”, begitu mereka
bilang. Kemungkinan terjadinya kerusuhan etnis seperti 1998 saya rasa
0,1% (Inginnya sih bilang 0% cuma kesannya kayak saya belagak jadi
Tuhan). Lagipula kerusuhan 1998 itu hasil rekayasa,ya?Sikon sudah
beda.Walau yakin tak akan ada huru-hara tapi saya coba mengakomodasi
mereka yang berpikir bahwa minoritas akan diserang. Jadi, mari kita ke
poin ketiga, yaitu tentang nyawa, dengan asumsi kaum minoritas akan
diserang.
Pak Jaya yang baik, nasib saya belum pernah seburuk Bapak. Saya hanya
pernah mengalami keluarga diteror dan diajak Ibu kabur ke hotel karena
rumah akan digrebek aparat. Almarhumah Ibu saya adalah pendiri beberapa
organisasi hak asasi manusia dan seperti Pak Ahok, urat takutnya sudah
putus. Berulang kali nyawa Ibu ada di ujung tanduk. Sampai ke titik
tertentu, saya paham rasa takut yang Bapak rasakan. Kalau kelak ada
kerusuhan saya bisa kena, kok.
Cuma ya…Mau bagaimana lagi? Saat seseorang berjuang, yang kena imbas
memang bukan hanya orang-orang di lingkaran terdalam. Ketika prajurit
Indonesia menembaki penjajah, pasti ada orang tak bersalah yang lagi
ngobrol dengan tetangga bernasib apes kena peluru lalu mati. Hidup dan
mati Tuhan yang atur. Saya dulu yakin Ibu akan mati di tangan aparat,
ternyata beliau meninggal karena stroke.Sekali lagi, saya pribadi
percaya tak akan ada kerusuhan. Saya menulis bagian ini untuk
mengingatkan mereka yang sedemikian takutnya akan kemungkinan
huru-hara:”Hei teman, nyawa kita bukan kita yang atur”.
Poin keempat berkaitan dengan kata-kata Pak Ahok yang sangat kasar.
Beliau ngamuk ke koruptor karena marah melihat kemunafikan dan kerakusan
mereka. Kurang dari 24 jam Pak Ahok minta maaf ke publik. Sementara itu
anggota dewan berteriak ban*sat, Cina dan anj*ng, karena ngamuk
proyek-proyeknya diberangus Pak Ahok. Sampai saat ini, jangankan minta
maaf, ngaku aja dirinya siapa, dia tidak berani. Habib Rizieq atau
pengikutnya juga sangat kasar ketika menghujat Pak Ahok. Cobalah lihat
demo dukung Pak Ahok dan demo anti Pak Ahok, ada jauh lebih banyak kata
kasar berhamburan saat demo yang terakhir. Dia tak suka Pak Ahok hanya
karena Pak Ahok suka bicara kasar? Ah, jangan naïf. Kita semua tahu FPI
ingin menurunkan Pak Ahok karena beliau berani, tak mau main uang,
kafir dan sipit. DPRD ngamuk dan bawa-bawa istri dan ibunya Pak Ahok
sedangkan Pak Ahok saat ngamuk fokus ke masalah. Nah, itu bagaimana?
Saya heran kenapa Bapak mengutip pernyataan Habib Rizieq. Lha jauh
sebelum Pak Ahok bicara kasar, dia sudah sering teriak-teriak provokatif
saat demo. Sebaiknya Bapak fair, alat ukur yang dipakai untuk menilai
Pak Ahok, yaitu kata-kata kasar, pakailah juga untuk mengukur
lawan-lawannya.
Poin kelima, bagaimana kalau kita mendefinisi ulang kata ‘mayoritas’ dan
‘minoritas’? WNI ya WNI, semua dilindungi Undang-Undang. Lagipula
jumlah Tionghoa bukan yang paling sedikit, di Indonesia Betawi dan Batak
lebih sedikit dibandingkan Tionghoa.Selama ini ‘mayoritas’ dan
‘minoritas’ dikaitkan dengan ras dan agama. Bagaimana kalau kedua
istilah itu dikaitkan saja dengan respons atau keterlibatan kita dalam
isu atau dunia politik ? Banyak yang tak peduli:”Ngapain sih ngurus Ahok? Kenapa marah saat pengamat ngomongnya ngaco? Lha yang diomongin
bukan bapak gue, ngapain peduli? Gue aja kerja sampe lembur ngapain
ngurus kerjaan orang ?” Nah, kita sebut saja mereka silent majority.
Yang mencoba untuk memberi sumbangsih aksi atau pemikiran, entah dalam
skala besar atau mungkin hanya bisa berkontribusi kecil-kecilan karena
dikungkung oleh berbagai keterbatasan, kita sebut saja active minority.
Bisa juga dibalik: Kalau yang aktif banyak ya disebut active majority.
Bagaimana pendapat Bapak?
Sekarang masuk poin terakhir, apa yang sebaiknya kita lakukan? Pak,
lebih baik Bapak dan saya mengajak rakyat mendobrak status quo. Daripada
menyebar benih ketakutan dan pesimisme, mari kita didik generasi
selanjutnya agar tak betah mendekam di zona nyaman. Buka mata mereka
untuk melihat jauh ke depan bahwa orang Bali bukan hanya bisa jadi
pemahat tapi juga bisa jadi pemimpin, orang Padang bukan hanya bisa buka
lapak, orang Tionghoa bukan hanya bisa jualan…Siapapun bisa jadi apapun
asal mau dan mampu. Terkesan utopis ? Untuk jadi pemimpin orang memang
harus jadi pemimpi terlebih dahulu, Pak. Dreams are what the future made
of.
Bapak juga pandai menulis. Cobalah ajak pembaca untuk memahami
konteks dan substansi kalimat Pak Ahok. Saya tak suka denga kata-kata
itu namun harus diakui bahwa sebagian orang biasa melontarkannya sambil
ketawa-ketawa. Sementara, belum pernah ada cerita tentang uang dijarah
dan pemiliknya bisa ketawa-ketawa. Jadi, lebih baik Bapak meributkan 40
trilyun uang rakyat yang dijarah hanya dalam 3 tahunan. Mintalah mereka
berhenti menjarah, baru lalu urus pilihan kata Pak Ahok. Minimal,
tunjukkanlah kepedulian kita terhadap cara bicara Pak Ahok seraya juga
mengutuk kejahatan lawan-lawannya.
Pak, kita sama-sama minoritas namun mari kita keluar dari golongan
silent majority. Kita hidup bukan hanya untuk hari ini, kita punya
tanggung jawab mempersiapkan hidup generasi selanjutnya. Ibu saya
taruhan nyawa agar anak cucunya lepas dari cengkraman Orde Baru. Saya
kini bebas mengkritik pemimpin tanpa takut diculik. Kebebasan saya
dibangun di atas butiran keringat yang mengalir saat Ibu kelelahan
serta di atas darah pejuang lainnya. Kita mah enak Pak. Tak perlu
taruhan apa-apa untuk membuat generasi sesudah kita terbiasa mendukung
pemimpin tanpa ada pertimbangan berbau SARA. Cukup dukung Pak Ahok.
Kalau dompet kita dicuri dan teman kita memaki perampoknya, siapa yang
akan kita dukung ? Kalau jawabannya ‘Saya dukung si perampok, karena
teman saya neriakin perampoknya dengan kata-kata yang sangat
menyinggung perasaan, kasar banget”….Yah, silahkan dukung DPRD deh.
Pak Jaya, marilah kita tersinggung saat melihat ketidakadilan, mari kita
marah ketika melihat rakyat ditindas, ayo kita kecam mereka yang
menjarah. Berharap Pak Ahok bisa mengurangi ngamuknya saat berhadapan
dengan koruptor ? Berharap Pak Ahok bisa rela berkata manis kepada
mereka yang piawai menjarah dengan santun ? Haduhhh…Percuma. Ahok gitu
loh, kayak ngga tau die aje:-).
1 April 2015
Meicky Shoreamanis Panggabean
Meicky Shoreamanis Panggabean
Sumber: Kompasiana
Baca juga:
Surat Terbuka untuk Koh Jaya Suprana
Bacaan lainnya:
Andai Jaya Suprana Menulis Di Kompasiana
Kaskus
Apa tanggapan Anda???
Langganan:
Postingan (Atom)