01. Persetujuan Pasangan
Hidup kita dipenuhi pilihan-pilihan. Umumnya, ketika memutuskan untuk memilih A, kita akan kehilangan (sebagian) yang kita inginkan pada alternatif B. Itu konsekuensi dari sebuah keputusan.
Tak ada yang harus disesalkan, karena itu memang pilihan kita. Tidak memilih pun termasuk sebuah pilihan. Dan harus kita sadari, tidak semua yang kita inginkan bisa kita dapatkan di dunia ini. Inilah hidup.
Saat memutuskan menikah, sebagian keinginan untuk menjalankan hobby penulis juga otomatis dikurangi. Begitu pula Linda, istri penulis. Keinginan mengoleksi boneka, kebiasaan men-traktir teman, dan beberapa hal yang bebas dilakukan saat masih single, sekarang harus sedikit ditahan. Sekarang, ada banyak kebutuhan lain yang harus didahulukan.
Sebelum memutuskan sesuatu, Linda selalu meminta persetujuan penulis. Itu salah satu sikap Linda yang penulis kagumi. Sikap menghargai pasangan hidup. Begitu pula yang penulis lakukan.
Pelajaran: Keperluan bersama sebaiknya diputuskan bersama.
***********
02. Berbagi Kebahagiaan
Anda pernah menyaksikan tayangan reality show “Tolooong?” Tayangan ini selalu membuat penulis terharu. Tanpa bisa dibendung, air mata mengalir, atau setidaknya mata berkaca-kaca. Di zaman yang serbasulit, masih ada orang yang ringan tangan membantu sesamanya dengan tulus.
Kita semua yakin, apa yang kita tanam, itu pula yang kelak kita petik. Dalam tayangan tadi, kebaikan yang dilakukan langsung mendapatkan buahnya. Mungkin Anda pernah melakukan kebaikan, namun terkadang buahnya tidak semanis dalam tayangan tersebut. Jangan berkecil hati, berbuahnya pohon yang kita tanam hanyalah masalah waktu.
Penulis pernah melakukan show sulap di sebuah panti wredha, bersama teman-teman dari organisasi muda Buddhis. Selesai show, penulis menyaksikan mata mereka yang berkaca-kaca. Terharu dan bahagia. Perasaan yang sama juga penulis rasakan. Bagi penulis, ini juga buah yang langsung dipetik.
Pelajaran: Benar kata pepatah “Membahagiakan orang lain melahirkan kebahagiaan tersendiri.”
***********
03. Minta Maaf
“Dedek, Koko minta maaf ya, tadi tidak sengaja main pedang kena Dedek” kata Anathapindika, putra sulung penulis. Tidak mudah memang untuk membiasakan Dhika (si sulung) untuk meminta maaf kepada Ray, adiknya.
Kepada orang yang lebih tua pun terkadang kita berat untuk minta maaf. Seolah minta maaf adalah perbuatan yang memalukan. Apalagi harus minta maaf kepada yang lebih muda. “Masa’ orangtua harus minta maaf pada anak kita sendiri?” begitu kata ego kita. Di sinilah ujian terberat ke-ego-an kita.
Kita akan lebih mudah minta maaf pada ayah atau ibu kita (orang yang lebih tua), tapi untuk minta maaf kepada orang yang kita pandang lebih rendah (entah dari segi umur, jabatan, pendidikan,...), kebanyakan kita merasa berat untuk melakukannya.
Tapi percayalah, kita akan punya “nilai lebih” jika mampu melakukan hal yang tidak banyak orang lain mampu melakukannya. Mampukah kita???
Pelajaran: Jangan pandang status, siapa yang salah, selayaknya dia-lah yang harus terlebih dulu minta maaf.
***********
04. Minta Ijin
“Pa, dedek mau es krim, boleh? Pa, dedek mau main odong-odong, boleh?” begitu suara polos si kecil Revata (Ray, putra kedua penulis) setiap minta sesuatu.
Bagi Ray, minta ijin hanya sebatas formalitas saja. Karena hampir pasti akan kami penuhi, sejauh permintaan itu masih dalam batas wajar. Soalnya penolakan kami sering dijawab dengan tangisan. Kami maklum karena Ray masih kecil. Tapi terkadang permintaannya bisa kami alihkan bila mood-nya sedang bagus.
Minta ijin, adalah hal sederhana yang sering terlupakan. Sering kali kita bukan minta ijin, hanya sekedar pemberitahuan.
“Eh... tadi saya lihat di kulkas ada es, pas saya haus banget. Saya sudah minum setengah gelas.” Dikasih ijin terima kasih, tidak kasih ijin ya terserah. Toh... sudah kita lakukan.
Sebagai Buddhis, tindakan ini melanggar Pancasila sila ke-2. “Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami” (Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan).
Pelajaran: Ayo biasakan minta ijin dulu.
***********
05. Cari Alamat
Mama penulis (almarhumah) adalah orang yang tangguh dan pantang menyerah. Waktu masih kecil (SD), penulis seringkali ikut beliau saat mencari alamat teman lamanya. Setahu penulis, usaha beliau selalu sukses. Meski minim data, dengan modal tidak malu bertanya, akhirnya rumah teman lama Mama berhasil ditemukan.
Tak malu bertanya dan pantang menyerah, adalah kunci keberhasilan. Dan jangan lupa, waktu bertanya haruslah dengan cara yang sopan. Tak peduli siapa: petugas keamanan, pemilik warung, ibu-ibu, penarik becak, sampai anak kecil pun ditanya.
Intinya: tanya pada siapa saja yang dirasa bisa membantu kita dan tak cepat putus asa. Tahu atau tidak, tetap terima kasih harus terucap dari mulut kita.
Untuk menemukan 1 alamat yang dicari, kadang lebih dari 10 orang yang kami tanyai. Bayangkan, untuk “urusan kecil” seperti ini saja, kita perlu bantuan 10 orang lebih.
Pelajaran: Fakta menunjukkan bahwa kita adalah makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain.
Posting Komentar