Seringkali padahal waktu yang digunakan untuk studi banding hanya sepersekian daripada total waktu keseluruhan (contoh Atut, klik: Atut di Kairo: 24 Jam Pelesir, 3 Jam Dinas). Ingin jalan ke luar negeri (wisata dan belanja), pakailah uang sendiri, jangan lagi pakai uang negara apalagi secara beramai-ramai.
Pada masa lalu, penulis sering sekali mendengar permainan harga pembelian barang apa pun untuk instansi pemerintah. Penulis yakin, Anda pun sering sekali mendengar hal ini (sudah menjadi rahasia umum). Makanya jika mendengar berita ada oknum yang tertangkap KPK atau jadi tersangka korupsi dalam hal pengadaan barang, itu bukan hal yang aneh.
Di mana pun (perusahaan swasta atau instansi pemerintah), jadi pemegang kebijakan menentukan barang/ jasa mana yang akan dibeli, memang "lahan basah" dan rawan korupsi.
Harga barang/ jasa yang dibeli bisa naik berkali-kali lipat (kasus terbaru adalah pembelian alat kesehatan yang menyeret Atut, Gubernur Banten jadi tersangka).
Mau korupsi, peluang terbuka lebar. Tidak ingin korupsi pun ada banyak yang datang menawarkan keuntungan untuk Anda. Misal ada 2 produk, untuk sebuah produk dengan merek sama, pemasok A beri harga Rp 1.000, pemasok B beri harga Rp 1.100 plus Anda ditawari bonus sekian jika ambil sekian banyak. Jika iman kuat, Anda pilih pemasok A, tapi jika tergiur, pasti Anda pilih pemasok B.
Pada kasus Tubagus Chaeri Wardana (Wawan), adik Atut, mark up atau penggelembungan harga bisa 2 kali lipat lebih. Ventilator yang harga pasarnya Rp 250 juta diduga digelembungkan jadi Rp 600 juta per unitnya. Silakan klik: Inilah Alat Kesehatan yang Diduga Dikorupsi Wawan.
Lucunya pembelian barang/ jasa seringkali tidak dilakukan langsung ke pemasok tapi melalui broker/ makelar. Kok tidak beli langsung? Apakah peraturan memang mengharuskan demikian?
Ternyata tidak. Salah satunya terungkap dalam wawancara Najwa Shihab dengan Nur Pamudji (Dirut PLN). Nur Pamudji berhasil menghilangkan percaloan dalam pembelian barang. PLN bisa beli travo langsung ke pabriknya. Dulunya PLN membeli trafo seharga Rp 110 miliar, sekarang hampir setengahnya.
Sekarang pengadaan barang dan jasa di Jakarta dilakukan melalui e-katalog bersama Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). Jika sudah
tergabung dalam e-katalog, produsen berkewajiban untuk menyediakan harga
termurah bagi pengadaan pemerintah.
Ahok akan mewajibkan seluruh dinas di
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menggunakan sistem e-katalog
untuk setiap pengadaan barang dan jasa pemerintah. Bagi kepala dinas
yang nakal, akan langsung dicopot.
Jika produsen
diketahui memberi harga lebih murah kepada pihak luar selain pemerintah,
maka akan dikenakan denda mencapai lima kali lipat. Sanksi tersebut
juga ditambah dengan black-list produsen untuk turut serta dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah selama dua tahun.
Sekarang sudah era internet, aneh rasanya jika masih menggunakan cara lama. pemerintah punya uang, internet menyediakan segala info. Masa' beli barang atau jasa masih harus lewat calo? Dengan memasang pengumuman di situs instansi yang bersangkutan bahwa instansi tersebut butuh aneka barang dan jasa, pabrik pun berebut menawarkan produknya dengan harga murah (dengan catatan tidak ada oknum yang nakal dan minta jatah). Pengusaha (pabrik senang karena tak perlu kasih komisi), pemerintah bisa hemat segala macam biaya yang tak perlu (tidak perlu kasih uang ke makelar). Makelar dan koruptor tentu marah besar karena kehilangan peluang.
Tidak perlu lagi tender basa basi yang pemenangnya diatur berdasarkan besarnya komisi yang akan berani diberi, bukan karena kualitas dan harga terbaik.
Seharusnya secara nasional mencontoh hal ini. Sudah tidak zamannya korupsi. Era sudah sedemikian canggih, semua ada di ujung cari, tidak perlu lagi buang uang sia-sia untuk hal yang tak perlu. Sekedar cari info, via internet bisa dilakukan. Mau bicara, teleconference dengan mudah dilakukan. Jangan lagi menipu dengan alasan studi banding (seperti studi banding logo Palang Merah ke Turki dan Denmark).
Seringkali padahal waktu yang digunakan untuk studi banding hanya sepersekian daripada total waktu keseluruhan (contoh Atut, klik: Atut di Kairo: 24 Jam Pelesir, 3 Jam Dinas). Ingin jalan ke luar negeri (wisata dan belanja), pakailah uang sendiri, jangan lagi pakai uang negara apalagi secara beramai-ramai.
Seringkali padahal waktu yang digunakan untuk studi banding hanya sepersekian daripada total waktu keseluruhan (contoh Atut, klik: Atut di Kairo: 24 Jam Pelesir, 3 Jam Dinas). Ingin jalan ke luar negeri (wisata dan belanja), pakailah uang sendiri, jangan lagi pakai uang negara apalagi secara beramai-ramai.
Semua sudah tahu, tetapi, apakah semua mau melaksanakannya???
Sumber referensi: Tempo
0 Responses
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar