Tulisan ini berbeda dengan teori yang ditulis di buku-buku dan seminar-seminar. Seperti menjadikan rumah yang diincar sebagai spot iklan atau disewakan kembali, dan lain-lain. Ini hanya pengamatan penulis tentang fenomena ini di sekitar kita. Cara yang tidak lazim, namun memang demikian yang terjadi.
Kalau tidak ada teguran atau larangan, itu artinya diperbolehkan. Itu yang penulis tangkap dari fenomena di masyarakat kita.
Mulanya, pedagang yang ingin memiliki "kios" sampai "ruko" biasanya memulai dari menumpang persis di depan toko, atau di kaki lima/ trotoar, di atas got/ saluran air, di depan pabrik, di gang yang lumayan lebar, atau di sela 2 rumah (biasanya ada sungai kecil atau saluran air di antara kedua rumah tersebut).
Pertama, mungkin etalase kecil. Entah apa saja dagangan seperti pulsa atau rokok. Lokasi "kios" ini biasanya di antara 2 toko/ 2 rumah atau tembok pembatas rumah satu dengan yang satunya.
Biasanya tidak terlalu dipermasalahkan, apalagi Anda bisa berbaik-baik dengan pemilik toko/ rumah. Sapu-lah bagian depan toko setelah selesai berjualan. Etalase atau gerobak untuk jualan, umumnya dibawa pulang pada sore atau malam.
Proses selanjutnya, lama-lama capek dong bawa balik etalase atau gerobak. Biarkan saja di depan toko, rantai ke tiang listrik agar aman. Jika tidak ada komplain dari pemilik toko, itu artinya diperbolehkan. Perluasan usaha adalah langkah selanjutnya. Semula hanya rokok, lalu bertambah minuman dan tambah etalase lagi. Setelah tidak ada reaksi lagi, biasanya dibuatlah kios semi permanen dengan papan. Tidak ada komplain juga, gerobak akan berubah jadi kios dengan menggunakan semen dan batu bata. Jadilah kios sekaligus rumah. Lokasinya bisa bermacam-macam: di depan toko, di depan rumah, di antara 2 rumah, di atas saluran air, di depan tembok pabrik, di gang, dan lain-lain.
Silakan Anda lihat sekitar Anda. Semula Anda bisa berjalan di trotoar, kini Anda harus berjalan di jalan raya. Semula gang bisa dilalui mobil, sekarang tinggal motor yang bisa lewat karena ada bangunan kios atau rumah yang mengurangi lebar gang tersebut.
Penulis menemukan di beberapa kompleks perumahan, ada kios/ rumah yang berdiri di sela-sela rumah atau ruko atau di atas saluran air di sela-sela 2 rumah atau ruko. Bahkan sebuah gang yang sudah sempit pun (2 motor berpapasan sudah nyaris saling senggol, tetap dibangun kios tepat di mulut gang tersebut). Jadi kalau ada 2 motor akan lewat, satu harus mengalah menunggu di dalam gang, biarkan yang akan masuk gang dulu, setelah lewati kios dan agak lebar, barulah motor yang akan keluar dari gang bisa lewat.
Kalau sudah jadi permanen? Aman deh... Ingin diminta pindah atau dibongkar? Bukan hal yang mudah, pasti rusuh. Kalau pun mereka mau pindah, pemilik rumah/ ruko harus Anda membayar ganti rugi. Lho??? Dia menumpang sekian lama tidak bayar sewa, sekarang diminta pindah, pemilik rumah/ ruko harus bayar ganti rugi? Ya, seperti itulah kenyataannya.
Yang ingin punya rumah/ ruko secara mudah, inilah jalan yang selalu terjadi di mana saja. Anda pemilik rumah/ ruko atau penghuni rumah di dalam gang tak ingin akses Anda terganggu? Sejak awal jangan berikan kesempatan itu. Hanya itu solusinya.
Anda ingin memiliki rumah/ ruko dengan lokasi strategis dengan biaya minim? Inilah cara yang terjadi selama ini. Meski tanpa IMB, dan tak punya surat tanah, bukan masalah. Aliran listrik pun bisa Anda dapatkan. Caranya? Bayar bulanan pada pemilik rumah/ ruko di sekitar Anda. Atau bisa gratis sekalian, tinggal "cantol" saja dari kabel listrik di atas Anda.
Masalah air, penulis kurang begitu tahu dari aman asalnya. Tapi yang jelas, di depan rumah/ kios tersebut, juga ada jemuran pakaian (artinya pemiliknya bisa mencuci pakaian).
Jika Anda berjualan dengan gerobak atau etalase, Anda akan dikenakan retribusi baik yang resmi ataupun tidak resmi. Jika sudah permanen? Tampaknya sudah bebas. PBB tidak kena karena Anda tak memiliki sertifikat atas kepemilikan tanah dan bangunan. Karcis retribusi pun tampaknya tidak. Tapi kurang tahu jika memang ada oknum yang memungut "pajak" untuk bangunan sejenis ini.
Catatan:
Artikel ini ditulis dengan bahasa ironi (Anda jangan salah duga). Penulis jadi tertawa membaca ada yang berkomentar (via email) bahwa penulis mengajarkan hal yang salah. Sama sekali keliru. Penulis tidak mengajarkan Anda memiliki rumah atau ruko dengan cara ini, hanya "memotret" dan menuliskan apa yang terjadi dalam kehidupan nyata.
Anda lihat saja kasus Waduk Pluit (waduk, tanah milik negara) dijadikan rumah bahkan disewakan. Pas diminta pindah (diberi tempat di rumah susun), masih menolak dan minta ganti rugi. Kuasai tanah negara sekian lama, tidak bayar sewa (mungkin juga PBB), malah dapat penghasilan (sewakan rumah tersebut, mungkin juga tidak bayar pajak penghasilan), pas diminta pindah malah menuntut ganti rugi. Bagaimana logika berpikirnya??? Inilah kejadian nyata yang penulis "potret" dan sajikan di sini dalam bahasa ironi.
Bayangkan saja jika Anda punya tanah (masih dibiarkan kosong karena belum punya uang untuk membangun dan lama tak Anda kunjungi), eh... pas Anda ke sana, sudah ada rumah dan disewakan. Pas Anda akan ambil alih (bongkar dan bangun sesuai keinginan), penyewa dan yang merasa memiliki malah marah dan menuntut Anda. Anda diharuskan membayar bangunan yang akan dirobohkan (mengganti kerugian mereka, dan lain-lain). Bukankah yang pantas marah adalah Anda, mengapa mereka berani memakai tanah Anda, tidak izin, tidak bayar sewa, dan seterusnya selama sekian tahun. Anda ingin robohkan dan bersihkan pun perlu uang banyak (bayar tukang untuk robohkan, ongkos buang puing-puing, habis waktu untuk membereskannya). Sangat tidak logis, tapi inilah yang sering terjadi.
Konon kasus rumah dinas juga sering sama. Namanya rumah dinas adalah rumah yang boleh ditempati saat masih berdinas. Tapi seringnya sudah pensiun atau bahkan sang pejabat sudah meninggal pun, keluarga masih menempati dan merasa berhak (memiliki) rumah dinas tersebut.
Makasih infonya gan..
Sama-sama...
Salam,
Hendry F.Jan
www.rekor.blogspot.com