Banyak teori yang kita pelajari di sekolah, ternyata ketika berada di lapangan (kenyataan), hal tersebut tidak berlaku. Anda pernah mengalami hal ini? Penulis yakin jawabnya: PERNAH atau bahkan SERING!
Hal yang paling sering terjadi adalah urusan tilang ketika melanggar peraturan lalu lintas. Itu konsekuensi yang wajar. Anda melanggar, Anda ditilang. Tapi mungkin Anda pernah merasakan hal yang tidak mengenakkan? Anda ditilang, tapi "orang" lain melakukan hal sama (sebelum atau setelah Anda, di tempat yang sama), tidak ditilang?
Pasal 27, ayat 1 (UUD 1945): "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahannya, wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."
Itu dasar hukum (teorinya). Tapi praktiknya sering tidak sejalan.
Anda pernah memperhatikan stiker yang tertempel di nomor polisi motor atau mobil? Di sana ada aneka stiker: Keluarga Polisi, Keluarga TNI, Kopassus,... bahkan penulis pernah menemukan Keluarga Istana.
Letak stiker tidak hanya di plat nomor polisi tapi juga di bagian lain seperti kaca depan atau kaca belakang mobil.
Apa sebenarnya fungsi stiker tersebut? Bukankah pasal 27 ayat 1 sudah menjelaskan kedudukan kita semua sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan? Lantas untuk apa stiker seperti itu ditempel?
Apakah sekedar gagah-gagahan biar sesama pengendara lain takut atau memang stiker tersebut mampu mengubah bunyi pasal 27 ayat 1 tersebut bila pengendaranya melanggar aturan lalu lintas?
Entahlah... Silakan Anda yang menjawabnya (boleh tulis pendapat Anda di kolom komentar di bawah ini).
NB:
Terkadang bukan hanya stiker, tapi tanda pangkat kepolisian atau kesatuan lain digantung di bagian depan mobil.
Jika mobil yang melanggar rambu itu adalah resmi mobil dinas (plat merah) dan dalam rangka tugas (pemadam kebakaran, patroli polisi, dll), kita bisa maklum. Tapi jika mobil pribadi (plat hitam), entah memang benar milik aparat atau milik saudara aparat, atau milik orang awam, patut dipertanyakan maksud penempelan stiker dan pemasangan atribut kedinasan yang tidak pada tempatnya.
Jika hukum memang tidak pandang bulu seperti halnya bunyi pasal 27 ayat 1, justru kendaraan yang berstiker atau ber-atribut kedinasan yang tidak pada tempatnya, justru bila melanggar, akan kena pasal yang berlapis.
Pertama melanggar peraturan lalu lintas.
Kedua pemasangan atribut yang tidak pada tempatnya.
Ketiga (jika orang awam) kena lagi (penyalahgunaan).
Keempat (jika aparat), sudah tahu aturan kok justru melanggar.