TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Modal besar 
bisa jadi salah satu syarat menjadi anggota legislatif. Harga satu kursi
 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ternyata sangat mahal, 
kisarannya  Rp 1,18 miliar hingga Rp 4,6 miliar.
Harga itu 
didapat berdasarkan penelitian dari Lembaga Policy Research Network 
(PRN) bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas 
Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) yang menghitung biaya komponen
 sebagai investasi politik. Komponen-komponen yang dihitung adalah 
alokasi untuk percetakan, tekstil, transportasi dan komunikasi, jasa 
komunikasi media, serta pengerahan massa.
Peneliti LPEM FEUI, 
Teguh Dartanto, mengatakan harga sebesar itu dianggap wajar, karena akan
 tertutupi dari pemasukan bila sudah menjadi anggota DPR.
"Harga 
itu wajar, tetapi ini bisa jadi berbahaya juga nantinya. Jika para caleg
 sudah terpilih menjadi anggota dewan, mereka bisa saja berusaha untuk 
mengembalikan biaya kampanye yang sudah mereka keluarkan,” ujarnya.
Kepala
 Kajian Kemiskinan Dan Pembangunan LPEM FEUI ini menambahkan, jika ada 
caleg yang mengeluarkan dana kampanye di atas Rp 4,6 miliar sudah pasti 
akan berusaha balik modal dengan cara apa pun. 
“Ada caleg yang 
mengeluarkan anggaran diatas Rp 6 miliar, padahal dengan dana sebesar 
itu, belum tentu juga menjamin bahwa caleg akan terpilih. Ini menjadi 
tidak rasional, karena dari mana dia akan bisa menutup pengeluaran saat 
kampanye. Ini mempunyai kemungkinan saat dia terpilih sebagai anggota 
DPR menjadi koruptor. Ini harus dicurigai,” katanya.
Teguh menambahkan, untuk pemilu ke depan, sebaiknya dana kampanye pemilu para caleg dibatasi sehingga mudah pengawasannya. 
“Untuk
 pemilu akan datang dana kampanye sebaiknya dibatasi. Ini akan 
menciptakan etika politik yang sehat, mudahnya pengawasan dan 
memperkecil kemungkinan anggota DPR korupsi untuk mengembalikann dana 
kampanye,” paparnya.
Caleg DPR RI Partai Golkar dari Dapil 1 DKI
 Jakarta, Muhammad Fahreza Sinambela mengatakan hingga selesai kampanye 
diperkirakan dana yang akan dikeluarkan hingga Rp 600 juta untuk 
kampanye di 10 kecamatan. 
“Sampai sekarang sudah keluar sekitar 
Rp 370 juta, diperkirakan hingga selesai pemilu sekitar Rp 600 juta. 
Dana tersebut digunakan untuk belanja atribut seperti stiker, banner, 
kartu nama, sosialisasi dengan warga,” ujarnya.
Reza 
menambahkan, karena besarnya dana kampanye dirasakan perlu adanya uatu 
peraturan khusus untuk mengatur soal permodalan kampanye untuk caleg 
sehingga bisa menjamin transparansi dana dan juga sebagai tolok ukur 
yang tepat.
"Sangat diperlukan adanya batasan dana kampanye para 
caleg, supaya persaingan fair. Misalnya dana caleg Rp 1 miliar, maka 
semua partai akan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya, apa yang 
dibutuhkan bisa dibeli dan yang tidak dibutuhkan bisa dihindari," 
ungkapnya.
Penulis tidak habis pikir, dengan modal sebesar itu, para caleg berani promosi akan jujur (tidak korupsi). Apa benar dengan hanya mengandalkan uang yang sah (gaji dan tunjangan) dan tidak menerima hal yang tidak sah bisa balik modal?
Apakah mungkin setelah gaji dan tunjangan dikurangi biaya hidup diri sendiri, anak, istri, dan lain-lain selama 5 tahun (masa jabatan), mampu menabung minimal Rp 1,18 miliar? Kalau mampu, itu baru balik modal. Selama 5 tahun "kerja keras" jadi anggota dewan memperjuangkan kepentingan rakyat, tidak dapat apa-apa. Hanya balik modal saja (artinya "kerja keras" selama 5 tahun hanya mampu bertahan hidup dan membiayai hidup anak istri) sama sekali tidak punya tabungan. 
Kalau logika berpikir penulis, sayang sekali menghabiskan sekian banyak uang dan tenaga jika hanya balik modal (harap maklum, penulis tidak tahu berapa semua gaji dan tunjangan resmi anggota dewan).
Mungkin para pakar ekonomi bisa membuat kalkulasinya? 
Penulis jadi heran melihat sekian banyak calon anggota legislatif rela berjuang sedemikian rupa (menghabiskan harta bahkan hutang) hanya untuk membela kepentingan rakyat. Sungguh mulia hati mereka... (jika benar untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan tidak ada niat untuk korupsi). 
 
Posting Komentar