Saat berselancar di dunia maya, penulis (Hendry Filcozwei Jan, pemilik blog ini) menemukan kisah yang menginspirasi dari situs www.berbual.com. Situs ini milik Hasanudin Abdurakhman (Kang Hasan) yang lama kuliah di Jepang dan sampai sekarang Kang Hasan yang sudah menikah dan memiliki 3 anak bekerja dan tinggal di Jepang. Penulis kutip persis aslinya (link sumber penulis lampirkan). Selamat membaca...
Cerita ini terjadi saat saya masih menjadi dosen di sebuah PTN di
Kalimantan. Suatu hari sebuah perbincangan sambil menyelesaikan suatu
urusan dengan staf administrasi di kampus menyerempet ke sebuah isu
sensitif.
“Hampir saja kita kecolongan, Bang”,
kata staf administrasi yang berjilbab itu mengadu, setelah sekian lama
tak bertemu saya karena saya lama meninggalkan tanah air untuk tugas
belajar.
“Ada apa?”, tanya saya.
“Iya,
beberapa waktu lalu orang-orang Kristen berniat mendirikan gereja di
kampus ini. Untung kita cepat tahu, lalu bergerak mencegahnya.
Alhamdulillah kita berhasil.”
“Kenapa dicegah? Kenapa dihalangi?”
“Lho, kan…..”
“Mbak,
saya ini hampir 8 tahun tinggal di Jepang. Selama itu saya jadi
minoritas dalam hal agama. Coba Anda bayangkan bagaimana rasanya kalau
niat saya hendak membangun masjid atau beribadah selama saya berada di
Jepang dihalangi orang.”
“Mbak mengkhawatirkan kristenisasi?” tanya saya. Ia mengangguk.
“Apa iya kalau berdiri gereja di kampus ini lantas orang berbondong-bondong masuk Kristen?”.
Ia lalu terdiam, dan percakapan kami berakhir.
+++
Pola pikir staf administrasi tadi sebenarnya pernah saya anut. Waktu itu
saya masih kuliah di UGM dan aktif di organisasi dakwah kampus. Saat
itu di UGM belum ada masjid, dan kami sedang bersiap untuk mengumpulkan
dana bagi pembangunan masjid. Mantan Rektor, alm. Koesnadi
Hardjasoemantri menjadi ketua panitia.
Saat
itu kami mendengar bahwa orang-orang Kristen akan mendirikan gereka di
kampus. Lokasinya tak jauh dari lahan yang hendak digunakan untuk
membangun masjid. Kami langsung bereaksi. Rencana pembangunan gereja
ini harus dihentikan!
Kami,
beberapa aktivis Islam di kampus melakukan berbagai lobi. Yang
terutama tentu kepada Rektor. Pergilah kami menghadap Rektor, menanyakan
soal rencana itu, dan tentu saja (niatnya) menekan Rektor agar
membatalkan atau mencegah rencana itu kalau benar adanya.
Sambil
menunggu di ruang tamu kantor Rektor, kami berbincang dengan
sekretaris Rektor. Topiknya tentu soal yang sama dengan yang hendak kami
adukan ke Rektor. Lucunya, belakangan baru kami tahu bahwa sekretaris
Rektor tadi adalah seorang penganut agama Kristen. Ampun, deh!
+++
Pola pikir saya berubah saat saya merasakan pengalaman menjadi minoritas.
Yaitu saat saya kuliah di Jepang. Saya pernah tinggal di kota kecil di
bagian selatan Jepang. Jumlah orang Islam di kota itu sangat sedikit.
Tak lebih dari 50 orang. Hampir semua adalah mahasiswa asing.
Karena
jumlah kami kecil, kami tak mampu untuk sekedar menyewa apartemen
untuk digunakan sebagai masjid, sebagaimana dilakukan oleh muslim di
berbagai kota. Kami mengandalkan kebaikan hati satu dua profesor yang
mau meminjamkan ruangan di kampus untuk dijadikan musala.
Suatu
ketika kami tak lagi diperbolehkan memakai ruangan itu. Alasan pihak
kampus, ruangan itu akan dipakai untuk keperluan akademik. Lagipula
Jepang adalah negara sekuler, urusan peribadatan warga tidak boleh
melibatkan fasilitas milik pemerintah. Saat itu kami benar-benar
kesulitan. Kami harus salat Jumat berpindah-pindah tempat. Untunglah
akhirnya ada profesor yang mau membantu mencarikan ruangan untuk
dijadikan musala.
Di
kota lain di mana saya pernah tinggal juga, kami menyewa dua ruangan
apartemen untuk dijadikan musala. Di situlah kami melaksanakan shalat
Jumat serta pengajian. Bagian lain dari apartemen ini adalah tempat
tinggal yang disewa oleh orang lain, orang Jepang. Kami harus
berhati-hati agar aktivitas kami tidak mengganggu kenyamanan mereka.
Kami
mengumpulkan dana untuk pembangunan masjid. Belasan tahun diperlukan
hingga akhirnya dana itu terkumpul. Baru 3 tahun yang lalu kota tempat
saya tinggal itu memiliki masjid. Untungnya pemerintah Jepang yang
sekuler itu tidak menghalangi. Selama syarat-syarat mendirikan bangunan
dipatuhi tidak ada masalah.
Semua
kejadian yang saya alami di Jepang itu mengingatkan saya pada nasib
minoritas, khususnya orang Kristen di Indonesia. Mereka sering
kesulitan mendirikan gereja. Beribadah di ruko atau di rumah milik
sendiri pun sering diganggu. Kami, muslim yang minoritas di Jepang,
untungnya tidak mengalami hal itu. Alangkah indahnya kalau minoritas di
negeri muslim juga tidak mengalami hal itu.
+++
Kembali
ke cerita di kampus tempat saya kerja tadi. Di kampus ini ada masjid
yang cukup besar. Dulu dibangun oleh Yayasan Amal Bakti Muslim
Pancasila. Lalu, di setiap fakultas didirikan musala yang juga tak
kecil. Tapi itu pun ternyata tak cukup. Di banyak bangunan di fakultas
masih saja ada ruangan yang difungsikan sebagai musala. Bagi mereka
yang malas untuk ke musala fakultas, bisa shalat di musala kecil
ini. Yang sedikit rajin berjamaah di musala fakultas. Yang lebih
rajin, ke masjid.
Melihat ini semua saya merasa sesak. Keterlaluan benar orang muslim ini.
Zaman
Rasulullah masih hidup, di Madinah hanya ada satu masjid. Apa umat
Islam ketika itu tidak mampu membangun lebih dari satu? Rasanya tak
mungkin. Orang-orang ketika itu rela menyumbangkan apa saja untuk
Islam. Masjid hanya satu dengan tujuan persatuan. Di situlah semua orang
berjamaah, bersilaturrahmi. Di satu tempat.
Kota
Madinah ketika itu memang kota kecil. Saya tentu tak berharap kota
sebesar Jakarta hanya punya satu masjid. Itu tak masuk akal. Tapi saya
yakin kota Madinah di zaman itu lebih besar dari area kampus saya.
Kalau Madinah cukup dengan satu masjid, kenapa kampus tidak? Kenapa
kampus masih perlu ditambah dengan beberapa musala, plus puluhan
ruangan untuk pengganti musala?
Dalam
situasi yang sudah berlebih itu, orang Islam masih ribut ketika orang
Kristen hendak mendirikan satu gereja. Hanya satu gereja saja.
Adilkah kita ini? Tidakkah kita ini berlebihan? Seingat saya tidak adil dan berlebihan adalah dua sifat yang dibenci Allah.
Sumber: berbual.com
0 Responses
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar