Dokter Lo Siauw Ging, dokter berjiwa sosial yang langka 
Ya, si pemilik rumah ini 
adalah seorang dokter. Namanya dokter Lo. Dalam ruang tersebut tersedia 
pula tiga bangku panjang. Tempat sejumlah orang duduk menunggu. Dokter 
baik hati ini sudah lama buka praktik di situ. Dia dikenal banyak orang 
di situ, juga kebaikannya. 
Buka praktik berpuluh 
tahun, nama dokter yang satu ramai dibicarakan media sosial sepekan 
belakangan, ketika kontroversi soal kasus dokter Ayu, yang divonis 
Mahkamah Agung, karena terbukti melakukan malapraktik atas seorang 
pasien di Manado, riuh di media massa.
Vonis itu memicu 
gelombang protes dari ribuan dokter di seluruh Indonesia. Keputusan atas
 Ayu itu, protes para dokter ini, adalah bentuk kriminalisasi terhadap 
para dokter. Kini mereka mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas 
keputusan mahkamah itu. 
Di tengah kontroversi 
soal ini, sejumlah orang yang aktif di media sosial, mempromosikan 
dokter-dokter yang mengabdi dengan susah payah. Bahkan tanpa pamrih. 
Yang menjelaskan betapa profesi ini begitu dekat dengan kematian tapi 
terutama kehidupan. Dan dokter sepuh di Solo itu adalah salah satunya.
Warga sekitar, juga para 
pasien yang mengular, mengenalnya sebagai dokter yang senantiasa tulus 
menolong. Di rumahnya itu, dia membuka klinik tanpa memasang tarif 
sepeser pun kepada pasien.
Lo Siauw Ging itu, begitu
 nama lengkap dokter ini, memang selalu kebanjiran pasien. Tidak semua 
membayar jasa baiknya itu. Dari 60 pasien yang datang setiap hari, hanya
 30 persen saja yang membayar. “Prinsip saya memang untuk menolong. 
Kalau yang punya mau bayar ya silakan, kalau nggak ya nggak
 apa-apa. Karena saya tidak pasang tarif,” ujar pria kelahiran Magelang 
ini saat ditemui di ruang praktiknya, Jumat, 29 November 2013.
Klinik dr. Lo buka setiap
 hari, kecuali hari libur. Dalam sehari, ia membuka dua jadwal praktik. 
Pukul 06.00-09.00 WIB dan pukul 16.00-20.00 WIB. Kliniknya selalu 
dipenuhi pasien. Tak hanya dari kalangan tak mampu, tetapi juga 
berduit.  Bahkan ada pula yang datang jauh-jauh dari Wonogiri hingga 
Pacitan.
Selain tidak memungut 
biaya pemeriksaan kesehatan, pria kelahiran 16 Agustus 1934 ini, 
memberikan obat secara gratis. Itu bisa dilakukan jika obat yang 
diresepkan tersedia di klinik. Kalau tidak ada maka pasien membeli 
sendiri obat ke apotek yang ditunjuk oleh dr. Lo.
Dokter Lo tidak menutup 
mata jika ada salah seorang pasiennya yang tidak mampu membeli obat di 
apotek.  Ia akan memberikan cap khusus di kertas resep. Dengan cap ini, 
apotek tidak menarik biaya dari pasien. Semua tagihan dibebankan kepada 
sang dokter. “Saya justru malah yang aktif menanyai pasien, ada
 uang tidak untuk membeli obat. Kalau tidak punya, biar nanti apotek 
menagih ke saya untuk biaya pembelian obat pasien tersebut,” ucapnya.
Menurut dr. Lo,  ia harus
 membayar tagihan obat dari apotek setiap bulannya sekitar Rp5 juta 
hingga Rp10 juta. Uang itu tak hanya berasal dari kantong pribadinya, 
melainkan juga sumbangan dari donatur. “Namun pastinya saya masih sering
 nombok untuk membayar tagihan itu,” kata suami dari Gan May Kwee.
Mantan Pasien Jadi Donatur
Ada cerita menarik soal 
sosok para donatur pak dokter ini.  Rupanya, di antara para donatur itu 
ada mantan pasien dr.Lo. Saat masih kecil, pasien yang tidak disebutkan 
namanya itu beberapa kali dibawa oleh sang ibu ke klinik dr. Lo. Kondisi
 keluarga mereka ketika itu sangat miskin. Maka dr. Lo pun tulus 
membebaskan semua biaya pemeriksaan dan obat sang anak.
“Tetapi kini, pasien 
belia itu telah menjadi "orang" di Amerika. Mantan pasien itu saat ini 
menjadi donatur,” ujar anak ketiga dari lima bersaudara ini.
Sifat dermawan dr.Lo 
tersebut ternyata tak lepas dari pengaruh almarhum sang ayah. Sebelum 
dr.Lo muda masuk jurusan Kedokteran, Universitas Airlangga, sang ayah 
memberikan nasihat yang tidak pernah ia lupakan: Jika ingin menjadi 
dokter, jangan menjadi pedagang. Jika ingin mencari duit, jadilah 
seorang pedagang. “Pesan dari almarhum itu jelas artinya. Pokoknya 
jangan sampai cari duit dari dokter. Dokter itu bertugas untuk 
menolong,” ujar pria yang lulus dari Universitas Airlangga pada Februari
 1962 ini.
Selain dari sang ayah, 
sikap dr. Lo juga terinspirasi dari almarhum dr. Oen yang merupakan 
dokter terkenal di Solo pada masanya. Selama 15 tahun mengenal dr. Oen, 
ia pun mengetahui benar sifat sederhana dan berjiwa sosial yang dimiliki
 dokter itu.
Keinginan dr. Lo untuk 
menjadi dokter dermawan semakin kuat ketika dia divonis terkena penyakit
 kuning kronis. Saat itu, ia masih bertugas menjadi dokter di Gunung 
Kidul. “Setelah mengalami penyakit parah sekali dan tertolong maka saya 
harus berbalas budi kepada Tuhan. Caranya ya membantu seperti ini dengan ikhlas,” ujar pria yang harus menggunakan bantuan tongkat untuk berjalan ini.
Di mata warga sekitar, 
dr. Lo adalah sosok yang sangat sederhana dan ramah. Menurut Herwin, 
salah seorang tetangga, dr. Lo pernah membiayai seluruh perawatan korban
 tabrak lari. Biaya yang harus dikeluarkan mencapai sekitar Rp25 juta.
Sikapnya ini memberikan 
kesan mendalam bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kediamannya. 
Ketika kerusuhan tahun 1998, warga sekitar ikut mengamankan rumah dr. Lo
 yang merupakan keturunan Tionghoa dari amukan massa. “Saat kerusuhan 
terjadi, rumah dr. Lo aman-aman saja. Kami semua berjaga-jaga di depan 
dan atap rumah dr. Lo,” kata salah seorang warga, Turiman.
Sumber: Viva News 
2 Responses
        
Langganan:
Posting Komentar (Atom)




Mohon dpt membantu share no telepon atau kontak dokter Lo..
terima kasih..
Josephin Kho...
Maaf, saya tidak punya kontak dokter Lo Siaw Ging. Jika punya teman di Solo, bisa minta bantuannya. Kalau Josephine sendiri ke Solo, saya yakin masyarakat di sana pasti tahu dan akan menunjukkan alamat dokter berhati mulia tersebut.
Salam,
Hendry F.Jan
www.rekor.blogspot.com