Kelirumologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang oleh masyarakat umum terlanjur dianggap benar, tetapi sebenarnya keliru. Kelirumologi menurut Wikipedia, silakan klik: Kelirumologi
Kajian Kelirumologi
Namanya saja sudah begitu sulit, hingga rawan keliru tulis apalagi diingat, maka tak heran apabila Hendry Filcozwei Jan, anak muda Bandung ini mengidap bakat alami untuk menjadi seorang kelirumolog ulung.
Kelirumolog jeli ini langsung mengkoreksi cara menulis Abad yang begitu sering keliru, termasuk di serial "Kaleidoskopi Kelirumologi." Yang benar adalah Abad ke-20 atau Abad XX, bukan Abad 20 atau Abad ke-XX! Bukan main!
Lalu kelirumolog muda yang juga pencipta rekor dunia menyusun mata uang itu menemukan segudang kekeliruan cetak dalam serial buku "Kaleidoskopi Kelirumologi" yang memang tidak kebal keliru itu! Koreksi-koreksi ulung ini akan dimanfaatkan dalam cetak ulang Kaleidoskopi Kelirumologi.
Namun yang menarik, Hendry juga asyik mengembangkan kekeliruan upaya meng-Indonesiasi istilah Bank menjadi Bang, yang sebenarnya malah benar dalam konteks idiom bahasa Indonesia yang benar itu. Di samping risiko pak Ciputra protes akibat Bank Jaya menjadi Bang Jaya yang dikuatirkan kepemilikannya juga berganti tangan sesuai penggantian nama, rasanya Bank Ekspor Impor yang akronimnya tetap Bank Exim (dari paduan kata asing Export dan Import) juga menjadi kurang senonoh apabila dipaksakan di-Indonesiasi secara konsekuen. Akibat singkatan Bank Ekspor Impor akan terpaksa menjadi Bank Eksim, alias penderita suatu jenis sakit kulit yang menjengkelkan!
Jadi ketimbang benar tapi terkesan sakit, lebih baik keliru namun terkesan sehat!
Dikutip dari serial buku Kaleidoskopi Kelirumologi jilid 6, hal. 87
Dengan dimuatnya kajian kelirumologis tentang usaha pengindonesiaan kata asing, Hendry menerima sertifikat sebagai bentuk pengakuan dari Pusat Studi Kelirumologi pimpinan Dr. Jaya Suprana sebagai kelirumolog bidang bahasa.
Beberapa kali Hendry menulis tentang kelirumologi. Salah satunya berjudul “Bahasa daripada Indonesia” yang dimuat di harian Galamedia (Bandung), Senin, 30 Oktober 2000, hal. 6
Apa itu kelirumologi? Oleh penggagasnya Dr. Jaya Suprana, kelirumologi adalah ilmu atau boleh juga dibilang semangat mempelajari segala sesuatu yang telah dianggap benar oleh masyarakat, padahal sebenarnya keliru. Kekeliruan ini ternyata terjadi di segala bidang kehidupan manusia. Dalam suasana serbakeliru ini, sebenarnya istilah kelirumologi sendiri juga keliru, ujar Om Jaya, yang dikenal sebagai Bapak Kelirumologi ini. Yang benar adalah kelirulogi, namun demi "selaras" dengan suasana serbakeliru, jadilah istilah ilmu ini menjadi kelirumologi dan para "penemu" kekeliruan yang telah diakui oleh Pusat Studi Kelirumologi (mohon nama lembaga ini jangan disingkat) yang berpusat di Semarang, berhak menyandang gelar sebagai kelirumolog.
Contoh yang paling sering penulis paparkan tentang kelirumologi adalah mengenai "samurai" (kiriman seorang pembaca yang dimuat di buku Kaleidoskopi Kelirumologi karya Dr. Jaya Suprana). Apa yang terlintas di benak Anda saat mendengar kata "samurai"? Penulis yakin, sebagian besar akan mengatakan "pedang khas Jepang." Kalau Anda juga berpandangan demikian, inilah salah satu bukti kekeliruan yang terjadi di masyarakat kita. Kita sudah terlanjur menganggap "samurai" sebagai "pedang khas Jepang." Padahal yang benar, "samurai" adalah pendekar Jepang, sedangkan pedangnya yang selama ini kita yakini sebagai "samurai" sebenarnya bernama "katana"!
Dalam satu kajian lain (yang belum dimuat), penulis mengatakan "Om Jaya tidak perlu heran dengan banyaknya kajian kelirumologi yang dikirimkan pembaca. Mengapa? Sebagian besar masyarakat Indonesia mengidap bakat alami sebagai kelirumolog (salah dalam menyebut nama negaranya sendiri). Anda tidak percaya? Coba Anda perhatikan pengucapan kata "Indonesia" mulai dari percakapan sehari-hari sampai menyanyikan lagu "Indonesia Raya." Coba Anda ucapkan kata "Indonesia" dan "India" sambil memperhatikan cermin. Saat mengucapkan kata "Indonesia" mulut kita lebih condong mengeluarkan lafal huruf "E" daripada "I" pada awal kata. Bandingkan saat kita mengucapkan kata "India." Ya 'kan?
Kita semua sepakat 1.001 sebagai bilangan yang dipakai untuk menyatakan jumlah yang sangat banyak (tanpa mempedulikan jumlah sebenarnya). Jadi tidak perlu protes seandainya Anda membeli buku berjudul “1.001 Jurus Jitu Mencari Jodoh” tapi Anda tidak menemukan 1.001 jurus seperti yang tertulis di sampul buku.
Bulan Oktober adalah bulan bahasa. Ini sedikit catatan ringan penulis tentang penggunaan bahasa Indonesia.
Anda pernah ke Semarang? Anda tentu tahu kawasan Simpang Lima. Tak usah jauh-jauh ke sana, di Bandung juga ada. Namun orang Bandung punya sebutan yang berbeda, Prapatan Lima! Ini jelas penggunaan kata yang tidak tepat. Kata prapatan atau perempatan artinya jalan simpang empat (KBBI, 1997, hal. 262). Mungkin kata “prapatan” sudah terlanjur dianggap sama dengan kata “simpang”? Wah… jangan-jangan di Bandung juga ada prapatan tiga.
Hal seperti inilah yang dipelajari dalam kelirumologi (ilmu yang mempelajari hal-hal yang telah dianggap benar oleh masyarakat umum, tapi sebenarnya itu keliru). Tidak mudah untuk mengubah kebiasaan berbahasa yang sudah terlanjur memasyarakat. Kita menggunakan kata atau kalimat yang benar, justru kita yang dianggap keliru.
Penulis pernah membaca sticker di angkot berisi iklan obat. Di sana tertulis: “Bila tidak terbukti, barang kembali.” Anda tertarik dengan jaminan di iklan tersebut? Hati-hati, di sana tidak ditulis uang Anda akan dikembalikan. Kalau Anda tidak puas, barang boleh dikembalikan (uangnya belum tentu).
Banyak iklan yang bahasanya keliru, atau mungkin sengaja dikelirukan agar terdengar menarik?
Anda tentu pernah melihat iklan undian yang diselenggarakan sebuah bank swasta di televisi. Di akhir iklan seorang anak kecil berujar “400 gitu lho…” Kita lihat di iklan tersebut: awalnya undian itu berhadiah 300 mobil, sekarang 400 mobil. Coba Anda perhatikan kalimatnya “… Jangan heran, hadiah mobilnya tambah 400.”
Padahal seharusnya “… Jangan heran, hadiah mobilnya tambah 100” atau “… Jangan heran, hadiah mobilnya jadi 400.”
Masih dari tayangan di televisi. Anda pernah melihat acara Uang Kaget? Di awal acara, Anda akan melihat Helmy Yahya, sang game master yang juga presenter-nya. Ini sepenggal kalimatnya “… Saya akan berjalan ke mana angin berjalan…” padahal seperti kita ketahui, angin biasanya bertiup atau berhembus, bukan berjalan.
Lain lagi pengalaman penulis. Saat seorang rekan penulis ingin merokok, dia bilang pinjam “bengsin.” Penulis sempat bingung, tapi akhirnya tahu, ternyata korek api (bukan korek api batangan), entah itu berbahan bakar bensin atau gas, di Bandung disebut “bengsin.”
Penulis harap Anda juga tidak protes dengan judul tulisan ini. Jangan protes karena kekeliruan bahasa yang dibahas tidak sampai seribu satu, juga penulisan judul di atas seharusnya “1.001” bukan “1001” (seharusnya ada tanda titik setelah angka 1 yang pertama). Bukan penulis yang keliru, bukan pula editor majalah ini yang keliru. Ini memang sengaja dikelirukan, semua demi menghasilkan angka yang unik, dibaca dari sini atau dari sebelah sana tetap seribu satu!
* Penulis adalah peminat bahasa Indonesia dan kelirumolog bidang bahasa, tinggal di Bandung.
Dikutip dari majalah Berita Vimala Dharma (BVD) edisi No. 86/BVD/2005 Okt 2005 terbitan PVVD (Pemuda Vihara Vimala Dharma), Bandung
Tulisan ini penulis dapatkan dari sticker yang menempel di pintu masuk sebuah toko pakaian di mall. Penulis coba sajikan di sini (tidak persis sih...) tapi intinya sama. Mampukah Anda menyebutkan semua warna tulisan di bawah ini tanpa kesalahan? INGAT Anda harus menyebutkan warna tulisan, bukan apa yang terbaca dari tulisan di bawah ini.
MERAH UNGU HITAM
PUTIH COKLAT KUNING
MERAH HITAM PUTIH
COKLAT HIJAU HITAM
PUTIH UNGU BIRU
Posting Komentar