Padahal, omzet penjualan sayur Chen Shu-chu tidak jauh beda dengan pedagang-pedagang lainnya. Namun ada yang membedakan Chen Shu-chu dengan pedagang lain.
”Ada dua tujuan ketika saya berjualan. Menabung, kemudian mendermakan uang itu,” kata Chen Shu-chu, pedagang sayur di pasar di Taitung, Taiwan. Itulah yang membedakan Chen Shu-chu dengan pedagang-pedagang lainnya.
Dan, karena kedermawanannya itu Chen Shu-chu masuk dalam daftar 100 Orang Berpengaruh versi Majalah Times tahun 2010, katagori pahlawan. Selain itu ia juga menjadi salah satu Hero of Philanthropy versi Forbes Asia.
Padahal dengan rendah hati, Shu-chu selalu berujar bahwa apa yang dilakukannya bukanlah sesuatu yang istimewa. ”Ini sesuatu yang sederhana dan setiap orang bisa melakukannya. Di luar sana banyak orang yang melakukan sesuatu lebih hebat dari saya,” katanya merendah.
Tapi, jika ada seseorang yang bisa menyumbang lebih besar dari penghasilannya, hanya sedikit orangnya dan Shu-chu salah satunya. Hidupnya didedikasikan untuk membantu sesama.
Rp 3 M sudah ia sumbangkan kepada sesama. Sekitar Rp 300 juta Shu-chu sumbangkan untuk yayasan anak-anak pada 2004.
Rp 1,3 M didonasikan untuk membangun perpustakaan di sekolah tempat dia bersekolah dulu. Shu-chu juga memberikan Rp 280 juta untuk yayasan anak yatim piatu Kids Alive International dan tambahan Rp 100 juta untuk mengasuh tiga anak di yayasan itu pada 2006.
Tahun ini Shu-chu menyiapkan dana sekitar Rp 2,9 M untuk membantu pendidikan dan kesehatan masyarakat miskin. Nah, jika itu yang ia lakukan, siapa yang bisa menandingi?
Lantas, apa yang memotivasi Shu-chu menyumbang secara rutin dengan jumlah yang sangat besar itu? ”Dulu saya pernah dibantu, sekarang giliran saya membantu,” katanya.
Tapi ada satu peristiwa yang menjadi awal Shu-chu menyumbang. ”Tahun 1994, ayah saya meninggal dan beliau mewariskan uang sekitar Rp 250 juta dari asuransi jiwa. Tapi tidak sepeser pun saya menggunakan uang tersebut, karena itu memang bukan uang saya,” tuturnya.
Karenanya agar uang itu benar-benar bermanfaat, Shu-chu menyumbangkan keseluruhannya ke Fo Guang Shan Monastery sebuah organisasi amal masyarakat Buddha.
Dari jumlah itu Shu-chu menambahkan Rp 34 juta dari tabungannya sebagai bakti kepada ayah yang sudah membesarkannya. ”Dengan uang itu saya berdoa agar arwah saya mendapat tempat yang layak di alam baka,” tambahnya.
Shu-chu sendiri terlahir di keluarga miskin. Ayah dan ibunya hanya penjual sayur di pasar. Ia memiliki enam saudara yang hidupnya sangat bergantung dari hasil jualan sayur itu.
”Kami benar-benar miskin ketika saya kecil. Saya ingat adik saya sakit, tapi kami tidak bisa membawanya ke rumah sakit karena kami sama sekali tidak punya uang,” kenangnya.
Untunglah guru-guru di sekolahnya menggalang dana untuk adik Shu-chu. Hingga akhirnya si adik berhasil sembuh. Sejak saat itu Shu-chu berjanji dalam hati, kelak ia akan membantu sesamanya jika sudah bisa mencari uang sendiri.
Ujian yang diterima Shu-chu ternyata belum berhenti. Ketika berusia 13 tahun, sang ibu meninggal dunia. Sebagai anak tertua, Shu-chu merasa terpanggil untuk membantu ayahnya berjualan.
Ia pun harus berhenti sekolah dan total mengabdikan hidupnya untuk mencari nafkah. Dari penghasilannya setiap hari, Shu-chu selalu menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabung.
Hal itu dilakukan setiap hari. Hingga pada jumlah tertentu, Shu-chu mendonasikan kepada anak-anak yatim piatu.
Memang tidak setiap tahun Shu-chu menyumbang, tapi setiap hari dia konsisten menabung. Paling tidak Rp 30 ribu ia sisihkan untuk ditabung.
Demi tabungan Rp 30 ribu setiap hari itu, Shu-chu harus bekerja selama 18 jam sehari. ”Saya bangun jam tiga pagi setiap harinya, kemudian mengambil sayuran dari pasar induk dan dibawa ke pasar kecil tempat saya berjualan,” tuturnya.
Mulai pukul 04.00 hingga 20.00, Shu-chu bekerja di pasar. Ia hanya makan sekali sehari agar bisa menyisihkan uang lebih banyak.
Hal itu dilakukan setiap hari tanpa lelah dan mengeluh selama 46 tahun. ”Memang melelahkan dan kadang membosankan. Tapi, saya berusaha melakukannya dengan ikhlas karena saya memiliki niat untuk menyumbang lebih banyak lagi dari penghasilan saya setiap harinya,” kata Shu-chu.
Rela Tidak Menikah
Demi mendapatkan uang yang banyak dan tanggung jawab terhadap adik-adiknya, banyak yang harus dikorbankan Shu-chu. Selain sekolah, Shu-chu juga rela tidak menikah.
Padahal ketika berusia 20-an tahun, Shu-chu nyaris mendapat kesempatan itu. ”Iya, saya memang tidak menikah, tapi sempat hampir. Waktu itu usia saya baru 20-an tahun, kemudian ayah saya mendekati saya dan menanyakan mana yang lebih penting, kehidupan pribadi saya atau saudara-saudara saya?” kenang Shu-chu.
Shu-chu pun berpikir ulang, kemudian memutuskan untuk tidak menikah. ”Saya menyadari apa gunanya hidup bahagia sementara saudara-saudara saya menderita. Toh itu juga tidak akan membuat saya bahagia,” katanya.
Dengan ikhlas Shu-chu pun tetap melajang hingga usia hampir enam dasawarsa ini. ”Kebahagiaan keluarga saya lebih penting. Setelah mereka bahagia baru memikirkan kebahagiaan saya sendiri,” imbuhnya.
Dengan melajang, Shu-chu juga merasa lebih fokus dalam menjalankan misinya. ”Andaikan saya berkeluarga, tentu saya tidak bisa berdonasi lebih banyak. Karena tentunya banyak kebutuhan yang harus saya penuhi,” kata Shu-chu lagi.
Lantas, adakah saran atau nasihat agar orang lain bersedia mendonasikan uangnya untuk orang lain? ”Aduh, setiap orang kan memiliki prinsip sendiri-sendiri. Saya berkomitmen beramal karena dulu saya pernah dibantu. Kemiskinan itu sangat mengerikan, karena keluarga saya sangat miskin dulu. Jadi, saya ingin mengurangi kemiskinan sesuai kemampuan saya,” sarannya.
Menurut Shu-chu, setiap orang juga bisa beramal. Tidak perlu menjadi kaya untuk bisa melakukannya.
”Beramal itu membahagiakan. Ada perasaan berbeda ketika bisa membuat orang lain tertawa. Wah, benar-benar tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Karenanya saya akan terus beramal,” tegasnya.
”Bagi saya, uang itu akan bermakna jika dimanfaatkan mereka yang membutuhkan,” tambahnya. *bbs/ ade
Chen Shu-Chu saat jamuan makan malam Time 100 tahun 2010.
Posting Komentar