11. Cuma Iseng
Ini hanya kisah fiktif yang penulis baca dari majalah cerpen. Keisengan yang berakibat fatal.
Seorang gadis bete karena sang pacar tidak menepati janji. Pacar mengajak nonton, tapi tiba-tiba membatalkan karena ada keperluan mendadak.
Lagi bete, sekarang ngapain? Timbul niat isengnya. Dia angkat telpon rumahnya, lalu menelpon taksi. “Tolong cepat 1 taksi ke jalan anu, ada keperluan darurat.” Nanti kalau taksi datang, bilang saja dia tidak memesan taksi. Setengah jam, 1 jam, taksi yang dipesan tak kunjung datang. Sang gadis pun bertambah kesal. Niat mau ngerjain sopir taksi, malah dia yang dikerjain.
Keesokan harinya secara tak sengaja ia membaca koran. Taksi bertabrakan dengan truk, sopir meninggal dunia. Disebutkan sopir itu memacu kendaraannya karena ada permintaan taksi untuk keperluan darurat. Sopir meninggalkan seorang istri dan 2 anaknya yang masih kecil. Itu adalah taksi yang dipesannya. Seketika itu dia lemas dan pingsan.
Pelajaran: Berpikirlah sebelum melakukan sesuatu.
***********
12. Strategi Bisnis
Kalau makan bersama keluarga di restoran siap saji (sebut saja MD), mata penulis sering tertuju pada anak kecil dengan mainannya. Orang tuanya makan, sementara si anak sibuk sendiri dengan mainannya.
Macam-macam strategi bisnis yang dilakukan. Ada yang memberi discount, beri hadiah langsung, undian, fasilitas lebih, dan masih banyak lagi. Restoran siap saji mendapatkan bonus manakala mereka membidik konsumen anak kecil yang belum bisa memilih makanan berdasarkan rasanya.
Anak kecil tidak bisa pergi makan sendiri, jadi ortu “terpaksa” mengikuti “selera” anak. Anak yang dibidik, ortu pun ikut jadi sasaran (makan di sana juga). Anda berniat membeli mainan itu di toko? Tentu tidak bisa, karena mainan yang mereka iklankan di TV itu hanya diproduksi khusus untuk mereka. Jelas tak ada di pasaran.
Ehm... kalau strategi ini dibalik, manjur nggak ya untuk mendapatkan gadis pujaan kita? Ingin anaknya, kita dekati ortunya.
Pelajaran: Betapa kreatifnya orang memikirkan strategi bisnis.
***********
13. Ayo Mencegah
Anda pernah menyaksikan berita kematian akibat tabrakan antara kereta api dengan kendaraan atau manusia di perlintasan tanpa palang?
Saya yakin pernah. Bukan cuma pernah, tapi lebih daripada satu kali. Pembaca berita pun sering menyebutkan, ini adalah kecelakaan yang kesekian kalinya di tempat ini. Wow... jadi bukan hanya kali ini saja?
Kecelakaan bisa disebabkan banyak faktor (di luar kereta api), umumnya karena orang kurang berhati-hati. Di perlintasan yang berpalang pun masih sering terjadi kecelakaan (entah petugas lupa menutup atau pengendara yang menerobos).
Kereta api tidak bisa disalahkan karena itu memang jalannya sendiri. Tapi mengapa pihak terkait tidak melakukan pencegahan dengan memasang palang? Keterbatasan dana? Memang ini alasan klasik. Untuk urusan nyawa, selayaknya pihak terkait memperhatikan hal ini. Karena nyawa tidak bisa digantikan dengan uang berapa pun. Haruskah menunggu korban dalam jumlah besar?
Pelajaran: Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?
***********
14. Mari Mencegah
Berita penggusuran rumah ataupun pedagang kaki lima (PKL) ricuh, bukanlah hal yang asing. Berita ini sudah sering kita dengar dan baca.
Sulitnya mencari lapangan kerja, membuat sektor informal ( terutama PKL) jadi menjamur di tiap kota di Indonesia. Tulisan ini bukan hendak memihak penggusur ataupun yang digusur. Hanya sekedar opini.
Setiap ada lahan kosong (tanah kosong, depan toko, kolong jalan tol, dan lain-lain) akan diberdayakan PKL (tempat usaha bahkan tempat tinggal). Anehnya, hal ini sering dibiarkan, malah seiring berjalannya waktu, PKL di daerah terlarang malah ditarik retribusi.
Bagaimana kalau kemudian lahan tersebut dibutuhkan lalu akan dibersihkan? Sudah pasti ada perlawanan. Yang jadi pemikiran penulis, mengapa saat baru akan mulai digunakan, tidak dilarang. Perlahan dan pasti, lapak yang biasa dipindah setelah berdagang, jadi menetap, bangunan kayu jadi permanen, barulah penggusuran dilakukan. Why?
Pelajaran: Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?
***********
15. Harus Tega
Antara sayang pada anak dan memanjakan, memang samar. Sebagai ortu, tentulah kita sayang pada anak. Tapi kalau semua yang diminta anak dituruti, anak jadi manja. Anak terbiasa bahwa semua permintaannya pasti dan harus dituruti. Bicara masalah ini, sebagian dari kita mungkin sudah maklum dan mengerti.
Secara teori, kita tahu. Yang jadi masalah adalah saat mempraktikkan. Ini terlihat di kelas playgroup, tempat Revata (Ray) bersekolah. Seorang Oma selalu menemani cucu kesayangannya di kelas. “Dia tak mau ditinggal” begitu kilahnya. Ini juga pernah terjadi pada Dhika saat awal sekolah TK. “Harus tega” itu kuncinya. Tiga hari pertama ortu boleh menemani, setelah itu harus dilepas.
Pertama tampaknya tidak tega juga melihat Dhika menangis dan menjerit ketika ditinggal. Tapi ini harus dilakukan, toh... temannya yang lain pun tak ditemani. Sekarang “rasa tega” itu berbuah manis. Dhika sudah bisa mandiri.
Pelajaran: Buah yang manis akan didapat setelah kita bercucuran keringat.
Posting Komentar