26. Kisah Perjuangan
Filateli (mengumpulkan prangko) dan correspondence (surat menyurat) adalah sebagian hobby penulis. Bahkan kedua hobby ini yang membentuk nama tegah penulis Filco.
Hobby adalah salah satu kegiatan pengisi waktu luang sekaligus sebagai hiburan penghilang penat dan stress setelah rutinitas sehari-hari.
Beberapa teman penulis pernah ketularan virus filateli, salah satunya giat sekali mengumpulkan prangko. Yang mengejutkan, dalam beberapa hari, jumlah koleksinya sudah 3 album penuh. Wow... bagaimana caranya? Ia ke toko buku yang menjual prangko bekas dan memborong banyak prangko bekas.
Itu sah... sah... saja. Tapi bagi penulis, salah satu keasyikan filateli justru terletak pada kisah perjuangan untuk mendapatkan prangko tersebut. Banyak kisah di balik prangko penulis. Ada hadiah dari seorang sahabat pena di Jerman Timur, hasil barter dengan barang lain, bahkan didapat dari tong sampah!
Pelajaran: Kisah perjuangan di balik koleksi jauh lebih menarik daripada sekedar jumlah.
***********
27. Ucapan Dokter
Yi Seng, itu sebutan untuk dokter dalam bahasa Mandarin. Yi = mengobati, Seng = hidup. Jadi tugasnya mengobati dan membuat pasiennya tetap bertahan hidup. Usaha yang dilakukan dokter tidak cuma lewat usaha medis saja (suntik, obat sampai transplantasi), tapi juga dari sikap dan ucapan.
Ucapan dokter yang memberi semangat, ramah, mau mendengarkan, sudah jadi obat bagi pasien. Nasehat yang menyejukkan sudah mengurangi sedikit penderitaan pasien.
Tapi lain yang dialami rekan penulis. Sebut saja Pak Abadi dan Ibu Lestari. Ketika memeriksakan anaknya VT (8 bulan) ke seorang dokter anak ternama di kotanya (HB), mereka mendapat penjelasan yang mengejutkan.
“Ibu harap tabah ya? Bila anak ini bisa bertahan sampai usia 1 tahun saja itu sudah bagus” kata dokter HB. Ortu mana yang tidak shock mendengar kabar ini?
Kini 2 tahun berlalu, VT tetap tumbuh sehat seperti anak lainnya setelah menjalani pengobatan.
Pelajaran: Jangan percaya vonis dokter, carilah second opinion dan tetap berusaha.
***********
28. Sahabat Sejati
Anda punya sahabat sejati? Kalau ya, Anda termasuk orang yang beruntung. Jagalah persahabatan Anda baik-baik karena tidak mudah mendapatkan seorang sahabat sejati. Simak kisah penulis tentang sahabat sejati.
Penulis merasakan suasana kerja kurang nyaman di perusahaan patungan. Maklum saja, ada 2 bos dengan karyawan pro bos A dan bos B. Parahnya penulis adalah satu-satunya karyawan dari pihak bos B. Praktis jadi agak “dijauhi” karena dianggap ditempatkan di sana sebagai mata-mata.
Meski mengerti bahasa Mandarin, penulis mengatakan tak paham bahasa Mandarin. Di sinilah semua fakta terbuka. Mana teman/ sahabat yang tulus dan mana yang manis di depan tapi menusuk dari belakang.
Anda bisa bayangkan bagaimana panasnya telinga mendengar mereka membicarakan penulis dalam bahasa Mandarin di saat penulis ada di hadapan mereka. Padahal Mandarin mereka tidak jauh lebih baik daripada penulis.
Pelajaran: Sahabat sejati = ucapan sama dengan perbuatannya baik di depan maupun belakang kita.
***********
29. Uniknya Rekor
Di ajang pemecahan rekor? Hanya 1 orang yang jadi juara. Seberapa pun dekatnya prestasi runner up dengan rekoris (pemegang rekor), tetap saja namanya tidak tercatat sebagai rekoris. Dalam ajang pemecahan rekor, hanya ada 1 pemenang.
Menjadi juara ke-2, bukanlah hasil yang jelek. Butuh perjuangan dan kerja keras untuk mencapainya. Tapi tak dipungkiri, menyakitkan menjadi nomor 2. Hadiah yang diterima jauh dari juara pertama. Popularitas? Yah... harus siap-siap “makan hati” karena semua mata dan kamera terarah pada sang juara. Kehadiran juara ke-2, ke-3 dan harapan, seolah hanya jadi obyek pelengkap saja.
Pelajaran: Berusahalah untuk selalu menjadi yang terbaik.
***********
30. Lebih Pintar
“Wah... payah, umpan begitu bagus tidak bisa jadi gol” komentar seorang rekan ketika menyaksikan pertandingan sepak bola via TV.
Anda pasti sering mendengar komentar sejenis. Atau bukan tidak mungkin, kita sendirilah yang mengeluarkan komentar seperti itu?
Umumnya kita memang komentator yang hebat, bukan pemain yang hebat. Kalau (para penonton) yang ada di depan layar TV ataupun di stadion, terkesan jauh lebih pintar daripada pemain di lapangan maupun pelatih yang mengatur strategi.
Disuruh turun ke lapangan? Jelas tidak bisa. Kalau benar komentator tadi lebih hebat, tentu mereka sudah direkrut jadi pemain oleh para pelatih dan pencari bakat. Tapi kenyataannya tidak demikian.
Penulis yakin, semua yang bertanding (apalagi sampai membawa nama bangsanya di ajang internasional), pastilah ingin menang. Percayalah, diganti dengan nilai uang berlipat ganda pun mereka tak akan mengalah agar lawannya menang dan jadi juara.
Pelajaran: Cuma bicara sih gampang, memang lidah tak bertulang.
Posting Komentar