Prof. Pitoyo Hartono tinggal di Nagoya-shi, Aichi, Jepang
Kegagalan untuk Mengajarkan Cost and Value of Excellence
Saya berencana membuat 5 tulisan untuk seri ini. Kalau bosan, jangan dibaca.
Tahukah anda bahwa di tahun 60-an GDP per capita kita dan Korea tidak banyak berbeda. Kondisi politik pun mirip-mirip, mereka juga, baru merdeka dari penjajahan. Bahkan dengan minimnya sumber daya alam mereka lebih parah lagi. 60 tahun kemudian, mereka menjadi negara industri.
Samsung melibas banyak perusahaan Jepang di banyak lini. Industri semiconductor dengan proses produksi yang supermodern merajai pasar dunia. Kita masih berkutat di industri padat karya, itu pun nggak pernah sepi dari demo buruh.
Ada banyak faktor yang menyebabkan beda ini. Salah satunya, pendidikan kita gagal untuk mengajarkan cost and value of excellence. Pekerjaan dinilai dari "selesai"-nya bukan "excellence"-nya.
Saya beri satu contoh yang sederhana: tukang kebun yang diminta untuk menyiran tananam. Tukang kebun yang asal kerja, akan merasa tugasnya sudah selasai kalau tanamannya basah tersiram. Dia tidak peduli akan mutu dan masa depan tanamannya, karena instruksinya adalah menyiram dan itu sudah dilakukannya.
Tukang kebun yang peduli pada excellence, akan berpikir lebih dalam. Untuk apa dia diperintah menyiram? Dia diperintah menyiram bukan untuk membasahi tanamannya tapi untuk kesejahteraan tanamannya. Kalau itu pohon buah, ekspektasinya adalah di masa depan pohon itu akan produksif. Dia akan berpikir lebih jauh dari sekedar instruksinya.
Dia tidak akan menyiram tanamannya sehabis hujan lebat, dia juga akan belajar waktu yang teroptimal untuk menyiram tanamannya. Dia juga akan belajar bahwa jenis tanaman yang berbeda membutuhkan cara perawatan yang berbeda. Ini beda orang yang mempunyai pride dalam tugasnya dan yang tidak. Hasilnya tidak akan tampak secara instan, mungkin baru akan tampak beberapa tahun ke depan. Tapi pasti tampak. Ini beda kita dan Korea.
Contoh berikut, waktu kuliah saya bertemu dengan satu engineer di perusahaan elektronik besar di Jepang. Saat itu perusahaannya punya pabrik radio di Indonesia dan di Jepang. Saya tanya kenapa produk yang sama persis bentuknya, harganya berbeda antara yang Made in Indonesia, dan yang Made in Japan. Dia balik bertanya, "Apakah kamu pernah melihat dalamnya?"
Saat bertemu berikut dia membawa sampel, satu buatan Indonesia dan satu buatan Jepang, dan membukanya. Dia berkata dari luar sama persis, komponennya sama, instruksi untuk buruhnya sama. Kerapian rangkain elektronik di dalamnya sangat jauh berbeda. Dia melanjutkan, satu akan tahan 5 tahun, satu akan akan tahan puluhan tahun. Beda harga itu adalah the value of excellence. Sudah lama sekali perusahaan itu menutup pabriknya di Indonesia.
Satu contoh terakhir, beberapa tahun ini, saya sering diminta me-review makalah ilmiah dari dosen dan peneliti Indonesia. Tentu tidak semua, tapi sering begitu melihat, banyak rasa yang timbul. Yang dominan ingin marah dan ingin muntah. Banyak yang menulis hanya untuk memenuhi tugas menulisnya, pokoknya ada banyak huruf sepanjang 8 halaman, syukur-syukur masuk Scopus. Mungkin mereka pun tidak membaca apa yang telah mereka tulis. Kertasnya lebih berharga untuk dipakai sebagai bungkus kacang rebus. Tidak ada sense of pride dari mereka. Tidakkah mereka sadar, bahwa nama mereka ada di "makalah ilmiah" ini? Tidakkah mereka sadar bahwa tulisan mereka adalah representasi dari mereka? Dan ini dilakukan oleh pendidik. Orang-orang yang harusnya menjadi penilai, tidak mampu untuk menilai diri sendiri. Mungkin mindset-nya: "Kebobrokan OK kalau dilakukan bersama-sama". Ini harus berubah!
Problem ini semacam lingkaran setan. Sistem pendidikan kita tidak mau menanggung "cost of excellent" ini. Di Jepang ini dimulai dari usia sangat dini. Di SD di Jepang, murid-murid dididik utk membersihkan kelasnya sendiri, dan tidak asal nyapu. Mereka dibiasakan untuk tahu bahwa pekerjaan itu baru bernilai kalau ada standard of excellence yang tercapai. Ini dimulai dari membersihkan kelas, membersihkan WC, mengurus tanaman dan hewan-hewan peliharaan di sekolah.
Karena di SD di Jepang makan siang disediakan, mereka juga dibiasakan untuk bergantian melayani teman-teman sekelasnya, membereskan perabotan makan. Suka atau tidak suka makanannya, mereka dididik untuk menghabiskan sampai bersih apa yang sudah disajikan. Ini untuk menghormati orang yang sudah berusah payah menghasilkan bahan makanan, orang-orang yang memasak, dan teman-teman mereka yang menyajikan. Semuanya dimulai dari yang sangat sederhana sekali.
Di Jepang ada seorang "superstar" yang cerita hidupnya dimuat dalam satu bab di pelajaran tentang moral. Dia bukan ilmuwan, militer, politikus, dia seorang petugas kebersihan di Haneda Airport di Tokyo. Berkat dedikasinya, Haneda menjadi salah satu airport terbersih di dunia. Pride orang ini pada pekerjaan luar biasa. Dia membersihkan sudut-sudut yang terlihat pun mungkin tidak. Untuk dia pekerjaan selesai bukan waktu jam kerjanya selesai, tapi kalau pengguna bandara ini merasa nyaman. Ini excellence.
Di Indonesia, karena banyak yang tidak terdidik akan cost dan value dari excellence ini, banyak yang tidak mengerti akan nilai kerja keras orang lain. Bisa dilihat dari gampangnya para demonstran merusak milik umum dan milik orang lain.
Banyak orang di Indonesia yang tidak bisa menilai value dari excellence yang dikerjakan orang lain, karena tidak pernah merasakan membayar cost-nya. Cepatnya orang yang jarang berusaha akan susah melihat nilai usaha orang lain. Berapa kali seminggu ini Anda mengucapkan "terima kasih" pada PRT Anda ?
Ketidakpedulian pada nilai kerja keras juga menyebabkan banyak orang yang tidak mampu untuk mengevaluasi diri sendiri. Segala masalah disebabkan oleh, asing, aseng, PKI, America, Yahudi, Tri Dharma perguruan tinggi atau siapa pun kecuali diri sendiri.
Ini yg sering saya maksud dengan belum naik kelasnya kita sebagai bangsa. Revolusi mental setelah satu periode pemerintahan Jokowi pun masih sebatas jargon. Perbaikan sistem pendidikan pun masih selevel "tukang kebun asal siram" seperti yang saya analogikan di atas.
Ini pilihan kita sebagai bangsa. Kita ingin jadi bangsa mediocre yang puas dengan pekerjaan asal (kelihatan) selesai, asal bisa hidup, atau kita ingin naik kelas dengan membayar cost of excellent dan menikmati value-nya
Dikutip dari FB Pitoyo Hartono (Minggu, 18 Oktober 2020 pukul 10.25), diedit seperlunya agar lebih enak dibaca dan kami tambahkan foto.
Posting Komentar