Begitu banyak pejabat negara yang ditangkap, dari yang kelas rendah sampai menteri, tapi sepertinya tak pernah berhenti.
Dari tahun ke tahun, selalu saja ada OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK terhadap pejabat negara dan juga pihak swasta yang terlibat.
Dana apa saja bisa bisa jadi sasaran korupsi, misal dana pembangunan sekolah, sampai keagamaan (pengadaan Alquran, dana haji), dana bansos (untuk rakyat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi di saat pandemi Covid-19), dana untuk korban bencana alam pun dikorupsi.
Juga korupsi e-KTP, kartu identitas yang membawa nama Indonesia, dana pembuatan e-KTP senilai 5,9 triliun (51 % untuk pembuatan e-KTP, 49 % dikorupsi). Wow, fantastis! Uang yang dikorupsi bisa untuk membangun ribuan gedung SD atau rusun.
Harga e-KTP per lembar hanya Rp 4.700 tapi digelembungkan jadi Rp 16.000 per lembar (naik Rp 11.300 per lembar). Silakan dihitung dengan cara mengalikannya dengan jumlah penduduk Indonesia yang akan dibuatkan e-KTP.
Kadang berpikir, kartu member sebuah swalayan, kartu member sebuah klub, atau kartu ATM dari bank swasta saja, kualitasnya jauuuh lebih baik daripada dokumen negara yang dijadikan identitas penduduknya (yang dihargai Rp 16.000 per lembar). Betapa malunya kita kalau warga negara asing melihat kualitas kartu identitas kita (e-KTP Republik Indonesia), dokumen negara yang berlaku seumur hidup!
Kenyataannya, e-KTP baru disimpan di dompet 1-2 tahun sudah jelek dan itu akan kita bawa seumur hidup. Kalau kartu kredit, ada tahunkedaluarsanya. Saat kedaluarsa, pihak bank akan mengirimkan kartu pengganti (padahal kondisi kartu kredit yang akan diganti masih jauuuh lebih bagus daripada e-KTP kita).
Kalau dilihat dari alasan korupsi, memang mencengangkan. Berbeda dengan yang mencuri beras untuk makan istri dan anak (karena kelaparan, meski tindakan mencuri tetap tidak dibenarkan), kalau pejabat tinggi, jelas sekali bukan karena ancaman kelaparan. Penghasilan pejabat sudah besar, fasilitas sudah bagus, harta sudah banyak. Jelas bukan karena perut lapar.
Balik ke kasus e-KTP. Misalkan saja ada dana dari pemerintah untuk membeli makan rakyatnya yang sedang tertimpa bencana alam, misalkan banjir atau kebakaran. Tiap penduduk diberi jatah Rp 16.000 untuk sekali makan. Kalau dibelikan nasi bungkus di warteg, mungkin bisa dapat nasi, sedikit tumisan, dan daging ayam sepotong kecil. Atau setidaknya nasi, tumisan, dengan hati dan ampela ayam, atau nasi, tumisan, dengan telur dadar atau telur ceplok, atau telur balado. Lumayanlah ya menunya. Tapi kalau anggaran Rp 16.000 per bungkus dan dikorupsi, hingga uang real-nya untuk beli nasi bungkus adalah Rp 4.700??? Mungkin ada yang bisa terima orderan itu, tapi bisa Anda bayangkan bagaimana kualitas berasnya, apa saja "lauk" yang bisa dimasukkan ke dalam nasi bungkus dengan harga Rp 4.700 per bungkus???
Belajar "Elmu" Kepemimpinan dari Pak Jonan. Daging Semua!!! | Wawa
Sedikit catatan dari penulis:
Menit ke 15.30 sampai 16.40
Saat Pak Jonan masuk, pendapatan parkir di Stasiun Gambir Rp 3.000.000 per hari. Dengan perbaikan sistem, secara bertahap penghasilan naik dan saat Pak Jonan selesai bertugas, pendapatan parkir menjadi Rp 100.000.000 per hari.
Silakan Anda bayangkan, berapa penghasilan negara yang hilang di sana selama bertahun-tahun.
Ini sedikit catatan lain dari video di atas:
Gaji kepala
stasiun saat Pak Jonan masuk Rp 2.750.000 per bulan dan saat Pak Jonan selesai bertugas menjadi Rp 25.000.000per bulan.
Penjaga pintu
perlintasan kereta api gaji Rp 1.500.000 per bulan (masa kerja 18 tahun) sekarang Rp
8.000.0000 sampai Rp 10.000.000per bulan.
Pendapatan PT KAI waktu Pak Jonan masuk Rp 4,2 triliun per tahun, waktu saya selesai hampir Rp 14 triliun.
Waktu masuk PT KAI rugi sekitar Rp 150 miliar, setelah masuk, tahun pertama untung Rp 83 miliar. Pas selesai bertugas untung Rp 1,3 triliun per tahun.
Info menarik lainnya, silakan tonton saja videonya. Banyak kisah inspiratif dari sana.
Dulu ... penulis berpikir, setelah era digital dan era transparansi, koruptor sudah tidak berkutik (atau setidaknya ruang geraknya menjadi sempit) karena anggaran bisa ditampilkan di situs pemerintah setempat dan kita semua bisa melihat apakah harga pembelian atau harga pengerjaan suatu proyek itu masuk akal atau tidak. Tapi apakah ini dijalankan?
Yang terbaru contohnya:
Satu toilet dengan dimensi 3,5x3,6 meter menghabiskan anggaran sampai Rp196,8 juta. Seperti yang sedang dibangun di SDN Mangunjaya 04, Kecamatan Tambun Selatan.
Atau pembelian komputer, alat tulis, UPS, lem Aibon, website DRP RI, dan masih banyaaak lagi.
Akankah korupsi di Indonesia dapat dihilangkan? Rasanya tidak mungkin. Korupsi mirip dengan cinta. Kalau cinta: First Love Never Die, begitu juga begitu korupsi, Corruption is Never Die.
Catatan:
Tulisan berwarna biru merupakan link ke sumber berita.
Posting Komentar